Mengapa Harus Rida…?

Ditulis Oleh: Siti Lutfiah (Sem. 4 Ma’had ‘Aly al-Fithrah)

Sumber: https://seekersguidance.org/answers/adab/how-how-do-i-expiate-for-intentionally-listening-to-backbiting-and-slander/

Rida merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu Radiya yang berarti senang, suka dan rela. Kata rida banyak disebutkan baik di dalam al-Qur’an ataupun al-Hadis. Di antaranya terdapat dalam surah al-Maidah ayat 119 yang berbunyi, “Allah rida kepada mereka dan mereka rida kepada-Nya.” Maksud dari ayat ini ialah Allah rida terhadap seorang hamba apabila hamba tersebut rida terhadap keputusan-Nya.
Rida adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau rida, dan Allah meridai apa yang engkau perbuat. Rida hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah. Sedangkan rida Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya..
Rida merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap hamba. Karna dengan rida, seorang hamba bisa dengan lapang dada menerima semua ketetapan Allah baik yang berupa nikmat atau cobaan. Namun jika melihat fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan kita, nyatanya banyak orang yang masih belum rida dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Sehingga hal tersebut menjadikan banyak di antara manusia yang menghalalkan segala cara untuk menggapai semua keinginannya, bahkan dengan cara yang diharamkan oleh agama. Seperti pembunuhan atau aksi bunuh diri yang sering terjadi di sekeliling kita, dikarenakan masih belum menerima atas apa yang telah menimpa dalam kehidupan mereka.
Dengan demikian, dalam artikel ini, penulis ingin membahas tentang rida serta urgensi rida dalam kehidupan. Sehingga membuat para pembaca menyadari bahwa rida itu sangat penting dan wajib dimiliki oleh setiap orang dalam dirinya. Lantas, apa yang dimaksud dengan rida itu sendiri? Dan seurgens apa rida dalam kehidupan seorang hamba?
Secara etimologi rida merupakan isim masdar dari kata Radiya-Yarda-Ridan yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah rida adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya, ia senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya.
Dalam hal ini, pada hakikatnya rida adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena hal itu merupakan kehendak Allah SWT. Seseorang yang telah mencapai maqam rida tidak akan menentang pada keputusan takdir Allah. maka hati orang yang rida akan merasa tenang, meskipun sedang tertimpa musibah.
Rida merupakan kondisi hati dimana jika seseorang merealisasikannya, maka dia akan mampu menerima semua kejadian yang ada di dunia dan berbagai macam bencana dengan iman yang mantap, jiwa yang tentram dan jiwa yang tenang. Bahkan dia akan sampai pada tingkat yang lebih dari itu, yaitu merasakan kebahagiaan dan kesenangan terhadap pahitnya takdir. Hal tersebut merupakan hasil buah dari ma’rifat kepada Allah dan cinta yang tulus dari pada-Nya.
Diterangkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kalian?” Jawab mereka, “Kami adalah orang-orang mukmin.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Apa tanda iman kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersabar ketika mengalami ujian dan bersyukur ketika mendapatkan kesejahteraan serta rela menerima keputusan Allah.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan(nya) Ka’bah, kalian memang orang-orang mukmin.” Buah dari rida itu sendiri adalah munculnya kesenangan dan ketenangan menakjubkan yang berhembus dari keridaan Allah SWT. yang berpadu secara langsung dengan besarnya cita-cita dan harapan yang di miliki seorang hamba.
Terkait rida, banyak di antara para ulama sufi yang berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Di antaranya:
Menurut Imam Al Ghazali, “Rida adalah pintu Allah yang paling luhur, barang siapa yang menemukan jalan rida dan mampu memandang dengan mata hatinya, maka ia akan mendapatkan keistimewaan serta kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT. Seseorang yang telah mencapai maqam ini hatinya senantiasa berada dalam ketenangan karena tidak di terguncang oleh apa pun sebab segala yang terjadi di alam ini bergantung dari takdir Allah SWT.”
Rabi’ah Al-‘Adawiyah pernah ditanya, “Kapan seorang hamba disebut orang yang rida?” Dia menjawab, “Apabila dia senang ketika mendapatkan musibah, sebagaimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan.”
Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa Utbah Al-Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan berucap, “Jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap mencintai-Mu.
Menurut Abu Umar Ad-Dimsyaqi, yang dimaksud rida adalah menghilangkan (meninggalkan) keluh kesah di mana saja hukum berlaku. Menurut Junaid, yang dimaksud rida adalah menghilangkan ikhtiyar (usaha, pilihan). Menurut Ibnu Atha’, rida adalah melihatnya hati terhadap lamanya pilihan Allah SWT. bagi hamba dengan meninggalkan kemarahan. Sedangkan menurut Ruwaim, menerima hukum dengan senang hati.
Haris Al-Muhasibi, mengatakan rida adalah tenangnya hati di bawah tempat-tempat berlakunya hukum. Sedangkan menurut An-Nuri yang dimaksud rida adalah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan.
Permintaan akan keridhoan kepada Allah SWT., adalah tujuan dari setiap amalan yang telah dikerjakan oleh setiap orang-orang mukmin. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman-Nya Q.S At-Taubah ayat 59:
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
Artinya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang di berikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya, dan demikian pula Rasul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah.”
Dalam ayat tersebut terkandung akhlak yang tinggi dan rahasia mulia, yang menyebabkan ia menjadi rida atas apa yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya, bertawakkal hanya kepada Allah semata, yaitu dalam firman-Nya: “Dan mereka berkata: “Cukuplah Allah bagi kami.” Dan rasa harap kepada Allah SWT semata agar diberi kemudahan untuk taat kepada Rasulullah SAW., melaksanakan perintahnya, meninggalkan larangannya, membenarkan beritanya, dan mengikuti jejaknya.
Terkait rida, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tasawuf, apakah rida termasuk ahwal atau maqamat?
Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah dijelaskan bahwa ulama Khurasan berpendapat bahwa rida termasuk bagian dari maqamat, yaitu puncak dari tawakkal seseorang kepada Allah SWT. Artinya rida dapat ditafsiri sebagai suatu maqam yang bisa diraih oleh seorang hamba karena usahanya. Berbeda dengan ulama Irak yang berpendapat bahwa rida termasuk bagian dari ahwal, yaitu sebagai sesuatu yang turun dan bertempat di hati sebagaimana keadaan yang lain, yakni sesuatu yang tiba-tiba datang dalam hati seorang hamba tanpa adanya suatu usaha yang dilakukannya.
Untuk mengompromikan dua pandangan di atas, maka imam Qusyairi dalam kitabnya Risalah Qusyairiyyah menjelaskan bahwa permulaan rida bagi seorang hamba bisa diraih dengan usaha yang dilakukannya, dan ini merupakan bagian dari maqamat. Sedangkan tingkatan selanjutnya yaitu puncaknya rida adalah tanpa adanya suatu usaha yang dilakukan. Artinya rida tersebut secara otomatis timbul dalam hatinya tanpa adanya usaha yang dilakukannya, dan ini merupakan bagian dari ahwal .
Jika seseorang itu belum bisa mencapai maqam rida, maka hendaknya ia menjadi orang yang bersabar atas segala ketetapan Allah SWT. terhadap dirinya. Hal ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari melalui surat yaitu, “…bahwa segala kebaikan terletak di dalam keridaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang rida, jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar”.
Jadi, dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan, bahwa rida adalah suatu kerelaan yang berada di dalam hati seseorang, dimana hatinya selalu rela, senang, suka atas apa yang telah menjadi ketetapan Allah bagi dirinya, baik itu berupa nikmat atau suatu cobaan sehingga hatinya tidak merasa sedih serta senantiasa berada dalam ketenangan atas apa saja yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan demikian apa yang menimpa dirinya baik berupa nikmat atau cobaan akan terasa sama di dalam hatinya sehingga ia menjadi seorang yang tidak pernah mengeluh atas apa yang telah terjadi. Dengan begitu hatinya selalu lapang serta senantiasa merasa senang, tenang dan tentram karna ia percaya bahwa apa-apa yang datang dari Allah itu lebih baik dari apa-apa yang datang dari dirinya. Dengan demikian seorang hamba itu harus rida, karna rida merupakan suatu hal yang sangat urgens dalam kehidupannya.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya