MODALITAS MENUJU INDONESIA EMAS

Ditulis oleh Farid Wildan K (Mahasiswa Ilmu Tasawuf Institut Al Fithrah

Sumber Gambar: https://generasipeneliti.id/tulisan.php?id=IDrwmL6EOj6mVV&judul=Indonesia-Emas-2045

Menyoal Indonesia Emas di Tahun 2045 merupakan suatu wacana yang brilian. Pada tahun tersebut umur bangsa Indonesia mencapi 100 tahun, singkatnya satu abad. Dalam beberapa wacana berkenaan dengan Indonesia Emas, mengutip dari Kominfo.com; Wapres Ma’ruf Amin megatakan: “Mari kita siapkan genarasi muda menyongsong Indonesia Emas 2045. Kita jaga negri ini, kesatuanya, keutuhannya, dan tetap negara ini harus menjadi negara demokratis. Itu tugas-tugas mahasiswa, tugas genearasi muda. Sebab kalian semua nanti yang akan jadi pewarsisnya, kami hanya pengantarnya”.

Ungkapan Wapres di atas menujukkan suatu harapan besar pada pemuda yang kini ber-umur sekitar 20-25th, lebih jauh lagi mengenai kata ‘pemuda’, merujuk pada kriteria seseorang yang secara umum dipandang sebagai ‘yang memiliki semangat patriotis dan berjiwa besar’. Namun pemuda seperti apakah yang bisa menyongsong Indonesia Emas 2045? Apa Kriterianya? Dam apa yang perlu di persiapkan dalam menyongsong Indonesia Emas 2045? Inilah pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum membahas Indonesia Emas 2045, mengigat tahun ini adalah 2024 yang tentunya masih jauh. Dengan demikian perlunya untuk mempertanyakan terlebih dahulu mengenai problematika Indonesia hari ini dan kaitanya dengan zaman kedepannya.

Problematika Indonesia Dewasa Ini

Berangkat dari pertanyaan di atas, para pemuda dewasa ini lagi gemar-gemarnya teknologi. Banyak dari mereka mulai memasuki dunia digital, dimana mereka membuat akun social-media yang dijadikan sebagai awal carer untuk menyelami dunia digital. Mengutip dari Kominfo.com; “mengenai data-data para penguna social-media di Indonesia mencapai 63 Juta orang, yang 95 persen mengunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Para penguna aktif social-media rata-rata adalah aplikasi seperti; Twitter, You-tube, Istagram dan Facebook. Para pengunanya rata-rata hanya menjadi konsumen atau sinkatnya menikmati apa-apa yang ada dalam aplikasi”. Sungguh sangat sayang sekali bila hanya menjadi konsumen aplikasi tanpa mengunakan secara optimal.

Ambivalensi dalam pengunaan teknologi cukup menjadi basis dari problem di Indonesia dewasa ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, literasi di Indonesia juga menjadi problem tersendiri. Mengutip dari Adel Andila Putri mengatakan; “survei yang dilakukan Program for International Student Assement (PISA) yang di rilis oleh Organization For Economic Coperation and Development (OECD) pada 2018, Indonesia menempati peringkat 71 dari 77 negara, singkatnya 10 negara terbawah tingkat literasi rendah. Diperkuat lagi oleh data dari Kominfo.com yang megutip dari UNESCO menyebutkan bahwa;“Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, yang artinya minat baca di Indonesia dikategorikan ‘sangat tidak minat’, bahkan bila dikalkulasi hanya 0,001%, dari 1000 orang Indonesia Cuma 1 orang yang rajin membaca”.

Lepas dari problematika di atas, perlu disadari kembali, masyarakat Indonesia seperti masyarakat dunia pada umunya juga memiliki faktor-faktorheterogen yang menjadi basis anak-anak muda untuk mengembangkan skill dan pendidikanya. Tapi efektivitas dalam bidang yang memberikan dampak positif ter-reduksi oleh frame ‘publik’ yang kerap-kalidijadikan alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan. Cotohnya; bukan suatu rahasia umum kalo masyarakat Indonesia lebih memetingkan peran ‘kerja’ dari pada ‘carer pendidikan’. Lebih jauh lagi, peran ‘orang dalam’ kerap dijadikan alasan juga  untuk berhenti ‘berjuang’ dalam aspek bidang apapun. Ini merupakan fakta umum yang kerap kali ada di fikiran masyarakat Indonesia.

Meninjau Kembali Dasar Filosofis Pendidikan Bangsa Indonesia

Dalam ceramah kuliah yang di bawakan oleh seorang intelektual Rocky Gerung di salah satu chanel You Tube, cukup memberikan pandangan kedepan mengenai masa depan bangsa Indonesia. Adapun ucapan Rocky Gerung berbunyi; “memamang akhirnya; kemajuan moral, rasio, dan etos dari suatu bangsa ditentukan oleh filsafat pendidikannya, dan ini yang didalilkan sejak bangsa Athena”. Substansi dari ucapan ini menjurus pada tiga pilar bangsa Indonesia yaitu, sejarah bangsa, pengalaman intelektual bangsa, dan motif tenaga pendidikan dalam mendidik anak-anak muda. Tentunya hal semacam inilah yang perlu disadari kembali, khususnya peran pendidikan dan sejarah intelektual bangsa Indonesia.

Meninjau uraian di atas; mari dimulai dari konteks ‘sejarah’. Sejarah bukanlah sekedar dokumen-dokumen peristiwa dari masa lalu, tapi merupakan rentetan peristiwa yang membawa ‘kita’ hari ini merasakan yang namanya kemerdekaan. Apa itu ‘kemerdekaan’? Adalah pengetahuan yang terealisasi;bilamana indvidu menyadari betapa pentingnya ‘diri-nya’ dan betapa berharganya ‘diri-nya’. Menurut Driyarkara, substansi kemerdekaan memiliki relevansi dengan sejarah, bahwa kemerdekaan dan sejarah ialah suatu momentum dari pengalaman penderitaan, kekalahan, dan kemenangan yang melebur menjadi satu berupa ‘perjuangan’ yang tidak pernah usai”. Dan ini menujukkan semangat pada diri seorang pemuda yang kini sedang belajar ataupun bekerja, dengan memahami dan megetahui sejarah latar belakang kemerdekaan bangsa ini, maka seorang pemuda secara inheren ikut serta dalam mengembangkan sekaligus menjaga warisan-warisan para founding-parents. 

Berangkat dari peryataan di atas; maka pendidikan bukan sekedar hanya ‘mendidik’ atau ‘mempelajari yang belum diketahui’, tapi pendidikan merupakan suatu bentuk ‘kemerdekaan akali atas anugrah Tuhan berupa daya nalar yang sempurna. Inilah esensi dari pendidikan, dimana harus di aktualisasikan lewat ‘tindakan’, agar masyarakat yang belum menerima pendidikan bisa ‘mengerti’ dan ‘memahami’ akan pendidikan. Selain itu, pendidikan tidak hanya bersifat formalitas atau diruang tertutup saja, melainkan harus tersublimisasi lewat lembaga-lembaga masyarakat. 

Dengan demikian letak filosofis pendidikan ada pada ‘diri manusia secara an-sicht’. Karena hanya makhluk yang bernama ‘manusia’ memiliki potensi untuk ‘mendidik’, sekaligus di didik’. Lebih jauh lagi, agar pendidikan tidak hanya selesai di ‘muka’ (institusi pendidikan) maka perlu untuk kembali merenungkan motif dari belajar dan mengajar, karena dengan mengevalusi motif-motif keduanya akan menemukan suatu sintesis; bahwa pendidikan harus senatiasadilanjutkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh era selanjutnya.

Dengan demikian terdapat dua hal yang paling penting untuk menyongsong Indonesia Emas kedepanya, yaitu faktor pendidikan dan mentalitas pemuda. Pendidikan merupakan hal terpenting sebagai modal awal pembentukan mental dan karakter, selain itu yang paling berpengaruh adalah sistem lembaga pendidikan, dimana harus sesuai dengan asas-asas Pancasila. Mengapa Pancasila? Didalam setiap sila terdapat perintah berupa ke-imanan, kemanusiaan, dan nasionalisme, dimana ketiganya ter-regulasi disetiap sila, kendati tidak nampak, namun secara semantik bermakna demikian

Daftar Refrensi:

http:///content/detail/46601/peran-penting-generasi-muda-untuk-menyambut-Indonesia-emas-2045-0/berita. Di akses Selasa, 23-01-2024.  

http:///index.php/content/detail/3415/Kominfo:penguna-internet-di-Indonesia-63-juta-orang/0/berita_sekitar. Di akses Selasa, 23-01-2023.  

https://goodstats.id/article/krisis-literasi-di-Indonesia-masih-perlu-ditingkatkan-lagi-j7MHB. Di Akses Rabu, 24-01-2023

Link You Tube: https://youtu.be/ilYje51tlnc?si=rA67ZlxLrakxxO2dD. Di Akses Kamis, 25-01-2023.

A.Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, dan Sarkim, Karya Lengkap Driyarkara; Esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). Mengenai Kemerdekaan Manusi, hal 73-97 dan mengenai Eksistensi Pendidikan, hal 269.