Kata “Cemburu” Versi Tasawwuf
Ditulis Oleh: Bahjatul Imania Za*
Dibalik fenomena cemburu, banyak sekali orang-orang beranggapan bahwa cemburu itu melulu tentang cinta. Anak muda zaman sekarang menyebutnya dengan bucin. Ya! benar, bahwa cemburu itu melambangkan kecintaan, sebuah kepedulian dan cukup mengartikan warna-warni rasa sayang yang mungkin sudah tak terbilang seperti apa bentuknya. Sangat banyak pertanyaan-pertanyaan yang perlu digali dalam satu kata ajaib ini, perihal bolehkan kita cemburu, normalkan kalau kita cemburu, cemburu yang baik itu seperti apa sih, ada yang mengartikan cemburu itu rasa kasih sayang dan perhatian. Kalau tidak sayang dan perhatian, tidak akan mungkin ada rasa cemburu. Ada juga yang mengartikan cemburu itu adalah sifat, tingkah laku atau ego seseorang terhadap orang lain. Kadang-kadang cemburu itu berlebihan, bahkan ada yang bisa menghilangkan nyawa seseorang. Kita pernah melihat dan membaca berita Koran dan TV tentang berita rasa cemburu.
Cemburu dalam Bahasa Arab dikatakan Ghirah adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki sesuatu. Allah digamabarkan bersifat Ghirah (cemburu), berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba-Nya taat kepadan-Nya.
Dalam Hadits Rasulullah SAW. diriwayatkan bahwa beliau bersabda:
“Tidak seorang pun yang lebih pencemburu selain Allah SWT. Karena itulah (kecemburuan-Nya), Allah mengharamkan segala perbuatan keji.” (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Nikah).
Disebutkan juga dalam Hadits Rasulullah SAW. Yakni:
“Janganlah kalian cemburu kecuali terhadap 2 orang, pertama kepada orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, kedua orang yang yang berharta dan menginfakkan hartanya”.
Sebagian Sufi berkata: “Cemburu adalah sifat orang-orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan. Allah SWT sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam segala ketentuan yang dikehendaki-Nya. Perasaan cemburu itu, sangat urgen dalam Islam. Cemburu dalam pengertian syar’i itu mendatangkan kebaikan dan menghalangi keburukan serta mencegah kepro-fanaan di masyarakat. Rasa ini juga akan menciptakan suasana yang kondusif dan kontrol sosial yang tinggi di masyarakat. Minimnya rasa cemburu itu dari seorang mukmin menunjukkan lemahnya frekuensi iman yang dimiliki.
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan: “Cemburu adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu.” Begitu juga yang diungkapkan oleh Dulaf as-Syibly menjelaskan : “Ada dua macam cemburu, yaitu cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap hati manusia.” Ditegaskannya juga: “Cemburu Allah menyangkut nafas manusia, jika nafas itu dihembuskan untuk selain Alalh swt.” dari pemaparan kedua keterangan tersebut, sudah jelas bahwa perkataan Sa’id bin Salam al-Maghriby dan Dulaf al-Syibly, cemburu memiliki konsep secara personal dan spesifik. Lalu bagaimana cemburu yang baik dan benar itu?
Kata ghirah berarti sikap yang selalu ingin mengubah perbuatan buruk menjadi baik, dan mengubah perbuatan baik menjadi lebih baik lagi. Ada beberapa pembagian ghirah yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; yaitu ada yang mengatakan bahwa ghirah dapat dilihat dari dua aspek, yakni sikap yang ingin menjadikan baik dari sesuatu dalam diri yang buruk (al-ghirah mina al-shay’), dan sikap yang ingin meningkatkan sesuatu dalam diri yang baik menjadi lebih baik lagi (al-ghirah fi al-shay’). Ada juga yang mengatakan, bahwa ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan baik yang berdimensi fisik menjadi tindakan yang berdimensi psikhis (al-ghirah min nafsihi ‘ala nafsihi). Begitu pula ia mengatakan, bahwa ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan yang selalu ingin mendapatkan sesutu dari Allah, menjadi tindakan yang selalu ingin menyembah-Nya (ghirat al-haqqi ‘ala’abdihi wa ghirah al-‘abdi li rabbihi).
Dikisahkan diantara para sahabat pernah terjadi adegan, datang satu kelompok sahabat miskin namanya Ahlussufah, demo kepada Rasulullah SAW. lalu mengatakan “Ya Rasulullah, orang kaya sudah memborong pahala” dijawab oleh Rasul “bagaimana caranya orang kaya memborong pahala?” dijawab “Ketika kami shalat mereka shalat, jika kami puasa mereka puasa, akan tetapi ketika mereka berdekah kami tidak bisa bersedekah, sehingga mereka memborong banyak pahala” lalu Rasul menjawab “setiap senyum itu sedekah, setiap ucapan yang baik itu sedekah, setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmit itu sedekah, dan setiap takbir dan tahlil itu sedekah” dijawab oleh sahabat miskin “Jika seperti itu orang kayapun bisa melakukan demikian ya Rasul” lalu Rasulullah SAW. menjawab “Janganlah kalian cemburu terhadap karunia Allah SWT. kepada sebagian kalian yang tidak diberikan kepada sebagian yang lain”.
Secara universal dapat dikatakan bahwa cemburu yang baik adalah mengarah kepada hal-hal yang baik seperti yang telah dikisahkan diatas, dalam ajaran Islam, cemburu dipandang sebagai sesuatu yang penting. Namun dalam satu sisi terdapat pula konsep dalam berpasangan atau keluarga.
Kecemburuan yang benar adalah menjaga perempuan dari sikap tidak merasa malu, bercampur dengan lelaki, segala hal yang diharamkan, dicela, dicaci dan diaibkan (berusaha agar tidak ada seorang pun melecehkannya) Bahkan, membela kehormatan pun termasuk jihad yang karenanya darah ditumpahkan. Inilah kecemburuan yang disukai Allah dan Rasul-Nya, yang ditanamkan Islam pada orang-orang Muslim dan diajarkan kepadanya.
Kalaupun Jika ada orang yang meremehkan kecemburuan karena kebodohannya atau karena kesalahpahaman tentang manfaat dan hasilnya, maka ada pula orang yang salah menggunakannya sehingga sampai pada tingkatan menuduh keluarganya tanpa suatu keraguan pun dan selalu tidak mempercayai seluruh perbuatan mereka. Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa Nabi Dawud mengatakan kepada anaknya, Nabi Sulaiman, “Hai anakku, janganlah memperbanyak cemburu pada keluargamu tanpa suatu keraguan pun sehingga engkau menuduhnya (yakni, istri) berlaku buruk padamu, padahal ia tidak melakukannya.”
Dari kisah di atas menjelaskan bahwa bila lelaki dikenal terlalu tidak percaya, banyak menuduh, dan terlalu mengawasi keluarganya dengan cara yang tidak biasa menurut orang yang memiliki akal sehat, maka orang itu fasik dan pelaku kemaksiatan akan berkata, “Kalaulah bukan karena ia melihat adanya hal yang buruk pada diri istrinya, tidaklah mungkin ia amat tidak percaya padanya.”
Demikian dikatakan pada intinya, segala rasa manusia itu hanya dikembalikan kepada sang pencipta rasa itu sendiri yakni Allah SWT. Wal hasil, cemburu dalam perspetif tasawuf itu merupakan kegelisahan yang terbesit dalam diri seseorang yang tidak mendapatkan apa yang ia harapkan, melainkan diberikan kepada orang lain.
*Mahasantri Ma’had Aly Al Fithrah Semester 2