Tasawuf Pesantren Menumbuhkan Pluralisme (?)

Ditulis oleh: Redaksi

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dengan berbagai masyarakat yang pluralitas ini mengharuskan untuk ber-pluralisme. Karena paham tersebut merupakan pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat.

            Selain itu, pluralisme juga mendorong setiap orang untuk menyadari bagaimana mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, paham ini harus benar-benar dilestarikan, tentunya agama sebagai pondasi kehidupan di negara ini memiliki tantangan yang besar dalam melestarikan hal tersebut.

            Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki kesesuaian dengan dasar dan tujuan berdirinya agama. Analoginya sama-sama menciptakan kemaslahatan, toleransi dan keadilan. Namun, di dalam pluralisme konflik merupakan hal yang sangat sulit untuk dihindari. Salah satunya seperti kasus az zaytun yang lagi viral saat ini.

            Diduga ada beberapa permasalahan seperti penistaan agama, kasus pencabulan, bahkan diduga juga sebagai sarang NII yang mana semua itu melanggar hukum negara serta membuat warga resah. Dalam meredam konflik pluralisme tersebut, Islam memiliki konsep amar ma’ruf nahi munkar yang telah dicontohkan oleh beberapa ulama’ sufi yang muaranya berpluralisme.

            Mengapa harus percaya ulama’ sufi? pertanyaan tersebut mungkin terlintas karena adanya sandaran sufi. jadi masyarakat saat ini dalam mendefinisikan ulama’ terkadang sangat mudah sekali. hanya berlabelkan MUI atau lulusan pendidikan agama atau yang bisa mengobati berbagai penyakit terkadang sudah dijadikan ulama’ yang perilakunya harus diikuti.

            Padahal ulama’ yang harus diikuti adalah ulama’ yang benar-benar ulama’ (ulama’ sufi). yakni ulama’ yang berperilaku sesuai dengan ajaran tasawuf yang meliputi syariat tarekat dan hakikat. ajaran tersebut telah dimiliki pesantren dalam meregenerasi ulama’ sufi.

            Secara spesifik, tulisan singkat ini akan mengupas tentang konsep tasawuf pesantren perspektif Al Ghazali dalam menumbuhkan pluralisme di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pesantren sebagai lembaga yang dinilai sukses dalam mencetak generasi ulama sufi perlu untuk diteliti lebih lanjut. Selain itu, pandangan Al Ghazali juga diperlukan karena beliau merupakan contoh ulama’ sufi yang memajukan Islam.

Analogi

            Pendidikan spiritual Islam di Indonesia yang dinilai telah berhasil mencetak kader ulama sufi adalah pesantren. Sebab dalam pesantren fokus kajianya mempelajari islam secara mendalam. Adanya ngaji dari kyai dan belajar adab terhadap sesama dalam ruang lingkup yang dibatasi menjadi sui generis pendidikan pesantren.

            Kajian Islam di pesantren dengan menggunakan kitab kuning (kitab klasik) mengindikasikan bahwa pesantren mencontoh perilaku para ulama’ yang memiliki sanad keilmuan dan perilaku yang sambung hingga Rasulullah SAW.

            Pendidikan di pesantren juga tidak terlepas dengan tasawuf. Karena tasawuf adalah ilmu yang mempelajari untuk bisa wushul ilallah (sampai kehadirat Allah). Tentunya seperti apa yang telah didawuhkan oleh Syaikh Muhammad Syatha ad Dimyati dalam Kifayatul Atqiya bahwa untuk wushul ilallah dibutuhkan syariat, tarekat dan hakikat.

            Syariat yang berisi perintah dan larangan dipelajari di pesantren dengan adanya kegiatan ngaji bersama kyai atau dengan musyawarah dan bahtsul masail. Tarekat yang berisi sebuah pengamalan juga dipelajari dengan adanya pendidikan kitab akhlaq dan adab, serta bisa mencontoh langsung perilaku kyai. sedangkan hakikat ini bagaimana agar kita  mendapat buah ilmu dan amal, tentunya dirasakan dan diresapi serta berdoa dan tawakal.

            Hal ini sesuai dengan konsep tasawuf Al Ghazali dalam proses pembinaan moral yang secara metodologis dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Tahap Takhalli, yakni tahap pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, seperti ujub, takabur, riya, hasad, dusta, bakhil, dsb. Sifat-sifat tercela itu muncul sebagai akibat dari dominasi nafsu yang menguasai jiwa manusia. Oleh karena itu, pada tahap takhalli ini para santri dilatih untuk riyadah dengan bersungguh-sungguh untuk mengendalikan nafsu (mujahadah). Mereka dilatih untuk tidak melakukan perbuatan maksiat yang akan mengotori jiwanya. Sebab, jiwa yang kotor tidak dapat menerima cahaya ilahiyah. Akibatnya hati menjadi gelap dan terhijab untuk bekomunikasi dengan Allah Azza wa Jalla. Kebersihan jiwa (tazkiyah al-nafs) menjadi penting sebagai tahapan yang harus dilalui dalam upaya pembinaan moral.
  2. Tahap Tahalli, yakni tahap pengisian dan penghiasan diri dengan sifati-sifat terpuji, seperti taubat, zuhud, wara’, syukur, sabar, tawakal, ridha, dsb. Pada tahap kedua ini pembinaan moral lebih ditingkatkan dengan upaya pendakian tangga maqâmât dari satu maqâm ke maqâm berikutnya sampai diperoleh kondisi batin (ahwâl) akan rasa kedekatannya dengan Tuhan. Karenanya pendidikan moral  di pesantren dibina secara terus menerus melalui latihan rohani (riyâdah) dan kesungguhan mengendalikan hawa nafsu (mujâhadah).
  3. Tahap Tajalli, yakni tahap tersingkapnya penampakan nur ghaib atau nur ilahiyah dalam jiwa seseorang. Tahap ini adalah tahap pemantapan dari tahap takhalli dan tahap tahalli. Tahap tajalli dapat dirasakan oleh sufi melalui ibadah, khususnya shalat dan puasa, dzikirullah, dan munajat kepada Tuhan. Semua amaliyah tersebut dilatih di pesantren agar bisa khusyuk dan merasakan setiap ilmu atau amaliyah yang dikerjakan. Jadi, ketiganya berjalan bersamaan dan tidak dapat dipisahkan salah satunya.

            Dari ketiga konsep Al Ghazali tersebut menandakan adanya hubungan dengan pendidikan pesantren dalam menumbuhkan perilaku yang sesuai dengan ajaran islam, termasuk pluralisme.

Implementasi

            Pluralisme merupakan sunatullah yang menciptakan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Pluralisme tidak dapat dihindari mengingat Tuhan sendiri yang menciptakan kita beragam jenis suku, ras, bangsa dan agama. Tujuannya ialah untuk saling mengenal (Al-Hujurat: 13). Dalam penafsirannya (kemenag RI) ialah supaya diharuskan untuk saling menolong dalam kebaikan.

            Seandainya jika Tuhan menghendaki, maka bisa saja dijadikan satu agama, namun dari situ terdapat tujuan lain bahwa Tuhan ingin menguji hambanya agar tidak tunduk terhadap nafsu dan agar berlomba-loma dalam kebaikan (Al-Maidah: 48). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan yang sangat peduli terhadap sosial kemasyarakatan.

            Telah diketahui diatas bahwa pluralisme merupakan cara yang baik dalam menanggapi pluralitas. Meskipun 3 konsep (takhalli, tahalli dan tajalli) diatas menyebutkan sebuah proses pembinaan moral secara umum, hal itu juga dapat di implementasikan dalam menumbuhkan pluralisme. Selain itu, 3 konsep Al Ghazali yang dipelajari dipesantren juga sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam menanggapi kasus pluralisme.

            Dari konsep takhalli mengindikasikan bahwa langkah awal menumbuhkan pluralisme adalah pembersihan dari sifat-sifat tercela. Karena jika tidak dibersihkan, maka pluralisme tidak akan muncul. Misalnya masih mengikuti hawa nafsunya dalam sifat iri, dengki, atau kepentingan-kepentingan pribadinya, tentunya malah memunculkan konflik.

            Permasalahan Az-zaytun diatas jika benar adanya sarang NII disana, maka pondok tersebut tidak berpluralisme terhadap warga Indonesia. Sehingga, niat atau tujuan harus bersih dari hal-hal yang tercela.

            Adapun konsep tahalli menunjukkan bahwa langkah setelah bersihnya sifat-sifat tercela adalah dengan menghiasinya dengan sifat terpuji. Hal ini perlu dilakukan, karena jika tidak dihiasi, maka akan memunculkan adanya konflik dan tidak bisa digunakan dalam menumbuhkan pluralisme.

            Di pesantren di pelajari berbagai adab dan cara dalam beramar ma’ruf nahi munkar yakni dengan mauidhah hasanah (An-Nahl: 25). Sehingga perbuatan yang disertai perilaku dan sifat-sifat terpuji bisa menumbuhkan paham yang bisa menghargai dan menoleransi terhadap keragaman (pluralisme).        

            Sedangkan tajalli disini merupakan tahap merasakan takhalli dan tahalli. Rasa ini sangat penting agar perilaku lebih bermakna dan tidak gampang putus asa. Sehingga jika ketiga konsep ini dilakukan, tentunya pluralisme akan tumbuh dengan sendirinya karena paham tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam kaafah (sempurna).

Akhir Kata

            Mengingat pentingnya pluralisme di masyarakat Indonesia yang pluralitas ini, pesantren mengajarkan konsep tasawuf yang digagas oleh Al Ghazali dalam melestarikan paham tersebut. Dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli nya Al Ghazali, pesantren mendidik santri untuk bisa memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan konswekuensinya juga harus baik terhadap makhluknya.

            Pengaplikasian ketiga konsep tersebut ialah membersihkan diri dari perilaku tercela, menghiasi dengan perilaku terpuji, dan merasakan keduanya sampai terbukanya nur cahaya keilahian. sehingga perilakunya sesuai dengan ajaran agama, termasuk bisa menyikapi dengan baik masyarakat yang pluralitas ini (pluralisme).

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *