Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Cegah Intoleransi Beragama
Ditulis Oleh: Rayhan Iqbalul Hanif*
Zaman sekarang dogmatisme (memahami ajarannya sebagai yang paling benar) dalam beragama akibat penafsiran manusia terhadap wahyu Tuhan yang terbatas dan sepihak tanpa melibatkan aspek lain kerap kali menimbulkan permasalahan. Dogmatisme bisa dibilang keyakinan mutlak yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya.
Orang-orang yang terpengaruh dogmatisme agama sering memaksakan kehendaknya kepada orang lain dan bersikap intoleran. Seperti contoh kasus terorisme dengan mengebom gereja dan menewaskan banyak orang.
Para pelakunya mengatakan bahwa alasannya melakukan perbuatan tersebut adalah kembali kepada al-Quran dan Hadis, bahwa jihad di jalan Allah adalah memusuhi orang kafir dan yang tidak sepaham dengannya.
Selain itu, kita juga pasti sering menjumpai orang-orang yang berpikiran bahwa bencana merupakan azab bagi manusia. Menurut mereka orang yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut adalah mereka yang pantas mendapatkannya, karena sudah melakukan banyak perbuatan dosa.
Salah satu faktor yang menyebabkan dogmatisme agama sangat menjamur adalah kurangnya literasi masyarakat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan.
Filsafat merupakan pengetahuan yang sistematis, dan saling berkaitan (koheren) dengan seluruh kenyataan. Jadi, dari definisi tersebut terlihat bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah untuk memperoleh pemaknaan menuju hakekat kebenaran.
Filsafat melihat setiap kejadian dengan sudut pandang yang luas. Filsafat bersifat dialektika, dalam arti melihat suatu kebenaran pasti berubah mengikuti zamannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh manusia sebagai usaha untuk mengetahui tentang sesuatu di balik alam semesta.
Dunia modern tidak bisa lepas dengan yang namanya ilmu pengetahuan. Dulu, sebelum manusia modern mengunjungi bulan, semua benda-benda yang berada di angkasa dianggap orang pada saat itu sebagai rumah dewa atau mahluk mitologi kuno. Kehadiran ilmu pengetahuan mematahkan anggapan tersebut, sehingga manusia mulai membuka pikirannya kembali.
Melihat gejala dogmatisme agama yang sesat semakin menyebar luas, keberadaan filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi ujung tombak untuk mencegah hal tersebut supaya tidak menjadi semakin parah lagi.
Perlu diketahui agama Islam sama sekali tidak menolak filsafat dan ilmu pengetahuan dalam kehidupan beragama, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Hasyr ayat 2 : fa’tabiru ya ulil abshor “Ambillah pelajaran wahai orang yang punya nalar” , Qs Al-An’am 50 : afala tatafakkarun “apakah kamu tidak memikirkan”.
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa agama Islam membolehkan, bahkan menganjurkan para pemeluknya untuk berpikir, mengkritisi serta merenung dengan sepenuh perhatian.
Sejatinya, dogmatism agama yang memiliki dampak buruk terhadap lingkungan masyarakat adalah akibat dari perilaku seseorang yang menafsirkan wahyu Tuhan dengan pemahaman tekstualis, tanpa disertai kritis terhadap faktor lain. Karena dalam hakikatnya, tidak ada agama samawi yang mengajarkan tentang keburukan.
Andaikan jika tindakan dan praktek beragama diambil dari al-quran dan Hadits saja, tanpa mempertanyakan kembali kandungan isinya yang berasal dari Tuhan dan Rosul-Nya, pasti agama akan menjadi sangat kaku dan keras.
Dan sekarang ini seakan-akan kita sudah lengah untuk menyadari bahwa setelah berganti generasi ke generasi, al-Qur’an dan Hadis tidak bisa menafsirkan sendiri isinya kecuali ada para ahli ulama yang menafsirkan kandungan dan nilai pengetahuan di dalamnya.
Artinya, teks suci akan menemui jalan yang tertutup jika tidak dihadapkan pada pedoman penafsiran lain yang berkaitan dengan konteks sejarah, sosial, kultur, dan budaya.
Dalam menjalani agama, seseorang tidak bisa hanya mengutamakan akal, namun harus ada keterlibatan intuisi dan emosi yang lahir dari berbagai pengalaman, sehingga agama dapat dihayati secara mendalam. Menjadi beriman bukan hanya sekedar membaca kitab suci, melainkan karena telah mengalami gejolak spiritual.
Filsafat dan ilmu pengetahuan bukanlah suatu barang yang haram dan harus dijauhi, apalagi dibuang jauh-jauh karena dianggap sebagai sebuah alat perusak keimanan, sebagaimana yang sering terjadi dalam isu bertentangannya antara filsafat, ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama di Indonesia. Karena hakikatnya, tidak ada salahnya sama sekali menjadikan segala sesuatu ciptaan Tuhan sebagai jalan mendekatkan diri dan beriman kepada-Nya.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, yang terpenting adalah bagaimana caranya kita dapat hidup dengan memiliki rasa kemanusiaan, simpati dan empati. Karena, tidak peduli seseorang memeluk agama atau tidak, jika ia tidak memiliki rasa kemanusiaan, dia tidak akan hidup dengan baik di masyarakat.
Sebaliknya dia akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Awal tahun 2022 ini menjadi langkah yang baik untuk memperbaiki dan kembali menata diri agar tidak dognmatisme, atau bahkan intoleransi dalam beragama.
* Mahasiswa Semester 1 UIN Sunan Ampel Surabaya. Asal Kec. Badas Kab.Kediri Prov.Jatim, santri Ponpes Al-Jihad Surabaya. Instagram @rayhan.i.h.