Falsafah Astha Brata dalam Naskah al-Malhudhat #2
Ditulis Oleh: Redaksi
Dari situ, penulis mendapati kemiripan antara falsafah Astha Brata tersebut dengan gubahan al-Malhudhat dalam perihal mengambil watak dan tauladan gerak-gerik semesta (lingkungan/sekitar), sebagai gaya kepemimpinan yang perlu dicontoh. Hanya saja, dalam gubahan al-malhudhat menampilkan 9 unsur, tidak sebagaimana dalam Astha Brata yang berjumlah 8.
Mengamati potensial dasar manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhannya sebagai khalifah, dengan firman Al-Qur’an yang tertulis:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Maka, dalam hal ini diharapkan dapat menjadi lentera dalam memancarkan cahaya/karakter dari unsur-unsur alam semesta. Sehingga dengannya, ia dapat memantaskan diri untuk menyandang gelar “khalifah”.
Barangkali, pengambilan watak/karakter alam sebagai teladan ialah sesuai porsi pencetus konsep masing-masing. Baik itu 9 atau 8 laku yang ditawarkan. Namun, tetap saja hal itu merupakan perihal upaya meneladani perwatakan alam semesta.
“Laku” dalam Astha Brata tentu tidaklah berbeda jauh dengan qalbu di al-Malhudhat yang dijadikan sebagai ujung tombak, bagaimana seseorang dinyatakan berkarakter demikian? Oleh karena al-Malhudhat ialah dalam wilayah sufisme (dunia Islam), qalbu dinyatakan sebagai pusat untuk membuahkan sebuah pergerakan anggota badan lahir, sebagaimana hadis:
أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَد مُضغَة إِذَا صَلُحَت صَلُح الجَسَد كُلُّه وَإِذَا فَسَدت فَسَد الجَسَد كُلُّه أَلَا وَهِي القَلب
“ingatlah, di dalam jasad ada segumpal daging yang ketika ia baik maka jasad seluruhnya pula baik, dan jika ia rusak maka jasad seluruhnya pula rusak. Segumpal daging itu adalah qalbu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, mengamati literatur kaum sufi, konsepsi yang ditampilkan dalam al-Malhudhat kiranya seirama dengan apa yang pernah diungkap oleh al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh sufi pula. Ungkapan ini dapat dijumpai di Iqadh al-Himam, sebagai berikut:
قال الجنيد العارف كالارض يطأها البر والفاجر وكالسحاب يظل الأحمر والابيض وكالمطر يسقى الماشي والراشي
“al-Junaid berkata; seorang ‘arif ialah laksana bumi yang menjadi pijakan orang baik dan buruk, laksana mendung yang mengayomi yang merah dan putih, dan laksana hujan memberi minuman kepada yang berjalan dan yang menyuap”
Juga, dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah,
وقال الجنيد: لا يكون العارف عارفاً حتى يكون كالأرض يطؤه البرُّ والفاجر، وكالسحاب بظل كل شيء، وكالمطر، يسقى ما يحب، وما لا يحب
“al-Junaid berkata; seorang ‘arif tidak dapat menjadi ‘arif hingga ia laksana bumi yang menjadi pijakan bagi yang baik dan yang buruk, laksana mendung yang mengayomi segala hal, dan laksana hujan yang memberi minuman siapa/apa saja yang mencintai dan membenci”
Kedua ungkapan di atas sangat jelas membunyikan tentang karakter yang diharapkan dari seorang “’arif/sufi”. Sehingga, memberikan makna bahwa keteladanan yang ditampilkan dalamgubahan KH. Achmad Asrori al-Ishaqi ini tentu tidak hanya diperuntukkan pada seorang pelajar (thalib), namun dapat ditarik lebih luas daripada itu.
Dari indikasi inilah, bedah kajian minggu lalu memberikan analisa bahwa konsepsi yang ditampilkan dalam al-Malhudhat kiranya dapat kita tarik menuju persoalan gaya kepemimpinan. Edited by Ay