Abu Harits Al-Muhasibi dan Ke-Wara’ an nya
Ditulis Oleh: Hizamy
Al-Muhasibi merupakan salah satu tokoh tasawwuf yang cukup berpengaruh. Dia bernama lengkap Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Bahsri al-Muhasibi. Lahir di Bashrah pada tahun 165H dan wafat pada tahun 243H.
Ajaran-ajaran dan tulisannya memberikan pengaruh yang kuat terhadap ahli tasawwuf setelahnya khususnya Abu Hamid Al-Ghazali. Sehingga menurut beberapa peneliti, karya monumental Ghazali seperti Ihya’ Ulumuddin dan al-Munqidz min al-Dzalal itu terpengaruh dan terinspirasi dari pemikiran dan tulisan al-Muhasibi.
Julukan al-Muhasibi
Praktik Tasawwuf al-Muhasibi yang terkenal ialah muhasabah atau introspeksi diri. Setiap pemikiran dan perbuatan yang ia lakukan pasti diintrospeksi, apakah yang saya lakukan sesuai dengan jalan yang ditentukan Allah? Apakah ini terdorong dari syahwat atau rasio? Apakah pemikiran saya benar?, Semuanya diintrospeksi baik perbuatan, ucapan bahkan pemikiran.
Keseringannya dalam berintrospeksi ia tuliskan dalam karyanya yang berjudul al-Ri’ayah li Huquq Allah, karena perbuatannya ini dia diberi julukan al-Muhasibi (orang yang banyak berintrospeksi diri).
Kisah Menarik Tentang Al-Muhasibi
Imam Abu Harits al-Muhasibi terkenal dengan ke wara’annya. Saking wara’nya, apabila dia disuguhkan makanan yang syubhat maka tangannya akan kejang-kejang dan tidak bisa mengambil makanan itu seakan-akan ada sinyal dari makanan itu bahwa itu makanan syubhat.
keistimewaanya ini sebagaimana riwayat dari Imam Junaid yang terdapat dalam kitab Tadzkirat al-Auliya’ karya Fariduddin Atthar. Imam Junaid meriwayatkan: “Pada suatu hari Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar.
kemudian aku berkata “Akan kuambilkan makanan untukmu paman” kemudian dia menjawab “Baik sekali”, kemudian aku pergi ke gudang untuk mencari makanan dan kudapati sisa-sisa makanan yang diantarkan kepadaku dari sisa-sisa perayaan pernikahan.
kuambil makanan itu dan aku suguhkan kepada Abu Harits al-Muhasibi. Tetapi ketika dia hendak mengambilnya tangannya kejang dan tidak bisa digerakkan, akhirnya dia paksakan untuk mengambilnya dan hendak memasukkan kedalam mulutnya.
Tetapi makanan itu tidak bisa ia telan walaupun dia berusaha sekuat tenaga untuk menelannya, setelah beberapa waktu dia berusaha dan tetap tidak bisa, akhirnya dia berdiri dan meludahkannya, kemudian dia pulang.
Di kemudian hari aku bertanya kepadanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Abu Harits al-Muhasibi menjawab: “Waktu itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu, namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya(syubhat) tidak dapat aku telan dan jari-jariku tidak mau menyentuhnya.
Sebenarnya dari manakah engkau mendapatkan makanan itu?” kemudian aku menjawab “dari kerabatku”. Lalu aku berkata kepadanya “Tetapi sekarang ini maukah engkau datang kerumahku?” “Baiklah” jawabnya. Kemudian aku pulang bersamanya. Dirumah aku keluarkan roti kering dan kami pun segera memakannya. Abu Harits al-Muhasibi kemudian berkata: “Makanan seperti inilah yang seharusnya disuguhkan kepada guru sufi.”
Juga diriwayat lain, saking wara’nya dia, harta warisan dari ayahnya yang berjumlah tiga puluh ribu dinar, tidak mau dia terima karena beda aliran dan pemikiran dengannya. Dia berkata “Serahkan uang itu kepada negara” lalu, orang-orang bertanya “mengapa?”. kemudian, Abu Harits al-Muhasibi menjawab “Nabi pernah bersabda bahwa orang-orang Qadariyah adalah sama dengan orang majusi, sedangkan ayahku adalah orang yang berpaham Qadariyah, dan juga Nabi pernah bersabda bahwa seorang muslim tidak boleh menerima warisan dari orang orang majusi, bukankah aku seorang muslim dan ayahku seorang Majusi?.
Sumber: Kitab Tadzkiratul Awliya’ dan beberapa sumber lain.