APAKAH KITA HIDUP DALAM SEMESTA HOLOGRAM?
Ditulis Oleh: M. Rais Akbar
“Untuk apa manusia diciptakan?”, “apakah kita hidup dalam simulasi raksasa?”, “lantas bagaimana dengan realitas (dunia) yang saat ini kita tinggali?”
Pertanyaan yang cukup njelimet, tapi tidak salah (kalau) kita mencoba berasumsi terkait pertanyaan substansial tersebut. Karena, wahyu (al-Qur’an) sendiripun menganjurkan kita agar kontinyu dalam berpikir; seperti memikirkan (penciptaan) langit dan bumi yang termaktub dalam QS. 3:191, “yatafakkaruna fi khalqi al-samawati wa al-‘ardh”.
Contoh kata “berfikir” dalam al-Qur’an bisa ditemukan dalam bentuk term-term berikut; “tatafakkarun”, “tatadabbarun”, “ta’qilun”, “tandzhurun”, “ta’lamun”, “ulul albab”. Maka bisa kita telaah sendiri (perintah berifikir) dalam al-Qur’an seperti dalam Q. 2:44, Q. 67:10, Q. 22:46, Q. 2:269, Q. 3:7, Q. 36:68, Q. 4: 82. Gagasan tersebut mendorong kita untuk berpikir, melakukan refleksi, merenung, dan belajar (dalam) melihat fenomena alam, sosial, dan pengetahuan (sains).
“Mari kita berpikir!”
Ada hipotesis menarik yang ditulis oleh Rizwan Virk (2019), tentang teori “simulasi”. Ini adalah buku serius pertama yang menjelaskan salah satu teori (paling berani) dan penting di zaman kita. Mengambil research dan konsep dari ilmu komputer, kecerdasan buatan, video game, fisika kuantum, dan merujuk pada teks spiritual kuno, Virk menunjukkan bagaimana semua tradisi ini bersatu untuk menunjukkan gagasan bahwa kemungkinan kita berada di dalam sebuah simulasi kenyataan seperti “Matrix”.
The Simulation Hypothesis ini adalah gagasan bahwa realitas fisik kita – jauh dari alam semesta fisik yang solid – adalah bagian dari simulasi video game yang semakin canggih, di mana kita semua memiliki banyak kehidupan, yang terdiri dari piksel dengan jam internalnya sendiri yang dijalankan oleh suatu (komputer) raksasa. Ide ini telah mendapatkan banyak perhatian, seperti ungkapan Elon Musk “The canches that we not in a simulation is one in billions.” Dan Philip K. Dick “We are living in computer generated reality”.
Selain Virk, E. Van Herwi (2021) juga mendukung ide tersebut melalui karyanya yang berjudul “Universe Is A Hologram”. Van Herwi berasumsi bahwa “kita (sekarang) hidup dalam sebuah simulasi”. Tak kalah menarik, Jude Currivan (2017) memunculkan karya berjudul “The Cosmic Hologram: In-Formation at The Center of Creation”, ia juga menegasikan bahwa kita hidup dalam hologram kosmik; di mana semua informasi/ketetapan (dunia) saat ini sudah ada (lebih dahulu) dalam centre of creation, yaitu lauh mahfudz (yang bersifat azali).
Gagasan di atas mengindikasikan adanya keselarasan antara al-Qur’an dan sains. Dalam al-Qur’an term “kitab”lah yang lebih tepat mewakili kata “wahyu” yang bersifat transenden/azali. Term kitab disebutkan (al-Qur’an) sekitar 255 kali, seperti istilah “kitab maknun”, “kitab mubin”, “kitab hakim”, “lauh mahfudz”, atau “kitab” saja. Term “kitab” di sini lebih mengarah kepada artian “ketetapan”, contoh dalam Q. 2:183 yang berarti “telah ditetapkan kepadamu puasa”, atau pada Q. 2:116 “kutiba alaikumul qital” dan ayat tentang qisas pada Q. 2:178, yang artinya “telah ditetapkan kepadamu qisas”.
Dari terminologi “ketetapan Tuhan yang bersifat azali”, timbul kegelisahan dalam benak fikir saya, atau hanya sekedar cocokologi saja. “benarkah (saya) sekarang hidup dalam semesta hologram, (yang) semua datanya sudah tersimpan rapi pada informasi azali (lauh mahfudz)?”
Argumen di atas juga dikuatkan dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti pada Q. 22:70, yang artinya “tidaklah engkau tahu bahwa Tuhan mengetahui apa yang ada di langit dan bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab”, atau dalam Q. 57:22, bahwa “setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab sebelum kami mewujudkannya.”
Lantas, benarkah kita hidup dalam video game/computer raksasa?. Hemat saya, pertanyaan ini (akan) terjawab (juga) dengan dalil ayat, dalam Q. 29:64, yang berarti “kehidupan di dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sungguh negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau (mereka) mengetahui.” Dalam ayat ini, mengisyaratkan adanya realitas yang lebih baik (khair), dibandingkan dengan realitas (dunia) kita saat ini, disebutlah darul akhirah (baca: alam, kampung atau negeri akhirat).
Argumen tersebut terlihat mirip dengan penganut teologi “Jabariyah”, yang disebarkan pertama kali oleh Ja’ad bin Dirham. Aliran ini mengembangkan pemahaman bahwa “manusia tidak memiliki kehendak dan kebebasan dalam bertindak, hanya terikat pada kekuasaan mutlak tuhan”. Ayat yang dijadikan landasan paham ini adalah antara lain Q. 37:96, yang artinya “Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Pemahaman (ini) sangatlah bertolak belakang dengan penganut aliran Qadariyah, bahwa “perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihan manusia sendiri”, atau lebih dikenal dengan istilah “ free will dan free act”.
Namun perlu diketahui, hipotesis simulasi bukanlah sekedar gagasan modern. Para filsuf seperti Plato telah memberi tahu lebih dulu bahwa “kita hidup di sebuah gua, dan hanya bisa melihat bayangan dunia nyata”. Para penganut aliran mistik dari semua tradisi telah lama berpendapat bahwa kita hidup dalam “ilusi” dan ada realitas lain yang bisa kita akses dengan pikiran kita. Seakan kita mempunyai kehidupan ganda, (yang) akan memainkan karakter berbeda setelah seseorang meninggal, terus mendapatkan pengalaman dan “naik level” setelah menyelesaikan tantangan tertentu. (Memang) terdengar sangat mirip dengan “video game”.
Senada dengan tawaran ulama klasik dan pertengahan (mutakallimun; falasifah) terkait relasi “Allah dan alam semesta”. Seperti tawaran teori emanasi (al-faid) oleh al-Farabi. Menurut dia, “segala sesuatu itu memancar dari Tuhan, karena Tuhan tahu bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud sebaik-baiknya.” Begitupun konsepsi “wahdatul wujud” Ibnu Arabi, bahwa “segala entitas (termasuk alam semesta) hanyalah refleksi nama dan sifat Tuhan di atas cermin noneksistensi”. Maka bisa disimpulkan, hakikat dari segala sesuatu yang bereksistensi adalah sebab (adanya) sang “programmer” tunggal, yaitu Allah.
Sebagai argumen penutup, penulis akan mengutip pendapat dari Ali bin Abi Thalib, “sesungguhnya manusia itu tertidur. Ketika mereka mati, maka mereka (akan) terbangun.” Adakah makna lain dari perkataan tersebut?, apakah kita akan terbangun dari simulasi setelah mati?. Mari berasumsi, dan “jangan (pernah) berhenti berpikir!”