Agama Cinta: Komposisi Dakwah Ala Nabi Muhammad Saw

Ditulis Oleh: Saiful Rizal*

Tanpa disangkal, nabi Muhammad Saw merupakan manusia paripurna, Insanul Kamil. Perjalanan hidupnya telah dan masih terus akan ditulis oleh ribuan orang di dunia, baik muslim maupun non-muslim. Mereka yang jujur (mengenalinya), akan sampai pada kesimpulan yang sama. Tidak dapat memungkiri keluhuran budi pekerti, cinta-kasih, kejujuran dan kelembutan hatinya kepada semua makhluk. Orang-orang kafir yang penuh kebencian kepada Nabi Saw sekali pun, tidaklah mampu membuktikan akan titik sifat tercelanya. Tentu, merupakan kedusataan belaka, jika karakter Nabi Saw dikabarkan berlawanan dengan sifat-sifat yang disebutkan.

Meski cinta-kasih Nabi Saw itu senyatanya memancar dengan indah, sebelum hijrah, dakwah Nabi Saw masih mendapat penindasan dan pertentangan yang cukup keras dari kaum Quraisy. Aksi penindasan itu dipelopori oleh Abu Lahab, musuh bebuyutan umat Islam. Didukung dengan keteguhan orang Quraiys yang tengah mempertahankan keyakinan nenek moyangnya (baca; menyembah berhala), mereka pun bersedia mengikuti siasat buruk Abu Lahab dan pembesar-pembesar lainnya untuk menyakiti Nabi Saw dan berani berperang sampai mati untuk itu.

Hal di atas tercatat tegas tentang apa yang pernah dilakukan oleh Abu Lahab dan pembesar lainnya terhadap Nabi Saw. Pernah suatu saat, Abu Lahab bertemu Nabi Saw di bukit Shafa. Ia mengganggu dengan berbagai macam hinaan dan cacian, tapi Nabi Saw tidak meresponsnya. Lalu, ia menjadi semakin garam, dan memukul kepala Nabi Saw hingga berdarah.

Selain Abu Lahab, seorang bernama Uqbah bin Abi Muith pernah mencekik Nabi Saw dengan melilitkan kain di lehernya. Pada waktu itu, Nabi Saw sedang shalat di Hijr Ismail. Abu bakar yang melihat kejadian itu, sesegera merengkuh bahu Uqbah dan mendorongnya. Tidak hanya itu, Uqbah juga pernah melemparkan jeroan unta ke punggung Nabi Saw saat sedang sujud hingga membuatnya tidak bisa bangkit. Dan akhirnya, Siti Fatimah lah yang datang menyingkirkan jeroan itu dari punggung ayahnya.  

Perilaku menyedihkan datang pula dari kabilah Thaif – dalam perjalanan dakwah Nabi Saw \ setelah wafatnya Siti Khadijah dan Abu Thalib – yang melemparkan batu dan kotoran bertubi-tubi hingga badan Nabi Saw berlumuran darah. Hal menyedihkan itu mengundang keibaan dua malaikat penjaga gunung, sehingga meminta izin kepada Nabi Saw untuk membumiratakan kabilah tersebut dengan tanah. Akan tetapi, Nabi Saw tidak mengizinkannya, dan masih menanamkan sebuah harapan yang begitu besar, yaitu berharap kelak anak-anak mereka dapat beriman kepada Allah Swt. Semua cacian maupun kedzaliman yang bertubi-tubi tersebut tidak sedikit pun merubah dan mengurangi rasa cinta Nabi Saw kepada umatnya.

Kalau boleh dianalogikan, cintanya ibarat lautan yang tak bertepi dan kasihnya ibarat gunung yang menjulang tanpa berujung. Hal apapun yang menimpa diri Nabi Saw dan berkaitan atas haknya, tidak sedikit pun ada besitan untuk membalas ataupun berperilaku sama terhadap seseorang yang mendzalimi, meski beliau mampu untuk melakukannya. Namun, tatkala berkenaan dengan pelanggaran atas hukum Allah Swt, niscaya tidak ada yang dapat menandingi kemarahan Nabi Saw, bahkan tidak satu pun yang berani berada di hadapannya.

Sikap kesantunan dan cinta-kasih Nabi Saw yang tidak berubah ini merupakan uswah (ketauladanan) yang perlu ditiru oleh seluruh umat Islam dalam berdakwah. Terutama oleh mereka (kiai dan semacamnya) yang menjadi sentral perhatian dan ketauladanan. Sehingga tidak ada alasan lagi dalam berdakwah adanya tindak mencaci maki dan melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Memang, dakwah atau mengajak orang lain yang paling efektif adalah dengan bahasa yang lembut dan tingkah laku yang santun. Tetapi, bahasa tubuh atau ketauladanan tentu memberikan kesan lebih ampuh daripada bahasa mulut. Pepatah Arab mengatakan, “Lisanul hal afshohu min lisanil maqaal, yang berartibahasa tubuh lebih efektif dari pada bahasa lidah”.

Ibnu Katsir (W. 774 H/ 1374 M) dalam kitab Tafsir al-Quran al-‘Adzim, ketika menafsiri QS. al-An’aam [6]:108, menjelaskan bahwa caci maki yang dilontarkan, sekalipun itu terdapat kemaslahatan, niscaya akan menimbulkan permusuhan dan konflik yang mungkin tak akan mudah diselesaikan dalam waktu singkat.

Respons buruk dari orang yang didakwahi baik berupa kedzaliman, hate speech, dan pendustaan, bukanlah  alasan bagi umat Islam dan para da’i untuk melakukan hal yang sama. Ini senada dengan pernyataan Martin Luther Jubf Jr, yang dikutip oleh Kiai Husein Muhammad dalam buku Islam. (Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusian). Di dalamnya, ditegaskan, “kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan. Hanya cahaya yang bisa melakukannya. Begitu pula kebencian tidak bisa menghapus kebencian, hanya cinta yang mampu melakukannya”. Untuk itulah, dalam menghadapi orang yang keras bukanlah dengan kekerasan. Pun menghadapi orang yang benci tidak harusnya dengan kebencian.

Allah berfirman:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.

(QS. al-Imran [3]: 159).

Motif utama dari terutusnya nabi Muhammad Saw adalah rahmatan lil ‘alamin. Kehadirannya menjadi rahmat yang membawa kesejukan, ketenteraman dan cinta-kasih pada sesama. Islam tidak hanya ramah sikap dan perilaku, tetapi juga harus ramah lingkungan. Di sinilah, Islam dikenal sebagai agama cinta. Oleh karena itu, nabi Muhammad Saw. bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

Orang-orang yang penyayang (ramah, sopan, santun dan penuh kasih) akan disayang oleh Allah (ar-Rahman). Maka  sayangilah penduduk bumi, niscaya (Allah) yang di atas langit pun akan menyayangi (bersikap ramah, sopan, santun, dan penuh dengan kasih) kepada kalian,”(HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Dengan demikian, kelembutan hati akan lebih menohok dengan tajam dan lebih mengesankan sebagai refleksi yang berbobot kepada orang lain, serta lebih bernilai menghidupkan roh Islam sebagai agama cinta, agama yang memberikan pencerahan, bukan kecaman suram. Inilah yang menjadi rahasia kesuksesan nabi Muhammad Saw dalam menyerbarkan agama Islam.

*Mahasantri Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya, Semester Akhir.

Referensi:

Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-‘Asqolani Fathu al-Bari Syarh Sohih al-Bukhori Bairut: Dar Ma’rifah, 1379 H.

Muhammad Munir al-Ghodban, Fiqh as-Siroh al-Nabawiyah, Dar: Jami’ Ummul Qura, 1213 H.

Dan berbagai sumber lain.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *