KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi: Pelopor Kegiatan Manaqiban
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Suatu ketika KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi dalam perjalanan pulangnya ke Surabaya dari menghadiri suatu kesempatan majelis di Jakarta. Setibanya di wilayah Demak beliau melihat sorotan nyala terang yang setelah ditelusuri ternyata berasal dari pusara makam Syaikh Abdurrahman Ganjur. Waktu itu bentuk fisik makam masih seperti makam pada umumnya, bahkan warga masyarakat pun sudah tidak menyadari bahwa itu adalah makam seorang tokoh ulama yang berjasa besar.
Makam Syaikh Abdurrahman Ganjur berada di Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, kabupaten Grobogan. Desa ini terletak jauh dari ruas jalan pantura maupun alternatif tol. Kawasan ini masih dipenuhi pepohonan kebun warga dan rumah-rumah kebanyakan penduduknya pun masih mempertahankan keunikan joglo adat Jawa. Akses masuk ke desa itu pun masih terbatas pada satu jalan utama saja.
Dahulu kala, wilayah ini masuk dalam daerah kekuasaan Kasultanan Demak. Syaikh Abdurrahman Ganjur memiliki gelar Godho Mustoko sebab berjasa besar dalam peletakan kubah atau mustaka Masjid Agung Demak pada masa Walisongo. Bedug yang ada di masjid Agung Demak sendiri konon adalah potongan dari bentuk utuh bedug yang sekarang terletak di masjid Jami’ Sirojuddin Ngroto.
Setelah kunjungan itu, Kiai Utsman pun menyarankan penyelenggaraan haul demi mengenang jasa besar Syaikh Abdurrahman Ganjur dan mendoakan seluruh kaum muslimin. Mulai saat itu setiap tahun diagendakan majis dzikir, manaqib dan maulidurrasul serta haul memperingatai wafatnya Syaikh Abdurrahman Ganjur yang dipimpin langsung oleh Kiai Utsman. Majelis dikemas dengan bacaan tawasul, istighatsah, manaqib dan maulid, sebagaimana yang menjadi ciri khas Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Setelah wafatnya Kiai Utsman, penyelenggaraan majelis haul diteruskan oleh putra-putri keturunan Syaikh Sirojuddin yang merupakan murid utama Syaikh Abdurrahman Ganjur. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi (1951-2009 M.) sebagai mursyid pengganti ayahnya pun senantiasa hadir di majelis haul tersebut. Hingga saat ini majelis tersebut masih tetap lestari dan dipertahankan oleh Jamaah Al-Khidmah.
Kiai Utsman sendiri adalah putra kedua KH. Munadi dari perkawinannya dengan wanita yang bernama ibu Nyai Hj. Surati dari Peneleh, Surabaya. Kiai Utsman lahir sekitar tahun 1915 M. di Jatipurwo, Kecamatan Semampir, Surabaya, tepatnya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhir tahun 1334 H. Saudara tertua Kiai Utsman bernama ibu Nyai Sani dan saudaranya yang bungsu bernama ibu Nyai Solehah.
Kiai Utsman memiliki sembilan anak dari pernikahannya dengan Nyai Hj. Siti Qomariyah binti Munaji (wafat pada 19 Rabiul Awal 1425 / 9 Mei 2004 M.), yaitu: Nyai Hj. Afifah, KH. Fathul Arifin, KH. Minannur Rahman, KH. Ahmad Qomarul Anam, KH. Ahmad Asrori, Nyai Hj. Lutfiyah, KH.Anshorullah, Nyai Hj. Zakiyah dan Ibu Nyai Hj. Zuhriyah. Penyematan gelar Al-Ishaqi diberikan sebab Kiai Utsman masih keturunan dari Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri.
Kiai Asrori menceritakan bahwa ketika ayahanda dulu berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat Ka’bah secara nyata dari rumahnya di Jatipurwo Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan sekedar mimpi, akan tetapi benar benar terjadi. Kiai Utsman muda pun minta dibelikan kaca mata, karena mengira bahwa matanya sudah rusak.
Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja. Menurut Kiai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahandanya dan sejak saat itu Kiai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kiai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pesantren yang pertama kali disinggahi Kiai Utsman untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kiai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kiai Munir Jambu, Madura. Oleh kedua orang tuanya, Kiai Utsman lalu dipondokkan di Pesantren Tebuireng, Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kiai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang yang diasuh oleh Kiai Romly At-Tamimi.
Perjalanan Kiai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak berani pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Artinya, selama mondok beliau dianggap hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.
Setelah cukup waktu nyantri di Kiai Romli, Kiai Utsman dibai’at oleh Kiai Romly sebagi murid TQN dan sekaligus mendapat tugas dari kiyainya untuk menyusun silsilah TQN yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, Kiai Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya di Jatipurwo Surabaya.
Kiai Utsman mulai mendirikan Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Raudlatul Muta’alimin (PPRM) di kediamannya Jalan Jatipurwo VII No. 15 Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Surabaya. Di sana beliau mulai merintis kegiatan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Bahkan, ketika gurunya Kiai Romli menghendaki diselenggarakannya kegiatan manaqib di ndalemnya, Kiai Romli memohon izin kepada Kiai Utsman.
Kegiatan manaqib di PPRM sendiri dilaksanakan setiap bulannya pada malam ke sebelas bulan dalam penanggalan hijriyah, sehingga kegiatan ini lebih dikenal dengan istilah ‘sewelasan’ atau ‘sebelasan’. Para murid-murid Kiai Utsman yang tersebar di penjuru Nusantara pun mulai melestarikan kegiatan majelis dzikir dan pembacaan kitab manaqib Al-Lujayn Al-Dany yang disusun oleh Syaikh Abdul Karim Al-Barzanji ini.
KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi wafat pada 5 Rabiuts Tsani 1405 / 8 Januari 1984 M dalam usia 69 tahun dan dimakamkan di komplek PPRM yang didirikannya. Jasadnya mungkin telah tiada, namun jasa dan amal baiknya akan terus mengalir pahalanya. Untuk tahun ini, Haul KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi akan diperingati pada Rabu siang tanggal 5 Rabuts Tsani 1443 H. atau bertepatan 10 November 2021 M di PPRM Jatipurwo. Teruntuk beliau, Al-Faatihah.
Referensi:
KH. Abdulloh Faqih Suci, Syifaul Qulub Liqoul Mahbub,
H. Abdul Ghoffar Umar Tenger, Al-Lu’lu’ Walmarjan Fi Manaqibi Syaikh Muhammad Utsman,
Dan berbagai sumber.