Ramah di Medsos dengan Konsep Moderasi Islam
Ditulis Oleh: Abdul Hamid Majid
Banyak aspek kehidupan manusia telah terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Pendek kata, semua aspek harus mampu beradaptasi dengan perkembangan tersebut agar tetap eksis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kehadiran internet misalnya, telah menjadi jembatan bagi banyak orang untuk mencari informasi, pengetahuan dan pertemanan, dan banyak juga perusahaan yang menggunakan Internet dan membuat produk-produk yang dapat terhubung ke Internet.
Berkat kemajuan teknologi digital, banyak pola kehidupan masyarakat yang berubah, salah satu contohnya adalah perubahan dalam hal keagamaan. Akibat kecenderungan masyarakat kepada dunia digital, kerap kali masyarakat melihat konten-konten kekerasan yang melibatkan agama di dalamnya.
Seperti contoh peristiwa Taliban di Afganistan, aksi pengeboman oleh teroris, dan sebagainya. Aksi radikal tersebut tak lain mengatasnamakan agama dan politik semata. Peristiwa itu membawa dampak negatif bagi sebagian masyarakat yang dalam dirinya belum tertanam sikap moderat.
Berangkat dari permasalahan di atas, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai upaya preventif yang perlu dilakukan atas tindakan kelompok radikal di media sosial melalui konsep moderasi dalam Islam.
Moderasi atau dalam Islam disebut dengan wasathiyah adalah sebuah kerangka berpikir, bagaimana bersikap dan bagaimana cara menjaga pola keseimbangan terhadap semua aspek kehidupan.
Moderasi sendiri tidak dapat dipisahkan dengan dua kata kunci yakni “adil dan berimbang” maka menjadi seorang moderat membutuhkan sentuhan keseimbangan dan keadilan dalam mejalankan maknanya.
Maksud moderasi dalam konteks ini adalah membawa pemahaman masyarakat kepada pemahaman yang moderat, tidak mendewakan rasio berpikir bebas tanpa batas dan tidak ekstrim dalam beragama apalagi di era digital seperti saat ini.
Dalam dunia digital, eksistensi manusia mengalami banyak perubahan yang mendasar dari sebuah bentuk tubuh yang bergerak, menjadi tubuh yang diam di tempat dan hanya mampu menyerap informasi melalui gadget atau elektronik.
Pada titik inilah terdapat kesempatan bagi kelompok tertentu untuk menyuburkan konflik keagamaan dan tidak hanya itu, ajaran-ajaran agama dipertentangkan dengan kebijakan negara.
Kondisi yang seperti ini akan sangat mengkhawatirkan karena dapat menggeser otoritas keagamaan, dan lambat laun otoritas keagamaan tidak lagi dipegang oleh para Ulama yang otoritatif dan kredibel. (Hefni, 2020)
Dengan datangnya fenomena tersebut, moderasi beragama perlu diterapkan, dengan adanya moderasi beragama melalui dialog dan saluran kanal digital secara terus menerus, masyarakat muslim akan selamat dari persimpangan keagamaan di ranah digital.
Karena wasathiyah atau moderasi adalah konsep yang tidak membenarkan adanya pemikiran radikalisme dalam agama dan juga tidak mengabaikan kandungan al-Qur’an yang posisinya sebagai dasar hukum utama. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, wasathiyah adalah karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi lain. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143 berikut:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (umat yang adil, yang tidak berat sebelah, naik ke dunia maupun akhirat, tetapi seimbang antara keduanya) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…. (QS. Al-Baqarah: 143).
Ada dua sikap manusia dalam beragama selain moderat yang dikenal dengan istilah ekstrem kanan (tatarruf tashaddudi) dan ekstrem kiri (tatarruf tasahhuli). Dari beragam pemahaman tersebut, di kanal digital seringkali kita menjumpai kelompok yang bersikap radikal. Radikal sering kali dihubungkan dengan sikap keras dalam beragama.
Konteks moderasi beragama sendiri memahami radikal sebagai suatu ideologi yang berusaha melakukan perubahan pada tatanan sosial dan politik dengan menggunakan cara ekstrem (kekerasan) yang mengatasnamakan agama, baik secara fisik maupun pemikiran.
Upaya pencegahan semua itu dengan tindakan deradikalisasi (proses penghilangan sikap radikal), salah satu bentuknya adalah dengan penanaman sikap moderat. Lebih jauh, sikap radikal ini bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia yang cenderung agamis, terpelajar, toleran, dan mampu berkomunikasi dengan keberagaman.
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukanlah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada tuhanmu)” (QS. Al-Qalam: 28).
Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnu Abbas ra berpendapat bahwa kata ausathuhum dalam ayat tersebut bermakna “orang yang paling adil dari mereka”. Sama seperti At-Thabari dan Ibnu Abbas, Al-Qurthubi menafsiri ayat ini sebagai orang yang paling ideal, paling adil, paling berakal dan paling berilmu.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa wasathiyah adalah yang paling adil, terbaik, menengah dan paling berpengetahuan dalam arti Al-Qur’an. Jika ditautkan ke sistem teknologi digital saat ini, secara tidak langsung umat Islam dituntut untuk lebih berhati-hati ketika memberikan dan mencari informasi seputar keagamaan.
Demi menjaga keharmonisan hidup di era modern yang banyak menggunakan teknologi digital, sikap ideal atau moderat (wasathiyah) sangat baik untuk diaplikasikan. Karena penerapan sikap moderasi membawa seseorang untuk lebih fleksibel dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya sendiri serta dapat memudahkan dalam berinteraksi dengan komunitas atau kelompok lain yang berbeda. Salah satu solusi yang tepat dalam menghadapi radikalisasi beragama adalah dengan menanamkan sikap moderat, karena sikap moderasi dalam beragama merupakan bukti stabilitas ketuhanan yang dilandasi kesadaran dalam memahami nas agama.