MENGGUGAT KESAKRALAN KATA “KHIDMAH”
Ditulis Oleh: M. Nasihuddin (Sem. 6 May al-Fithrah)
Khidmah merupakan suatu hal yang sangat di agung-agungkan dan juga di idam-idamkan di dalam pondok pesantren, khususnya bagi para santri, dengan dalih untuk mendapatkan barokah.
Realita pada zaman sekarang banyak yang menyalahgunakan khidmah itu sendiri, sehingga tidak jarang ditemukan para santri menggunakan khidmah sebagai dalih untuk bisa mengambil kenakan-kenakan yang bersifat duniawi, seperti dengan dalih khidmah tidak sekolah, sehingga kalau ditanya kenapa tidak sekolah? Jawabannya khidmah, hal tersebut berakibat sangat fatal, apabila penyalah gunaan makna khidmah tersebut menjadi suatu tradisi, oleh karena itu penulis ingin meluruskan makna khidmah tersebut, supaya orang tidak menyalah gunakan lagi dan menjadikannya sebagai dalih, untuk meraiah keenakan dunia.
Khidmah secara bahasa adalah melayani, secara istilah khidmah difahami sebagai pelayanan seorang santri terhadap seseorang yang di anggap mulia, baik itu seorang kyai atau yang lain. Sebenarnya konsep awal dari khidmah itu dalah barang siapa yang melaksanakan khidmah maka dia akan mendaptakan barokah, sebagai mana maqolah:
الخدمة تتركب فيها البركة,والكسب تتركب فيها الأجرة
” khidmah itu menghasilkan barokah, dan usaha menghasilkan upah”
Dari maqolah diatas dapat difahami bahwa pada asalnya orang yang berkhidmah itu harusnya mendapatkan barokah. Oleh karena itu, khidmah dianggap sesuatu yang sakral karena buah dari khidmah itu adalah barokah. Akan tetapi, tidak sedikit yang katanya “berkhidmah” malah jauh dari kata mendapatkan barokah. Sehingga kalau mengacu pada maqolah diatas pasti ada yang salah dari cara khdimahnya, karena secara bagaimanapun maqolahnya sudah benar, hanya saja cara berkhidmahnya yang perlu dipertanyakan.
Oleh karena itu, wajar saja orang yang katanya “khidmah”(dengan tidak melakukan cara khidmah yang benar) tidak mendapatkan barokah dari apa yang sedang dia lakukan, karena dari khidmahnya saja dia salah, seperti orang yang di satu sisi dia khidmah tapi disi yang lain dia meninggalkan kewajibannya, mana mungkin dia mendapatkan barokah dari orang lain, sedangkan kewaijban pada dirinya saja tidak dilakukan. Hal itu sama seperti lilin, yang mana lilin tersebut membakar dirinya sendiri untuk memberikan penerangan kepada orang lain, dalam artian itu sama saja membakar dirinya sendiri!. Juga karena dalam skala prioritas, seseorang harus mendahulukan kewajiban dirinya terlebih dahulu baru setelah itu boleh melayani orang lain. Contohnya seperti santri yang meninggalkan kewajiban dirinya, yaitu mencari ilmu, dengan dalih “khidmah”. Sehingga ketika waktu sekolah, dia tidak masuk sekolah dengan dalih bahwa dia khidmah. Mana mungkin mendapatkan barokah, sedangkan kewajibannya sendiri saja masih belum terlaksana. Alih-alih mendapatkan barokah, ilmu yang seharsunya dia miliki malah tidak dia dapatkan. Sehingga wajar saja ketika ada santri yang menghabiskan kehidupannya di pondok dengan khidmah, hasilnya menjadikan dia seorang yang tidak memliki ilmu yang cakap, padahal seharusnya santri itu memliki ilmu yang cakap, karena dipondok memang diberikan kewajiban untuk menuntut ilmu, dan dituntut untuk punya ilmu yang cakap.
Makanya, perlu sekali dalam berkhidmah dibarengi dengan adab. Karena orang yang mengedapankan adab tidak mungkin meninggkalkan kewajiban dirinya untuk melayani orang lain. Dalam kitab muntakhobat juz 5 dikatakan
ادب الخدمة أعز من الخدمة نفسها
“Adab dalam berkhidmah itu lebih penting dan agung daripada khidmah itu sendiri”
Hanya orang yang tidak paham adab, terutama adab bagi dirinya sendiri dan orang lain yang meninggalkan kewajiban dirinya untuk melayani orang lain. Apalgi hanya mau dtukar dengan keenakan duniawi yang begitu murah.
Hal itu dikarenakan salah satu adab dari khidmah adalah seseorang harus melaksanakan kewajiban dirinya terlebih dahulu, seperti kewajiban ibadah atau kewajiban mencari ilmu.
Sehingga dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa kalau khidmah tidak diposisikan didalam tempat yang benar dan dibungkus dengan adab maka akan menjadi bomerang pada pelakunya, alih-alih memdapatkan barokah dengan khidmah tersebut malah kewajibannya yang tidak karu-karuan.