KIAT-KIAT MEMBACA KRITIS ALA MUN’IM SIRRY
Ditulis Oleh: M. Rais Akbar
Prof. Mun’im Sirry ialah sarjana muslim asal Madura yang sekarang menjadi guru besar teologi dan penelitian di University of Notre Dame, Amerika Serikat.
Dalam Think Outside The Box, Mun’im mengatakan, setiap orang memiliki cara membaca yang benar. Menrutnya, membaca itu tidak perlu teori. Maka, yang benar adalah ambil buku dan langsung baca. Jangan pula percaya pada orang yang berkata “ikuti cara baca ini” atau “begini cara membaca yang benar.” Masing-masing kita boleh mengembangkan cara bacanya sendiri. Tapi karena permintaan berulang-ulang yang diajukan kepadanya, kemudian dia berusaha menteorisasikan pengalamannya dalam membaca.
Ketika membaca, Mun’im memang sering selalu menanyakan apa itu isinya. Seringkali ia berhadapan dengan penulisnya dan saling beradu argumen, kemudian mengajukan kritik atas gagasannya. Maka dalam prinsipnya “membaca itu jangan ditelan mentah-mentah!”. Bagaimana agar kita menjadi pembaca yang kritis? Jika berminat, silahkan baca “kiat-kiat membaca” berikut. Tapi, jangan jadikan sebagai pedoman, apalagi sebagai satu-satunya cara untuk menjadi pembaca kritis. Statement dari beliau adalah “menduplikasikan cara yang sama tidak pasti menghasilkan outcome yang sama pula.” Tapi, di sini saya akan mencoba menuliskan tawaran pembacaan ala Mun’im sebagai pemantik kita saja. Jika cocok, silahkan diterapkan, dan jika tidak kembangkan cara anda sendiri.
Kiat Pertama: Pembaca Aktif
Dalam dunia akademis ada sebuah mantra sakti yaitu “critical thinking”, terutama dalam tradisi Barat. Mantra tersebut telah diyakini mengilhami para pemikir menjadi penulis kritis. Untuk menjadi penulis kritis seseorang harus tampil sebagai pembaca kritis. Maka, siapa itu pembaca kritis? Bagaimana melatih diri kita untuk membaca secara kritis?
Mun’im mengatakan, level yang paling dasar agar kita menjadi penulis/pemikir kritis adalah membaca secara “AKTIF”, bukan pasif. Membaca aktif adalah sebuah upaya pembacaan yang melibatkan beragam aktivitas, seperti refleksi, evaluasi, dan penilaian yang akhirnya berujung pada “setuju” atau “tidak setuju”, “memuji” atau “mengkritik”, “menerima” atau “menolak”. Langkah selanjutnya, kita harus bergumul dengan teks sebagai partner berbicara. Kita harus masuk ke dalamnya dengan berdialog. Pada saat membaca, kita harus siap untuk melawan ide yang disuguhkan, bersiap untuk mengajukan argumen tandingan, dan bersiap untuk memodifikasi serta merevisi argumen bacaan menjadi argumen kita pribadi.
“Jika ingin menjadi pembaca serius, jangan menelan mentah-mentah dan meng“iya”-kan semua ide yang dikandung teks. Kita harus bergelut untuk menyingkap segala teka-teki, misteri bahkan kegilaannya.”
Kiat Kedua: Pembaca Dialogis
Dalam kiat kedua, pembaca kritis bukan hanya sekedar menyimak dan mendengarkan apa kata teks, tapi juga mempertanyakannya. Dengan membaca secara aktif dapat menggiring kita untuk mempertanyakan ide dan informasi yang disajikan oleh teks. Sebenarnya, ketika kita berupaya memahami teks, maka teks yang akan kita baca hendak mengubah pemahaman yang selama ini kita pegang. Dengan kata lain, ketika kita meresapi makna bacaan teks, kadang kita bergumam sendiri “oh begitu ya”, “benar juga buku ini”, “oh saya baru tahu”. Artinya, teks telah menuturkan sesuatu kepada kita.
Ketika timbul kesadaran bahwa teks telah merasuki sesuatu kepada kita, munculkan pertanyaan balik kepadanya, seputar informasi atau ide yang dituturkan teks tersebut. Minimalnya, kita perlu bertanya “masak sih?”. Jika kita munculkan pertanyaan tersebut maka sebenarnya kita telah berhasil berdialog dengan teks.
Kemudian, Mun’im mencontohkan, dengan problem yang dialaminya saat dididik dalam tradisi yang tidak boleh mempertanyakan. Dia lulusan salah satu pondok pesantren (selama 6 tahun) di “Al-Amin”, Prenduan, Sumenep, Jawa Timur. Dan menyelesaikan S1 dan S2 di Pakistan (6 tahun), kampus yang relatif tradisional yang tidak mendorong tradisi kritis. “saya takut bertanya apalagi buku di hadapan saya tergolong karya ulama otoritatif. Tapi yakinlah menanyakan ide dalam sebuah buku bukanlah pertanda kita tidak menghormati penulisnya. Sebaliknya, berdialog dengan teks berarti kita memperlihatkan kepedulian serta keseriusan yang tinggi dan penulisnya pasti senang.” tuturnya menjelaskan.
Kiat Ketiga: Pembaca Kritis
Kiat ketiga ini adalah level tertinggi dalam proses menjadi pembaca kritis. Bisa dibilang, pembaca sebagai kritikus. Perlu disadari, proses membaca demikian itu mampu merefleksikan sebuah perbincangan hangat antara pembaca dan penulis. Pembaca memiliki hak penuh untuk mempertanyakan, bahkan mengkritik asumsi dan argumen penulis. Kalaupun setuju, kita perlu mengujinya. Sebagaimana ungkapan seseorang “for the sake of discussion”, orang itu setuju tapi ingin mendisuksikannya dan mendengarnya lebih jauh (detail).
Menjadi seorang kritikus yang baik adalah bukan sekedar men-judgement, apalagi bersikap dismisif, yaitu membenarkan pendapat yang disukainya saja, tapi tidak sebaliknya. Penolakan seperti ini terlihat kritis, tapi nyatanya tidak. Karena dia tidak kritis terhadap subyek yang disukainya. Kunci pada level yang ketiga ini, seorang harus melakukan “critical mind” dan bebas menarik kesimpulan terhadap valid tidaknya klaim sebuah teks. Kemudian ia menyumbangkan alternatif lain dari argumen yang diajukan teks. Maka pada level ini pembaca akan membongkar apa yang dikatakan atau tidak dikatakan teks. Proses pembacaan semacam inilah yang disebut dengan “reading against the grain”.
Kiat Keempat: Pembaca yang Menantang
Pembaca level tertinggi ialah ketika seseorang mampu menguji ide dan mengajukan argumen tandingan yang terkandung dalam buku/bacaan. Dengan bahasa lain, pembaca datang sebagai penantang dan yang memproblematisasikan sebuah gagasan. Maka pada level ini, seorang pembaca harus memperlihatkan titik lemah sebuah gagasan, dan menawarkan gagasan baru yang menurutnya lebih tepat. Bahkan jika setuju dengan argumen orang, pembaca harus melakukan reartikulasi gagasan tersebut dengan kreatif dan inovatif, sehingga kita dianggap berhasil memunculkan kebaruan dan orisinalitas. Dengan cara itu, seseorang akan keluar dari lingkaran epistemologis yang dikembangkan oleh orang lain.
Namun demikian, mengajukan pembacaan alternatif memang diperlukan cakrawala yang cukup luas. Sebab, akan menjadi sulit jika pengetahuan pembaca sangat minim. Tampak njelimet, tapi jika dipraktikkan, kiat-kiat ini tanpa disadari akan menjadi “reading habit” kita. Dan saran terakhir beliau kepada kita, “jangan “overthinking” atau terlalu memikirkan hal-hal prosedural. Kita tidak perlu mengulang membaca kiat-kiat ini. Yang terpenting “ayo langsung ambil buku dan baca!”.