Altruisme Sufi: Aktualisasinya di Masa Pandemi Covid-19
Ditulis Oleh: Zidan Syahrul Akbar

Alkisah, tatkala nabi Sulaiman a.s beserta bala tentaranya dari kalangan manusia, jin, dan burung dengan barisan yang rapi akan melewati suatu lembah kaum semut, sang raja semut berkata pada kaumnya untuk segera memasuki sarang-sarangnya agar tidak diinjak oleh nabi Sulaiman dan pasukannya sebab mereka tidak mengetahuinya.
Melihat hal tersebut, nabi Sulaiman tersenyum lebar, dan dia berdoa:
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (QS. al-Naml: 17-19).
Dari cerita tersebut terdapat hikmah besar yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan, lebih khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. Hikmah cerita tersebut menjadi bukti bahwa sikap keegoisan harus dikendalikan demi kemaslahatan. Seperti sang raja semut yang mengingatkan rekan-rekanya. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri. Namun mendahulukan pasukannya tersebut, yang juga pasukan nabi Sulaiman.
Masa pandemi ini, tentu rentan timbul konflik sosial yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap protokol kesehatan, maraknya kasus pencurian dan perampokan serta sikap ekstremis dari suatu agama. Hal itu terjadi karena adanya sifat keegoisan. Sehingga, jika sifat egois itu dapat dikendalikan maka kehidupan seseorang akan diwarnai dengan akhlak yang indah dengan mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri demi terwujudnya sebuah tatanan damai dalam kehidupan ini atau dalam istilah akedemiknya konsep anti egoisme ini disebut sebagai altruisme.
Perilaku altruisme ini sering dicontohkan dalam berbagai perilaku seorang sufi yang meniru Rasulullah Saw. Salah satu contohnya seperti ulama’ sufi nusantara modern yakni romo Yai Asrori al-Ishaqy RA. Dalam rekaman suatu pengajianya, beliau menyampaikan bahwa beliau rela masuk neraka asalkan para jamaah serta penderek-pengikutnya bisa masuk surga.
Lantas, bagaimana sikap mendahulukan diri (altruisme) ini dapat diterapkan di masa Covid-19? Dalam hal ini fiqih juga menjawab dengan argumen yang logis dan bermaslahat juga mendukung perilaku altruisme kaum sufi tersebut.
Sebelum membahas dan menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya kami jelaskan lagi konsep altruisme ini secara spesifik. Dalam skripsi yang ditulis oleh “Irwan Gatot S. Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo semarang, pengertian Altruisme secara bahasa berasal dari kata “Alter” yang artinya “Orang lain”. Sedangkan menurut istilah adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok untuk mendahulukan atau menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali hanya mendapatkan perasaan telah melakukan perbuatan baik.
Menurut Comte, terdapat perbedaan antara menolong yang altruis dan egois, yakni dalam tujuan si pelaku, apakah mencari manfaat untuk diri sendiri (memanfaatkan orang lain) dan perilaku inilah yang dinamakan egois, atau perilaku yang semata-mata hanya untuk kebaikan yakni altruis?
Sehingga meskipun konsep ini merupakan konsep akhlak baik yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam, tentunya, seorang sufi yang dinilai sebagai orang yang selalu menerapkan akhlak baik dalam syariat menerapkan konsep altruisme ini. Malah ia memiliki perilaku sendiri yang melebihi sikap altruisme pada umumnya.
“Altruisme sufi” merupakan sebuah konsep-sikap yang didasari dengan ikhlas dan mengharap ridho Allah Swt. Sehingga setiap amal yang dilakukan hanya semata-mata karena Allah Swt. Berbeda dengan altruisme pada umumnya, meskipun konsep tersebut menerapkan perilaku “mendahulukan orang” dengan tanpa mengharap imbalan, dan hanya berorientasi pada kebaikan, akan tetapi, apakah seseorang tersebut tidak sakit hati dan dipastikan terus berbuat baik jika orang yang ditolong malah menyakiti dan tidak menghargai pemberiannya?
Seorang sufi tentu tidak sakit hati dan dimungkinkan bisa terus berbuat baik meski mendapatkan reaksi demikian. Hal tersebut dikarenakan seorang sufi mendasari altruisnya dengan ikhlas. Devinisi konsep ikhlas dalam Risalah Qusyairiyah adalah mengesakan Allah dalam mengarahkan semua bentuk ketaatan dengan bertujuan mendekatkan diri kepadaNya, bukan yang lain (makhluk).
Sehingga meskipun diperlakukan kasar oleh orang-orang yang telah diperlakukan baik, seorang sufi tetap berbuat baik pada orang tersebut. Karena ia ikhlas semata-mata karena Allah Swt.
Banyak contoh dari para wali, ulama dan kyai yang menerapkan sikap semacam ini. Dikarenakan hal ini sesuai dengan perilaku nabi Muhammad Saw. Seperti dalam kisah ketika Nabi Saw merawat dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan kasih sayang seorang pengemis buta yang memiliki kepercayaan Yahudi dan selalu mencaci Nabi Saw hingga beliau wafat, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam kacamata fiqih, konsep altruisme sufi tersebut mendapat legalitas yang sangat baik. Tentunya, terdapat beberapa ketentuan dan perincian dalam menerapkan konsep tersebut. Tetapi, bagaimana dengan kaidah fiqih yang disebutkan bahwa mendahulukan orang lain (itsar) dalam hal-hal yang bersifat taqarrub kepada Allah adalah makruh “al-Itsar bil qurbi makruhun”, berdasarkan sebuah hadis shohih:
لَا يَزَالُ قَوم يَتَاَخَّرُون حَتي يُؤَخِّرُهم الله تعالي
“Sekelompok kaum yang selalu ada di belakang (mengakhirkan diri) maka Allah akan membelakangkan mereka (mengakhirkan).” H.R Muslim
Contoh dalam hal ini seperti tidak diperbolehkan mendahulukan orang lain dalam menggunakan air untuk bersuci, menutup aurat, ataupun menempati barisan pertama dalam shaf shalat. Sebab tujuan dari ibadah ialah untuk mengagungkan Allah Swt, dan jika “mendahulukan orang lain” di sini membuat dirinya malah meninggalkan kewajiban, maka hukumnya menjadi mamnu’ (haram). Misalnya, mengasih pakaian kepada orang lain padahal dirinya hanya mempunyai satu pakaian tersebut, yang hanya itu untuk digunakan shalat.
Berlainan dengan itu, jika itsar tersebut tidak mengarah ke dalam ibadah (taqarrub) maka hal itu disunahkan (mahbub). Misalnya mendahulukan orang lain dalam perihal makan. Hal inilah yang senada denan konsep altruisme yang dimaksud.
Beralih pada konteks pandemi, berbagai upaya telah digerakkan oleh pemerintah guna memerangi virus Corona. Mulai dari kewajiban menjaga kebersihan, memakai masker hingga melakukan pembatasan sosial. Akan tetapi, banyak masyarakat yang menghiraukan peraturan-peraturan tersebut karena memandang bahwa yang terjadi pada dirinya tidak ada apa-apa. Tentu hal itu sekian arti dari egoisme.
Padahal, pihak kesehatan telah menjelaskan bahwa tiap individu memiliki kekebalan imun tubuh yang berlainan. Bisa jadi, seseorang yang berasa sehat namun senyatanya membawa penyakit yang dapat ditularkan pada yang lain. Oleh karena itu, altruisme sufi sangat diperlukan dalam menghilangkan sikap egoisme ini, dengan mendahulukan kebaikan yang terjadi pada orang lain.
Artinya, ia berupaya mendahulukan (kesehatan) bagi yang lain, dengan cara tidak egoisme, “tidak melanggar protokol kesehatan”. Demikian lah arti daripada altruisme sufi. Lebih baik bersusah (payah) untuk mengikuti protokoler, daripada memberikan bahaya terhadap sekitar. Seorang sufi, bahkan yang menduduki maqam “pembimbing” lebih memilih merasakan perih daripada umatnya yang menangis nanti. Edited by Ay