Perlukah Menyadari Aib Sendiri?
Ditulis Oleh: Huda Muttaqin

Seseorang tentu selayaknya melihat dan mengamati akan kekurangan dirinya sendiri sebagai kesadaran akan dirinya yang tidak melulu lebih tinggi (baca; paling mulia) dari yang lain. Akan tetapi banyak di antara kita yang tidak tahu terhadap aibnya sendiri, atau ia sejatinya tahu tetapi ditutup-tutupinya dan, justru cenderung menampakkan aib orang lain. Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin, dijelaskan bahwa ketika Allah Swt. menghendaki kebaikan terhadap hamba-Nya maka Allah Swt akan menampakkan kejelekan-kejelekan yang terdapat dalam dirinya. Hal ini selaras dengan hadits:
“طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس”
“Sungguh beruntung bagi seseorang yang disibukkan dengan aib pribadinya daripada aib-aib orang lain”
Maka, mana yang lebih baik menurut pernyataan di atas. Apakah seseorang yang melihat aib sendiri sehingga ia sadar diri? Atau melihat aib orang, yang justru berakibat menjelek-jelekkannya?
Lalu, jika sudah sadarkan diri, mka perlu kita membersihkan penyakit-penyakit yang ada dalam diri kita. Agar aib-penyakit dapat mudah diobati, perlu kiranya mengetahui terlebih dahulu mengetahui identifikasi aib tersebut yang terdapat dalam diri kita. Terdapat empat cara yang diberikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juz 3, agar kita mengetahui aib dalam diri sendiri.
Pertama, mujalasah (berkumpul) bersama seorang guru yang dapat memperlihatkan akan aib kita bahkan yang sifatnya samar. Kemudian mengikuti petunjuk arahan dari seorang guru pembimbing tersebut dalam bermujahadah supaya aibnya dapat disembuhkan. Cara ini biasa dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya dan seorang ustadz kepada santrinya.
Kedua, mencari teman yang bersungguh-sungguh dan kuat agamanya. Tatkala ia melihat tingkah laku kita yang tidak sesuai dengan norma agama, maka tentu ia akan mengingatkan. Namun yang menjadi problem, terkadang ketika kita dinasihati oleh orang lain, malah merasa terganggu dan marah terhadap orang yang memberikan nasehat. Padahal nasehat itu memperbaiki bukan menjerumuskan.
Tak sedikit hingga terucap perkataan “Tidak usah sok menasehati, kamu sendiri juga (sering) melakukannya.” Menurut Al-Ghazali, perilaku seperti ini menunjukkan atas kerasnya hati yang disebabkan banyaknya dosa yang dilakukan. Penyebab utama dari semua ini tak lain karena lemahnya iman.
Ketiga, mengambil pelajaran dari ucapan orang-orang yang tidak suka (baca: benci) terhadap diri kita. Karena seseorang yang bertipikal (selalu) benci terhadap kita, ia akan senantiasa memperlihatkan kesalahan-aib yang ada dalam diri kita.
Jika kita mau bertafakur, sejatinya orang yang tidak suka terhadap diri kita ini justru lebih memberikan manfaat dari pada teman yang non-peduli (baca: cuek) terhadap kita, teman yang hanya suka memuji ataupun yang tidak mau mengingatkan kita jika ada kejelekan dan kesalahan. Karena kejelekan dan aib yang ditampak-tampakkan oleh orang semacam ini (yang benci dengan kita), itu dapat menjadi bahan evaluasi diri bagi kita. “Apakah benar diri saya ini seperti yang dikatakannya?”
Keempat, bermasyarakat. Tatkala melihat perilaku orang lain yang dinilai tidak baik oleh masyarakat, maka bersegeralah menghujamkan perilaku tersebut pada diri kita. Menganggap bahwa perilaku tersebut juga ada pada dalam diri kita. Sehingga menuntut diri kita untuk bersegera meninggalkannya.. Jika seseorang mau mengambil pelajaran dari apa yang ia lihat maka tidak perlu lagi adanya seorang guru adab, karena hal itu sudah mencukupinya.
Demikian yang dilogikan oleh al-Ghazali. Sebab apabila seseorang sudah mengetahui akan kejelekan dalam dirinya, maka kejelekan (aib) itu akan mudah untuk diobati. Seperti halnya badan, apabila kita dalam keadaan sakit berkonsultasi ke dokter, maka keberadaan dokter dalam memberikan resep obat tentu memeriksanya terlebih dahulu. Penyakit apa yang diderita oleh pasiennya ini?
Selain itu, al-Ghazali dalam memberikan resep obat hati menggunakan cara penyembuhan dengan hal yang menjadi sebaliknya. Misalkan ada yang memiliki penyakit pelit, maka cara menyembuhkannya dengan berusaha menjadi orang yang dermawan. Orang yang berpenyakit sombong, maka cara menyembuhkannya dengan berusaha bersifat rendah hati, dan orang yang memiliki sifat rakus, maka cara menyembuhkannya dengan cara menahan diri dari apa yang ia inginkan.
Kesemuanya tentu diperlukan adanya kesabaran menahan rasa pahitnya obat yang dikonsumsi dan menahan dari apa yang disenangi demi kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Begitu juga penyakit hati, diperlukan adanya kesabaran menahan rasa pahit dan beratnya mujahadah (bersungguh-sungguh) demi kesembuhan atas penyakit hatinya.
Penyakit hati ini lebih patut untuk diobati. Karena durasi menderita penyakit jasmani hanya sampai pada hilangnya ajal. Setelah itu, tidak ada lagi penyakit jasmani. Berbeda halnya dengan penyakit hati (rohani) merupakan penyakit yang akan tetap abadi walaupun setelah mati. Karenanya, penyembuhan hati ini disebut-sebut sebagai “keberuntungan akhirat” dalam firman Allah:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10).
Dari uraian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa setiap di antara kita pasti memiliki aib. Aib tersebut akan lebih mudah diobati ketika sudah diketahui terlebih dahulu identifikasinya. Aib apa yang ada dalam diri kita? Lalu cara manakah yang lebih cocok digunakan untuk mengetahui aib dalam diri kita?
Jawabannya dikembalikan pada diri kita masing-masing. Karena keadaan antara individu satu dengan yang lainya tentu berbeda-beda. Adapun pengobatannya yaitu dengan berupaya melakukan perilaku yang menjadi lawan dari aib tersebut. Edited by Ay
Wallahu ‘Alam bis Shawab, Wailaihil Marji’u wal Maab…..