Esensi Sufistik Al Fatihah Ayat 5: Manifestasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ditulis oleh: Zidan Syahrul A.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jati diri masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis. berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan tujuan utama pendidikan bangsa ini. Hal tersebut menjadi bukti bahwa agama berperan penting bagi muara kebaikan bangsa Indonesia.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, berperan penting bagi ter-realisasinya tujuan pendidikan bangsa ini. Sumber ajaran dalam Islam adalah Alqur’an, Hadis, Ijma’ dan qiyas. Alquran menjadi sumber terdepan dalam Islam karena sumber selanjutnya berfungsi sebagai penafsir Al-Quran. Penafsir yang menjadi panutan adalah Rasululluh SAW, dan para pewarisnya yakni ulama sebab mereka mengetahui hakikat makna dari Al-Quran secara dzahir dan batin.
Banyak para penafssir yang menafsiri ayat dalam makna dzahirnya ayat saja atau dalam makna batinya saja, dan hal tersebut terkadang membuat para pendengarnya gagal faham. Sehingga penafsiran yang menjelaskan makna batin ayat dengan tetap memperhatikan makna dzhohir ayat (penafsiran sufistik) ini sangat berguna dalam mengetahui hakikat makna dalam ayat Al-Quran serta lebih muda diterima dan dipahami oleh pendengar.
Penafsiran sufistik hanya dapat dilakukan oleh ulama yang dapat menyingkap isyarat makna yang datangnya dari anugrah tuhan sebab dari mujahadah dan riyadoh dari ulama tersebut (ulama sufi). jika penafsiran sufistik bukan dari kategori sufi, maka akan menimbulkan salah pemahaman yang menimbulkan adanya kasus ekstremisme, paragtisisme, terorisme dll.
Dalam hal ini, penulis berusaha mengungkapkan penafsiran sufistik surat Al-Fatihah ayat 5 pandangan KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi dalam mewujudkan tujuan pendidikan bangsa Indonesia ini.
Penafsiran Sufistik KH Achmad Asrori Al-Ishaqi Surat Al Fatihah ayat 5
Ilmu tasawuf dan tarekat KH. Achmad Asrori Al Ishaqi tidak diragukan lagi dari adanya kitab Muntakhobat yang dikarangnya. Didalamnya membahas ilmu-ilmu tasawuf dan tarekat disertai argumen-argumen yang kuat dari alquran, hadis, pendapat ulama serta pendapat beliau sendiri.
Dalam kitab Muntakhobat, Syariat, tarekat dan hakekat menjadi amaliyah dalam mencapai makrifat. Hal tersebut berlandaskan Al-Quran dalam surat Al-fatihah ayat ke 5 yang terjemahanya “Hanya kepadamu kami menyembah dan hanya kepadamu kami memohon pertolongan”.
Maksud dari “Hanya kepadamulah kami menyembah” adalah kita sebagai hamba hendaknya melakukan kewajiban-kewajiban berupa perintah atau larangan dan inilah syariat.
Lanjutnya, seorang hamba akan berpotensi menduga bahwa dirinya memiliki keinginan, sehingga hampir saja ia ujub dan riya’ serta dirinya merasa mampu melakukan ibadah. Maka Allah selanjutnya berfirman “Hanya kepadamu kami memohon pertolongan”.
Hal tersebut merupakan hakekat beribadah sebab semua amaliyah syariat tersebut bersumber dari Allah. Ketika seorang hamba telah berhasil menjalankan syariat dan hakekat, maka akan istiqomah dalam beribadah dan tidak gampang putus asa dan juga mengeluh.
Setelah mengetahui ajaran tasawuf diatas, dapat diketahui bahwa ajaran tasawuf tidak hanya berhenti pada syariat saja, melainkan hingga dapat merasakan hakikat dari amaliyah tersebut. Hal itu sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam mencegah adanya permainan hukum untuk sebuah kepentingan dan juga menumbuhkan sifat tidak gampang putus asa.
Sehingga tasawuf harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan dengan mengamalkan ajaran yang telah disebutkan dalam penafsiran sufistik al-Fatihah ayat 5 diatas, yakni menghamba pada tuhan.
Rakyat Makrifat: Indonesia Kuat
Dari penafsiran sufistik al fatihah ayat 5 yang telah dijelaskan diatas dapat kita pahami juga posisi antara pencipta dan makhluknya. Seorang hamba harus patuh kepada tuhanya. Jika hamba tidak memosisikan sebagai hamba maka akan terjadi kerusakan pada hamba tersebut.
Posisi antara pencipta dan makhluk harus dipahami dan selalu diperbaiki. Permasalahan yang terjadi biasanya bersumber karena tidak mengesakan tuhan. Seperti yang sering terjadi ialah “menuhankan diri.”
“Menuhankan diri” yakni mengesampingkan tuhan dan menganggap kepentingan pribadinya lebih butuh dibandingkan kewajiban menghamba. Padahal manusia hanya diciptakan untuk menghamba dengan menjadikan seluruh pekerjaanya sebagai ibadah. Oleh karena itu karakter bangsa pertama yang harus dibenahi adalah mengesakan tuhan.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pondasi kokoh lahirnya sila selanjutnya. Memang benar, Indonesia telah memiliki peraturan yang cukup jelas, lengkap dan tegas, akan tetapi apakah peraturan tersebut dapat mengawasi seluruh tingkah laku manusia selama 24 jam? Jawabanya adalah mustahil. Sehingga memakrifatkan masyarakat menjadi tantangan bagi ulama dalam membentuk karakter bangsa.
Selanjutnya ketika sudah mengerti ilmu ketuhanan, manusia secara otomatis menjadi manusian yang adil dan beradab. hal itu sebagai bentuk seorang hamba yang tidak boleh mendzolimi sesama. Sehingga terjadinya konflik yang mengakibatkan adanya perpecahan terminimalisir “Persatuan Indonesia”.
Menjaga persatuan harus dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Rakyat harus patuh pada pemimpinya laksana hamba yang patuh pada tuhanya. Itu juga terdapat dalam Al quran untuk taat pada “ulil amri”. Terbungkus dengan adab menjadi harmonisnya suatu hubungan, yakni dalam permusyawaratan perwakilan, Sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercipta.
Walhasil, Penafsiran sufistik KH Ahmad Asrori dalam alfatihah ayat 6 memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan spiritual yang ada di indonesia. Pemahaman tasawuf (Syariat, tarekat, hakekat) yang disampaikan menjadi kunci utamanya sebuah keberhasilan memperbaiki hubungan hamba dengan tuhanya.
Hal tersebut memberikan nilai positif bagi kehidupan bangsa karena sila ketuhanan yang maha esa sebagai pondasi lahirnya sila selanjutnya. Harapanya bagi pembaca hendaknya selalu memperdalam makna ayat alquran dengan mempelajari makna dhohir bathin ayat yang telah disampaikan para ulama sufi guna mendapatkan pemahaman yang sebenarnya dari ayat tersebut.