Sifat Ketuhanan: Mengembalikan Kesejatian Manusia

Ditulis Oleh : Ni Luh Pingka Komala*

Sumber Gambar: sains.kompas.com

Semenjak viralnya pemberitaan tentang pandemi covid-19, banyak warga berbondong-bondong memborong beberapa produk yang paling dibutuhkan. Tidak sedikit yang melakukannya demi memenuhi persedian setiap hari selama masa karantina mandiri. Bagi yang mempunyai perekonomian menengah ke atas cenderung relatif tenang dalam menghadapinya, sebab mereka mempunyai banyak cadangan kebutuhan yang berkecukupan. Tetapi, untuk perekonomiannya menengah ke bawah, mereka di ambang kekhawatiran, sebab mereka tidak mempunyai cukup harta untuk membeli cadangan makanan.

Dibandingkan semua itu, terdapat aksi yang lebih parah lagi, yakni menimbun bahan makanan dengan tujuan tetap survive menghadapi krisis makanan. Dengan begitu, mereka mampu memperoleh keuntungan yang berkali lipat jumlahnya. Rumusnya “Bila permintaan pasar besar serta pasar tidak sanggup penuhi permintaan, maka harga benda akan menjulang tinggi”. Keuntungan dari praktik bisnis semacam  ini sangat menggiurkan. Sayangnya, mereka tidak peduli dengan apa yang dialami orang lain. Yang terpenting menurut mereka adalah kebahagian dan kepuasan diri, meski orang lain dalam kesusahan.

Demikianlah fenomena yang biasa terjalin di dalam kehidupan bermasyarakat. Jiwa-jiwa dan sifat individual mulai berkembang dan akan terus tumbuh subur bila pembelajaran kemanusiaan tidak diperkuat serta diinovasi. Nampaknya, pembelajaran kemanusiaan mulai diabaikan. Fokus pembelajaran cuma berbentuk wujud bangunan raga saja. Bila terus dibiarkan, jati diri baik bangsa Indonesia yang sudah turun temurun diwariskan oleh para leluhur akan lenyap seiring berjalannya waktu. Ini cuma tinggal menunggu waktu saja.

Lunturnya jati diri bangsa Indonesia tidak serta merta tanpa sebab, di antaranya adalah serangan arus globalisasi yang sedemikian kencangnya. Arus yang kencang tanpa diiringi dengan filterisasi menciptakan bangsa Indonesia yang mudah terpengaruh produk globalisasi. Produk kebudayaan lokal lama kelamaan menjadi tergerus. Walhasil, bangsa Indonesia mulai meninggalkan nilai-nilai luhur yang sudah diturunkan oleh para leluhur bangsa.

Dalam hal ini, sikap individualistis jadi yang sangat banyak diminati. Secara historis, sikap individulistis timbul akibat tekanan dari beberapa objek. Di antara objek tersebut adalah watak yang berkaitan dengan perasaan. Perasaaan yang begitu kokoh menciptakan hasrat memiliki sesuatu. Kerap kali dalam hal ini seseorang tidak mempertimbangkan benar dan salahnya. Baik itu jelek ataupun salah, ia akan senantiasa mengejarnya.

Pengertian individualisme sendara berasal dari teori etika yang berangkat dari aspek sosial. Teori ini menganjurkan kebebasan, kebenaran, dan kemerdekaan bagi setiap individu. Menurut pandangan Hobbes, dalam keadaan alami, manusia akan memiliki naluri untuk memertahankan kebebasannya sendiri, tanpa memperhatikan  lingkungan sekitarnya. Konsep keadilan sudah tidak lagi dikenal dalam kondisi ini.

Oleh karena itu, perlu rekontruksi pemahaman masyarakat dalam mengikuti produk globalisasi. Pendidikan penguatan karakter bangsa harus benar-benar ditekankan, bukan hanya sekedar jargon dalam pengucapan saja. Pembaruan kurikulum pendidikan berbasis local wisdom menjadi syarat mutlak.

Hakikat Manusia

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa manusia adalah realitas batiniah dari kosmos, sementara kosmos adalah bentuk manifes manusia. Arabi mengajak manusia untuk membedakan diri dari kosmos, membedakan yang lahir dari yang batin yang batin dari yang lahir. Bagi kosmos, manusia adalah ruh, dan kosmos adalah bentuk lahiriahnya. Bentuk tidak mempunyai makna apapun tanpa ruh. Oleh karena itu, kosmos tidak memiliki arti tanpa adanya manusia

Alur pemikiran Ibnu Khaldun mengenai manusia bertitik tolak dari sudut pandang sosiologis, filosofis dan historis, yaitu bagaimana manusia dapat mempertahankan eksistensinya dalam kebudayaan tinggi untuk melestarikan dan mempertinggi tingkat kebudayaan. Berdasar itu, maka manusia harus memiliki berbagai kemampuan untuk dapat mempertahankan hidup dan eksistensinya sesuai dengan alur perkembangan masa atau zaman. Sumber daya manusia yang berkualitas menurut Ibnu Khaldun terdiri dari akal pikir, keterampilan, ta’awun, kewibawaan, dan kedaulatan.

Di dalam tali rantai makanan, manusia menduduki puncak tertinggi. Hal ini menunjukkan, manusia sebagai raja ekosistem di dalam bumi. Semua dapat terjadi sesuai kehendak manusia. Sebab manusia diberikan anugerah yang tidak ditemukan pada makhluk apa pun, yaitu akal. Dengan akal, manusia mampu menciptakan suatu kebaikan, begitu juga dengan keburukan. Maka diperlukan aspek pengontrol agar manusia tidak melakukan sesuatu yang berlebihan.

Dalam kebudayaan Jawa, terutama di dalam sabdatama raja Jawa, raja biasa menyebut dirinya sebagai Khalifatullah ing bumiKhalifatullah dapat diartikan dengan pengganti, wakil, dan pemimpin. Dari situ penulis menjadi tahu bahwa konsepsi manusia sebagai pengganti Tuhan di bumi sudah muncul sejak dulu di dalam litertur kebudayaan Jawa kuno.

Begitu juga di dalam literatur Islam, manusia juga disebut sebagai Khalifah di bumi. Termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 30 yang artinya, “Dan (ingatlah) tatkala Rabbmu berkata kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah”. Berkata mereka, “Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?”. Dia berkata, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Jika manusia memiliki peran sebagai pengganti Tuhan di bumi, maka setidaknya manusia harus mengupayakan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan ada dalam diri mereka. Pemahaman karakter inilah yang sudah melekat dalam diri para leluhur bangsa. Dengan penanaman kembali nilai-nilai ketuhanan dalam diri manusia, sifat-sifat individual akan hilang dalam diri manusia, karena tidak ada satu pun karakter tentang invidualistik dalam diri Tuhan. Waallahu a’lam bi al-shawwab

*Ni Luh Pingka Komala, Mahasiswi UIN Sunan Ampel asal SIdoarjo, instagram: @pingk.a

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *