Penguatan Turats Di Era Globalisasi

Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Perkembangan teknologi yang semakin di depan, memudahkan manusia dalam mengakses informasi secara instan. Ketika dihadapkan pada sebuah permasalahan yang membutuhkan hukum agama sebagai penyelesaian, kita tinggal mengetikannya di mesin pencarian. Sayangnya, tidak semua informasi yang disampaikan di internet itu bisa dijadikan pegangan. Tidak sedikit yang berasal dari pandangan cendekiawan yang pandangannya dengan Ahlussunah tidak sejalan.

Maka menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mempelajari dan mendalami sumber-sumber hukum Islam dari sumber yang bisa dijadikan pedoman. Sumber-sumber tersebut berupa literasi berbahasa Arab sehingga penguatan turats mutlak diperlukan. Mengkaji kitab-kitab berisikan ilmu agama menjadi semacam keharusan.

Turats sendiri, atau yang memiliki nama lain kitab kuning dan kitab salaf, adalah ditujukan pada karya ulama masa lampau yang menjadi kurikulum dan pelajaran yang dikaji di Pondok Pesantren atau Madrasah Diniyah. Kitab turats ini meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Ilmu Hadits, Fikih, Ushul dan Kaidah Fikih, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf dan lain sebagainya.

Untuk bisa memahami Ilmu-ilmu syariat ini maka menjadi penting untuk mempertahankan pembelajaran ilmu alat, berupa Nahwu dan Shorof, Tashrif dan Balaghoh. Hal ini bisa lebih lekat dipahami dengan metode pembelajaran hapalan (muhafadloh) dan setor bacaan kepada yang lebih pakar (sorogan).

Mengkaji Turats: Bernegara Sesuai Syariat

“Saya tidak sekolah umum. SMP tidak lulus saya. Tapi saya tumbuh, meski tidak tinggi, berkat (aktif) musyawarah (kitab turats saat mondok di Lirboyo dulu)” kata Kyai Suhra Wardi yang kini memangku amanah sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Trenggalek, Jawa Timur yang juga dosen Program Pascasarjana di Ma’had Aly Lirboyo Kediri.

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Majelis Kebersamaan Dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya pada Ahad malam, 24 Oktober 2021, Kyai yang juga Dewan Perumus LBM PWNU Jatim ini berani mengatakan bahwa ‘pendidikan umum dapat dipelajari dengan otodidak, sementara untuk mempelajari kitab kuning harus ada guru yang mendampingi’.

Menurutnya, dengan fokus pada kajian kitab, maka ia akan lebih jauh memahami kandungan isi kitab tersebut. Pernyataan ini membenarkan ucapan Dr. KH. Abdur Rosyid Rektor STAI Al Fithrah Surabaya selaku keynote speaker sebelumnya. Pendidik senior di Al Fithrah asal Majalengka ini menegaskan bahwa pendidikan sudah seharusnya membentuk anak agar fokus dalam satu bidang. Mustahil memaksa mereka agar bisa segalanya.

Biasanya, ketika dewasa seorang anak akan cenderung pada satu bidang keahliannya itu. Dengan memiliki keahlian di bidang turats, seseorang akan mampu mengkorelasikannya dengan berbagai lini kehidupan. Kitab-kitab turats yang ada juga telah mengupas tuntas pelbagai problematika hidup, seperti ibadah, muamalah, keluarga, sosial, kejahatan, hingga permasalahan kebangsaan.

Terlebih dengan adanya musyawarah. Melalui diskusi, para santri akan terbiasa bersikap kritis dan analitis terhadap suatu teks narasi, serta terbiasa memecahkan suatu permasalahan yang terus menerus berkembang. Dalam hal ini, Fikih tidak berdiri statis, ia mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan ruang dan waktu. Sehingga tidak heran ada puluhan Mujtad mutlaq yang mempunyai rumusan fiqh yang berbeda-beda. Imam Syafii pun punya kaul qodim dan kaul Jadid.

Berkebangsaan dengan menerapkan Fikih adalah cara mengaplikasikan aturan Syariah Islamiyah Mu’tabaroh di dalam negara bangsa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana dalam bernegara kita tetap melaksanakan kandungan syariat. Hal ini mengikut pada apa yang disampaikan oleh Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38):

أَنَّ أَحْوَالَ الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.

“Sungguh keadaan dunia, bangsa, adat, budaya dan keyakinan mereka tidak selalu berada pada satu model yang tetap, melainkan senantiasa berubah seiring perjalanan masa, perpindahan dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Hal ini terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga sudah menjadi kepastian (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”

Menjalankan isi turats dengan tetap memperhatikan aturan bernegara dianggap penting adanya. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri atas beragam agama, suku dan bangsanya. Semisal, hukum agama memperbolehkan wanita menikah ketika berusia sembilan tahun, namun negara mengharuskan batas minimal 18 tahun bagi wanita untuk menikah. Mematuhi hukum negara berarti menjadi bangsa yang baik dengan mengambil sesuatu yang lebih banyak maslahatnya.

Memahami Turats: Usaha Menjadi Manusia Sempurna

Pola penerapan syariat atau nilai-nilai maqashid asy-syari’ah dalam Undang-Undang negara dengan prinsip-prinsip; pertama, melindungi semua golongan; kedua, berkeadilan; ketiga, sesuai dengan agama / keyakinan/ kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di negara tersebut; keempat, sesuai dengan nila-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama; dan kelima, selalu memiliki wawasan ke depan,sudah menjadi keputusan Bahtsul Masail Diniyyah Qanuniyyah Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 yang diselenggarakan di Makasar pada tahun 2010.

Dalam keputusan tersebut Nahdlatul Ulama telah merumuskan Qawaidut Taqnin (Kaedah Perundang-undangan) yang dimaksudkan sebagai pedoman dan standar NU dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundang-undangan demi terwujudnya kejayaan Islam dan umat Islam Indonesia (‘Izzul Islām wal muslimīn), negeri yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin di dalam ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur).

Bersyariah dengan menerapkan aturan bernegara menjadikan seseorang menjadi sempurna dalam pandangan agama dan di mata hukum negaranya. Ia mampu memadukan antara perilaku lahir dan kondisi batinnya. Manusia sempurna bukan hanya yang terpenuhi syariatnya (gerak tubuhnya), melainkan juga hakikatnya (keadaan hatinya), sebagaimana ucapan orang-orang arif (‘ārifīn):

كُلُّ شَرِيْعَةٍ بِلَا حَقِيْقَةٍ عَاطِلَةٌ وَكُلُّ حَقِيْقَةٍ بِلَا شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ, فَلَا بُدَّ لِلْعَاقِلِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُمَا مُتَلَازِمَانِ، وَهُوَ كَامِلُ الْمَعْرِفَةِ.

“Setiap syariat yang tanpa dilandasi dengan hakikat adalah hampa, setiap hakikat tanpa disertai syari’at maka rusak. Oleh sebab itu wajib bagi setiap orang Islam sempurna untuk menggabungkan keduanya, sebab kedua hal tersebut saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan. Dan bila sudah mampu (mengaplikasikan keduanya) maka ia disebut orang yang sempurna kemakrifatannya”.

Hasil seminar ‘Penguatan Turats Di Era Globalisasi’ bersama KH. Zahro Wardi yang diselenggarakan oleh Majelis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah pada Ahad, 24 Oktober 2021 M.

Muhammad Zakki

Penulis dan mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah, berasal dari kabupaten Pemalang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *