Falsafah Astha Brata dalam Naskah al-Malhudhat #1
Ditulis Oleh: Redaksi

Zaman modern merupakan zaman yang penuh dengan perubahan-perubahan sosial, meliputi berbagai sektor tak terkecuali ialah sektor politik. Secara garis besar, perubahan sosial terdapat dua faktor yang ada di dalamnya, baik itu faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi ekonomi, sosial maupun teknologi yang semakin berkembang, sedangkan faktor eksternal meliputi sesuatu yang terjadi di luar perencanaan manusia, semisal bencana alam.
Banyak sekali problem yang terjadi di era ini. Lebih spesifik lagi, era modern saat ini telah banyak sekali dikabarkan dengan seorang pemimpin yang merusak ekosistem bumi ataupun yang lebih mencengangkan lagi, terjadi perebutan kekuasaan di mana-mana. Timbal balik dari kejadian tersebut, para rakyat yang dipimpinnya menjadi korban dengan tindakan-tindakan negatif yang dilakukan oleh pemimpinnya.
Seperti pemimpin yang mencari keuntungan dengan menggelapkan dana dan aset negara, konflik agraria, serta tindakan mempersempit ruang rakyat. Hal tersebut semakin diperparah di era modern ini, di mana manusia tidak mampu secara tegas untuk membedakan antara yang suci dan yang tidak.
Sehingga berakibat pada ketidakmampuan diri dalam membedakan yang baik dan buruk, yang indah dan jelek serta yang benar dan salah. Hal inilah yang menjadi latar belakang pengecapan tidak adil kepada pemimpin.
Menilik pada dokumen sejarah, jauh sebelum Indonesia merdeka, Pancasila terbentuk dan undang-undang termaktub, ada norma-norma yang telah menjelaskan konsep kepemimpinan di kalangan masyarakat (terutama masyarakat Jawa). Salah satunya konsep Astha Brata.
Konsep Astha Brata merupakan gabungan dari dua kata Astha yang berarti delapan dan Brata yang berarti laku, jalan spiritual rohani. Maka diartikan sebagai kedelapan sifat yang dimiliki seorang pemimpin dalam memimpin wilayahnya. Delapan sifat tersebut mengambil unsur-unsur alam seperti bumi, langit, angina, air, bulan, matahari, api dan bintang. Maka, seorang pemimpin diharapkan menguasai delapan laku tersebut, sebagai kriteria pemimpin yang adil, jujur, berwibawa dan arif.
Gaya kepemimpinan yang ditawarkan dalam Astha Brata ini, ialah sebagai berikut:
- Hambeging Kisma (Watak Bumi)
- Hambeging Tirta (Watak Air)
- Hambeging Samirana (Watak Angin)
- Hambeging Samodra (Watak Lautan)
- Hambeging Candra (Watak Bulan)
- Hambeging Surya (Watak Matahari)
- Hambeging Dahana (Watak Api)
- Hambeging Kartika (Watak Bintang)
Ketika hal itu erat kaitannya dengan soal spiritual (rohani), dalam gagasan sufi terdapat salah satu naskah gubahan tokoh sufi millennial dengan judul Al-Malhudhat. Naskah tersebut berisi untaian-untaian mutiara dari guru penulis sekaligus mursyid salah satu organisasi tarekat terbesar di Indonesia, juga sebagai pegangan bagi setiap santrinya.
Naskah tersebut sering dibacakan dan selalu termaktub dalam setiap buku pedoman per unit di lingkungan pondok yang penulis tempati. Isi kandungan yang ada dalam naskah tersebut selain sebagai tuntunan sekaligus bimbingan bagi setiap santri, juga dirasa mampu untuk direlevansikan sebagai tuntunan dan bimbingan bagi pemimpin-pemimpin yang ada.
Isi dari naskah tersebut bagi penulis sejalan dengan unsur Astha Brata, sebuah falsafah-konsep yang berisikan tentang unsur dan kriteria kepemimpinan yang mengambil karakter alam semesta.
Tokoh sufi yang dimaksud ialah KH. Achmad Asrori Al Ishaqi r.a., merupakan tokoh tasawuf sekaligus pendiri pondok pesantren Assalafi Al Fithrah sekaligus pendiri Jamaah Al Khidmah, sebuah perkumpulan jamaah yang terdiri dari ratusan ribu jamaah dan tersebar di berbagai pelosok tanah air hingga mancanegara. Al-Ishaqi merupakan tokoh tasawuf di era millennial ini, karena baru saja ajal menjemputnya pada tahun 2009.
Jika kita amati kembali gaya kepemimpinan yang ditawarkan dalam Astha Brata, maka kita dapati pula unsur semesta dalam al-Malhudhat:
عَلَيْكَ بِعُرْوَاةِ الْوُثْقَى وَعِمَارَةِ التَّقْوَى وَالصِّدْقِ وَالْإِخْلَاصِ, فِيْ طَلَبِ زَوَالِ جَهْلِكَ وَحِجَابِ نَفْسِكَ, لِيُمَحِّصَ وَيَتَشَرَّبُ نُوْرُ الْيَقِيْنِ وَالْمَعْرِفَةُ فِيْ بَصِيْرَتِكَ وَسَرِيْرَتِكَ, حَتَّى لَاتَزَالَ وَظِيْفًا مُرْتَقِيًا مُهَذَّبًا فِيْ عُبُوْدِيَّتِكَ مَعَ اللهِ سُبْحَانَهُ
وَعَلَيْكَ بِلْأِخْلَاقِ الْكَرِيْمَةِ وَالْأُسْوَةِ الْحَسَنَةِ, حَيْثُ يَكُوْنُ أَشْعَرُ قَلْبِكَ كَالسَّمَاءِ فِيْ رَفْعِ الْهِمَّةِ وَنُفُوْذِ الْعَزِيْمِةِ, وَكَالْأَرْضِ يَطَأُهُ كُلُّ الْبِرِّ وَالْفَاجِرِ وَيَسْكُنُ, وَكَالْجَبَلِ فِيْ عُلُوِّ السَّمْتِ وَضَخْمِ السَّكِيْنَةِ, وَكَالْبَحْرِ فَيْ تَلَاطُمِ الْمَخَافَةِ وَهَيْجَانِ الدَّهْشَةِ, وَكَالسَّحَابِ يَظِلُّ كُلَّ شَيْئٍ وَيُبَرِّدُهُ, وَكَالْمَطَرِ يُسْقِى كُلَّ مَا يُحِبُّ وَيُحْيِيْهِ, وَكَالشَّمْسِ يُسْخِنُ كُلَّ شَيْئٍ وَيَنْفَعُهُ, وَكَالْبَدْرِ يُسِرُّ كُلَّ لَاحِظٍ وَيُصْبِحُهُ, وَكَالنَّجْمِ يَقْتَدِي كُلَّ طَالِبٍ وَيَهْتَدِي, مُحِبًّا وَمُشْتَاقًا اِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
وَعَلَيْكَ بِلْإِسْتِقَامَةِ وَالطُّمَأْنِيْنَةِ, لِلُّجُوْءِ وَالْجُثُوْءِ وَالْهُدُوْءِ وَالرُّكُوْنِ لِحَضْرَتِهِ تَعَالَى, غَيْرَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ الظَّاهِرِيْنَ, رَاغِبًا وَنَاجِيًا اَلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
وَعَلَيْكَ بِالْمُوَاظَبَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ فِيْ أَوْقَاتِ فَرَاغِكَ لَلْمُطَالَعَةِ وَالْمُرَاجَعَةِ وَالْمُذَاكَرَةِ وَالْمُشَاوَرَةِ عَلَى نَهْجِ التَّدْقِيْقِ وَالتَّحْقِيْقِ, مُسْتَعِيْنًا وَمُسْتَمِدًّا مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ
وَإِيَّاَك وَطُفُوْأً وَخُمُوْدًا فِيْ نُوْرِكَ وَضِيَآئِهِ, بِالزَّوَاجِرِ وَالْمَعَاصِي وَالْمَآثِمِ وَبِالْمَنَاكِيْرِ وَالذُّنُوْبِ وَالْمَظَالِمِ, مُلْتَجِأً وَمُعْتَصِمًا بِاللهِ سُبْحَانَهُ
وَإِيَّاكَ وَإِمْهَالًا وَإِهْمَالًا فِيْمَا يَنْبَغِي لَكَ وَيَحُثُّكَ وَيُعَيِّنُكَ لِنَيْلِ مَقْصَدِكَ الْأَسْنَى لِتَحْيَى وَتَمُوْتُ فِيْ ظَلَالِ حُبِّهِ تَعَالَى وَرِحَابِ رِضَاهُ فِيْ الْعَاجِلِ وَالْأَجِلِ, دَاعِيًا وَمُتَضَرِّعًا اِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
“Berpegang teguhlah pada tali agama yang kokoh, ketakwaan yang sempurna, kesungguhan dan keikhlasan didalam menghilangkan kebodohan keterdindingan hati, agar nur cahaya keyakinan dan kemakrifatan terhisab dan terserap didalam mata batin dan dalam lubuk hati, sehingga selalu meningkat, bersih dan murnih didalam menghamba dan mengabdi kepada Allah SWT.”
“Berbudilah dengan akhlaqul karimah dan uswatun khasanah, sehingga …
Laksana langit, meluhurkan dan melestarikan serta mewujudkan cita-cita dan harapan-harapan mulia.”
Laksana bumi , menjadi pijakan dan tempat orang-orang yang baik dan jahat,
Laksana gunung, menjulang tinggi dan besar.
Laksana lautan, penuh dengan tatapan ombak dan gelombang.
Laksana mendung, mengayumi dan menyejukkan semua yang berteduh.
Laksana hujan, memberi minuman dan menghidupkan semua yang mencintai dan membenci.
Laksana matahari, menghangatkan dan memberi kemanfaatan.
Laksana bulan purnama, menghibur dan menyenangkan semua yang memandang.
Laksana bintang, menjadi panutan dan pasangan setiap pencari, dengan cinta dan rindu kepada Allah yang maha suci.
“Senantiasalah bersikap tegas dan konsisten (istiqomah) serta teduh dan tenang (tuma’ninah) untuk berlindung, berlutut, pasrah dan bersandar kepata Allah SWT, selain ilmu dan amal yang tampak (dhohir), dengan cintah dan rindu serta bermunajat kepada Allah SWT.”
“Senantiasalah mengisi dan memanfaatkan waktu-waktu yang kosomg untuk belajar, mengevaluasi, berdiskusi dan musyawaroh secara mendalam dan lembut serta meneliti sejcara seksama dan memohon pertolongan dan bantuan dari Allah SWT.”
“Senantiasalah melatih jiwa bersungguh-sungguh dan sabar serta ridho atas cobaan , himpitan, gangguan, rintangan, hambatan dan halangan, dengan bertawakal dan bersandar kepada Allah SWT.”
“Takutlah akan padan dan redamnya pancaran sinar dan terangnya hati sebab melakukan larangan, kemaksiatn. Kesalahan, kemungkaran, kejahatan, kedholiman dan kesewenang-wenangan, dengan kembali, bernaung dan berlindung kepada Allah SWT.”
“Janganlah menyia-nyiakan seuatu yang seyokyanya, bermanfaat, mendorong dan membantu teraihnya dan tercapainya cita-cita dan harapan-harapan yang tinggi dan luhur, agar hidup dan kehidupan serta kematian senantiasa dibawah lindungan kecintaan dan kerinduan dan keridhoan Allah SWT. Baik didalam dunia atau akhirat, dengan memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT.”
Dari naskah tersebut, pembentukan karakter dan berorientasi pada kepemimpinan, menawarkan 9 unsur karakter alam semesta, yaitu:
- Laksana langit meluhurkan dan melestarikan serta mewujudkan cita-cita dan harapan-harapan yang mulia.
- Laksana bumi, menjadi pijakan dan tempat orang-orang yang baik dan jahat, laksana gunung, menjulang tinggi dan besar.
- Laksana gunung, menjulang tinggi dan besar.
- Laksana lautan, penuh dengan tatapan ombak dan gelombang.
- Laksana mendung, mengayomi dan menyejukkan semua yang berteduh
- Laksana hujan memberi minuman dan menghidupkan semua orang yang mencintai dan membenci
- Laksana matahari, menghangatkan dan memberikan kemanfaatan
- Laksana bulan purnama, menghibur dan menyenangkan semua yang memandang
- Dan laksana bintang, menjadi panutan dan pegangan setiap pencari, dengan cinta dan rindu kepada Allah Yang Maha Suci.
Namun dalam bedah kajian minggu lalu, yang jadi pertanyaan, apakah al-malhudhat mengambil kemiripan pada Astha Brata? Atau setidaknya, secara analisa mungkinkah membaca konsep kepemimpinan dalam al-Malhudhat ini dengan kerangka Astha Brata?
Selanjutnya baca part 2….