MENYOAL TAHUN BARU SEBAGAI SUATU REFLEKSI DIRI

Ditulis oleh Farid Wildan K (Mahasiswa Ilmu Tasawuf Institut Al Fithrah

Semester VII)

Sumber gambar: https://diskursusnetwork.com/2024/01/01/keunikan-perayaan-tahun/

Tulisan ini berangkat dari pembacaan karya salah satu tokoh pendidikan Indonesia, yakni Prof. Driyarkara. Beliau adalah seorang cendikiawan sekaligus filsuf yang hidup di era kemerdekaan, Lahir 13 Juni 1913 di Jawa Tengah dan meninggal 11 Februari 1967. Dalam tulisannya mengenai filsafat manusia tepatnya pada judul ‘Sekedar Permenungan Tentang Manusia dan Waktu’ sub-bab; ‘Selamat Tahun Baru’, ia merangkai fenomena tahun baru dalam pandangan filsafat manusia dan persoalan dasar mengenai fenomena tahun baru, yakni; Apa yang diperbarui dalam perayaan tahun baru? Dan apakah sebenarnya yang dijadikan patokan dalam perayaan tahun baru? Dua persoalan ini akan dijadikan dasar permasalahan dalam tulisan ini.

            Tahun baru merupakan suatu rangkaian acara yang sudah umum di mata masyarakat. Merayakan tahun baru di belahan dunia ataupun di Indonesia khususnya amatlah bervariasi, ada yang merayakan dengan berkumpul keluarga, teman, dan sahabat, ataupun hanya sekedar nongkrong sambil minum kopi di pusat kota.

            Keragaman ini memiliki makna tersendiri bagi subyek (pelaku) yang merayakannya, namun apakah yang mereka sebenarnya lakukan di malam tahun baru? Apa yang sebenarnya terjadi pada perayaan malam tahun baru? Apakah hanya sekedar menunggu jarum pendek dan panjang berada pas di tengah angka 12? Tentu saja ‘tidak’, ini merupakan persoalan tentang ‘waktu’ yang senantiasa mewarnai dinamika kehidupan manusia.

            Menyoal mengenai fenomena merayakan tahun baru, Driyarkara menjelaskan hubungan antara manusia dalam balutan ‘sang-waktu’. Manusia  prespektif Driyarkara adalah sosok yang ‘tidak pernah selesai, ia senantiasa menjadi’. Pengandaian semacam ini mengindikasian manusia senantiasa dalam ‘kecemasan’ dan ‘acaman’ oleh sang waktu lewat pengalaman diri, ia kerap-kali di ‘bayang-bayangi’ oleh gambaran ‘yang lalu’ dan ‘yang akan datang’ lewat refleksi pengalaman diri. Hal ini secara implisit menujukkan bahwa manusia itu ‘sadar’ bahwa dirinya itu ‘ada pada alam semesta’.

            Kesadaran refleksi mengenai ‘yang lalu’ dan ‘yang akan datang’ secara bersamaan menunjukkan ‘yang sekarang’, yakni manusia ada di alam semesta merefleksikan ‘yang lalu’ dan ‘yang akan datang’, artinya dia berusaha untuk mengatasi ‘sang waktu’. Rangkaian ini tidak lepas dari kehausan manusia untuk senantiasa meraih ‘kebahagiaan’, ia senantiasa ingin menjadi apa yang diinginkan, ditujukan dan dipilih oleh dirinya sendiri.

            Demikian ini manusia akan berhadapan dengan alam semesta, jasmani sebagai bagian alam semesta tidak bisa dilepaskan dari tangung jawab, sedangkan jiwa manusia melampaui alam semesta untuk mengatasi ‘sang waktu’. Jiwa dalam diri manusia ‘mengatasi sang waktu’ sedangakan jasmani manusia ‘merefleksikan apa-apa yang ada dalam jiwa’. Sintesis ini akan membuahkan ‘kesadaran’ dalam diri manusia, ia dituntut untuk senantiasa ‘menyadari dirinya’, bahwa dia benar-benar ada di alam semesta, sekaligus mengatasi alam semesta, namun tidak segala-galanya’.

            Tahun baru dalam pandagan Driyarkara bukan hanya suatu fenomena umat manusia yang merayakan pergantian tahun, tapi merupakan suatu bentuk dari karakteristik dasar manusia yang mendambakan ‘kebahagiaan yang akan datang’ lewat pengalaman diri di masa-lalu. Lepas dari bagaimana manusia merayakannya, namun dalam aspek ontologi sebagai makhluk refleksi, manusia senantiasa akan terus ‘menjadi’ dan ‘menjadi’, dia tidak statis ataupun pasif, namun dia dinamis terus ber-evolusi. Dalam prosesnya, waktu merupakan kontruksi dasar dalam kehidupan manusia, waktu tidak bisa dilepaskan dari eksistensi manusia, dan dengan waktu itulah manusia akan ‘menjadi’.

            Merefleksikan waktu artinya mengigatkan akan dirinya di alam semesta ini, dengan demikian merayakan tahun baru tidak hanya sekedar menunggu pergantian tahun atau menunggu jarum pendek dan panjang sejajar di atas angka 12. Lebih dari itu, ini menandakan pengharapan kebaikan dan kebahagiaan di masa-depan.

            Dengan demikian memaknai tahun baru sebagai refleksi diri menuntut adanya hal-hal yang perlu untuk dievaluasi. Meliputi kualitas hidup, spiritual, dan sosial. Namun apakah hanya ketika tahun baru perlu untuk mengevalusi hidup? Tentunya tahun baru sebagai suatu fenomena memang sarat akan ‘pembaruan’.

            Lebih jauh lagi, memaknai tahun baru juga tidak bisa dilepaskan dari ‘memaknai kehidupan setiap harinya’, bukankah setiap hari kita hidup harus mempertanyakan alasan dan tujuan hidup? Ini yang seharusnya perlu untuk disadari dan dievalusi agar ‘hidup tidak hanya bersifat formalitas atau istilah jawanya; pokok e urip’. Sebagai penutup mengutip dari Buya Hamka; “Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”.

Refrensi: A. Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, dan Sarkim, Karya Lengkap Driyarkara; Esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal 25-33.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya