Reinkarnasi (Murjiah) di Abad Modern?

Ditulis Oleh: Siti Luthfiah Zar’an*

Sumber gambar: Tim Kreator HIKAM

Otak merupakan organ paling penting, sekaligus struktur terkompleks dalam tubuh manusia. Otak memiliki neuron (sel saraf) yang paling banyak daripada jumlah bintang di galaksi. Facundo Manes, seorang ahli saraf terkemuka di dunia mengatakan bahwa otak adalah satu-satunya organ tubuh yang mencoba menjelaskan dirinya sendiri. Karena otak termasuk organ tubuh yang fleksibel dan adaptif, maka sudah tentu pemikiran akan berubah seiring dengan pengalaman yang didapatkan dan karena alasan inilah, mengapa spesies kita mampu berevolusi dari waktu ke waktu.

Bahkan saking kompleksnya susunan pemikiran manusia membuat setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda meski mendapatkan pengalaman yang sama di waktu yang sama. Satu contoh yang bisa saya berikan adalah, ketika dua anak bersaudara yang semasa kecilnya sama-sama mengalami pengalaman pahit karena perlakuan keras dan didasari kebiasaan buruk ayahnya yang suka berjudi atau mabuk-mabukan.

Ketika telah dewasa, anak yang pertama memiliki kebiasaan buruk judi atau meminum minuman keras dan memperlakukan keluarganya dengan keras, sedangkan anak yang kedua menjadi orang sukses dan memiliki sikap yang baik kepada semua orang terutama keluarga. Ketika ditanya alasan mengapa mereka memilih jalan seperti itu, jawabannya hanya satu, yaitu “karena aku melihat ayahku”.

Dari sinilah faktor utama mengapa setiap orang memiliki sudut pandang pemikiran yang berbeda dalam menghadapi satu permasalahan yang sama, sehingga para penafsir memiliki penafsiran yang berbeda-beda dalam suatu persoalan. Karena banyaknya pendapat dalam menafsirkan Al Qur’an dengan tuntutan berpikir, serta tanpa mengembalikan hasil pemikiran tersebut pada Al Qur’an sehingga menimbulkan perpecahan di antara Umat Islam. Akibatnya, memunculkan banyak aliran kalam seperti Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dll.

Salah satunya ialah aliran teologi Islam Murjiah yang pada umumnya terpecah menjadi dua golongan besar, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem. Golongan murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan juga tidak kekal di neraka, tetapi mereka akan dihukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukannya.

Selanjutnya ada golongan murjiah ekstrem yang berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan lalu menyatakan kekufuran secara lisan dianggap tidak menjadi kafir dan tetap sempurna imannya sebagai mukmin karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati. Teologi ekstrem tersebut secara tidak langsung masih dilakukan di abad modern ini, yaitu masih adanya beberapa orang yang menjadikan agama sebagai bahan candaan, ketika ditegur mereka akan merasa kesal dan mengatakan bahwa itu semua hanya candaan dan tidak perlu dibawa serius.

Bahkan terkadang mereka mempermainkan atau menjadikan hal-hal yang bersangkutan dengan keimanan sebagai bahan candaan. Contoh, ada orang Islam yang bertanya tentang keberadaan temannya yang di pagi hari sudah tidak ada di rumah, lalu dibalas dengan niat candaan “Ia baru saja selesai beribadah di gereja”. Sebenarnya dia baru saja pulang berolahraga, namun sebab statusnya sebagai orang Islam dianggap kurang baik menjadikan alasan dibuat bahan candaan.

Hal semacam ini perlu dihindari, karena ucapan itu adalah doa. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 65-66 :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لَا تَعْتَذِرُوا۟ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ ۚ…

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab “Sesungguhnya kami hanya bersendau gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… (Q.S. At-Taubah : 65-66).

Dengan keterangan ayat tersebut sudah jelas, bahwa kedudukan mulut dan hati itu sama. Apabila hanya mengutarakan kekufuran atau menjadikan itu sebagai bahan candaan secara lisan, sedangkan dalam hatinya masih menyakini Allah swt. sebagai Tuhan, maka dianggap telah kafir sesudah beriman.

Pembahasan ini tidak mengatakan bahwa aliran teologi murjiah masih ada atau tidak pada abad modern ini, tetapi menjelaskan bahwa secara tidak langsung terkadang beberapa orang bertindak selayaknya teologi ekstrem murjiah. Akankah, sekte teologi murjiah tanpa sengaja ‘lahir kembali’ pada umat Islam di abad modern ?

Wallahu a’alam.

*Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Instagram: @siti_lutfiah7

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *