Qashidah Burdah Dipercaya Sebagai Penangkal Bahaya, Ini Alasannya #1
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
Kata “Burdah” sendiri berarti jubah dari kulit atau bulu binatang. Pada awalnya, “Burdah” tidak memiliki muatan nilai historis apa-apa selain sebutan bagi baju hangat atau jubah sederhana yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab.
Muatan nilai sakral baru muncul tatkala pada suatu hari nabi Muhammad Saw menghadiahkan baju burdah yang biasa beliau pakai kepada Ka’ab Ibn Zuhair, seorang penyair kenamaan yang baru saja masuk Islam sebagai penghargaan atas syair gubahannya yang berisi penghormatan dan sanjungan terhadap Sang Nabi dan agama Islam yang dibawanya.
Burdah adalah syair puji-pujian (madaih) terhadap Rasulullah Saw yang ditulis oleh Imam al-Bushiri, sebagai ungkapan rasa rindu dan cinta yang amat dalam terhadap nabi Muhammad Saw dengan segala implikasinya.
Burdah adalah sebuah nama Qashidah yang digubah oleh Imam al-Bushiri dengan jumlah bait sebanyak 160 bait. Qasidah Burdah adalah syair ungkapan cinta dan rindu al-Bushiri kepada Rasul-Nya, yang kemudian ia ungkapkan lewat syair Burdah.
Hal tersebut juga menunjukkan cintanya terhadap Rasulullah sebagai al-Habib al-Mushthafa (kekasih pilihan). Makna itulah yang hendak disampaikan oleh al-Bushiri dalam puisi-puisi cintanya. Keindahan susunan bahasanya yang teratur membuat syair yang menggunakan akhiran mimiyat (dibaca secara bersama-sama) ini mudah dihafal. Selain itu, Burdah juga dapat dibaca dengan berbagai lagu sehingga Burdah menjadi satu-satunya puisi kesustraan bahasa Arab yang paling kuat bertahan.
Judul lengkap Burdah ialah al-Kawakib al-Durriyah fi al-Madh ‘ala Khair al-Bariyyah (bintang-bintang gemerlap tentang pujian terhadap manusia terbaik).
Bait-bait qasidah Burdah terdiri dari sepuluh tema pokok pembicaraan. Pertama, prolog cinta sang kekasih berjumlah 12 bait. Kedua, peringatan akan bahaya menuruti hawa nafsu sebanyak 16 bait. Ketiga, pujian sebanyak 30 bait. Keempat, Kisah kelahiran sebanyak 13 bait. Kelima, mukjizat sebanyak 16 bait. Keenam, Al-Quran sebanyak 17 bait. Ketujuh, isra’ mi’raj sebanyak 13 bait. Kedelapan, jihad sebanyak 12 bait. Kesembilan, penutup dan permohonan ampun sebanyak 12 bait dan ada yang berpendapat sebanyak 19 bait.
Burdah atau yang lebih dikenal dengan sebutan shalawat (qashidah) Burdah ini ditulis setidaknya berdasarkan dua faktor.
Pertama, al-Bushiri hidup pada masa perpindahan kekuasaan dinasti Ayubiyyah ke tangan dinasti Mamluk Bahriyyah. Pada masa ini, terjadi konflik politik dan kemerosotan akhlaq pada hampir ke seluruh negeri. Para pejabat pemerintah saling memperebutkan kedudukan serta kemewahan. Dari sinilah, tujuan al-Bushiri membuat syair Burdah agar semuanya kembali kepada al-Qur’an dan Hadis serta mencontoh akhlaq nabi Muhammad yang bisa mengendalikan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Kedua, al-Bushiri sebelum menggubah Burdah mengalami sakit parah. Dalam keadaan yang tidak berdaya akhirnya al-Bushiri menulis sebuah syair yang berkaitan dengan nabi Muhammad Saw. Setelah membuat dan juga membacanya, akhirnya al-Bushiri mengalami kesembuhan total dari penyakitnya. Dari faktor inilah, qashidah Burdah dipercaya memiliki kekuatan supranatural, yang sudah sangat popular dari zaman ke zaman.
Al-kisah, Imam al-Bushiri pada masa itu menderita penyakit lumpuh dan buta. Dalam menghadapi masa-masa krisis tersebut, Imam al-Bushiri berinisiatif untuk menggubah sebuah qashidah terhadap nabi Muhammad Saw dengan tujuan memohon syafa’at kepada Allah Ta’ala agar disembuhkan dari penyakit yang sedang dideritanya.
Setelah selesai qashidah tersebut dibuat, Imam al-Bushiri membacanya secara terus-menerus sambil menangis, berdo’a, lalu tertidur. Dalam tidurnya Imam al-Bushiri bermimpi bertemu dengan nabi Muahammad Saw yang sembari mengusapkan tangannya pada tubuh Imam al-Bushiri serta menganugerahinya sebuah surban (Burdah).
Ketika Imam al-Bushiri terbangun dari tidurnya, ia merasakan keajaiban yang begitu luar biasa. Penyakit yang diderita Imam al-Bushiri selama bertahun-tahun tiba-tiba sembuh total. Dari kisah ini, Imam al-Bushiri menamai qashidah-nya dengan “Burdah”.
Dalam lintasan sejarah, kedalaman cinta yang terkandung dalam setiap bait qashidah Burdah serta keajaiban yang dialami Imam al-Bushiri telah mampu menginspirasi dan memberikan pengaruh spiritual yang sangat berarti bagi umat Islam di seluruh dunia.
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa qashidah Burdah karya Imam al-Bushiri ini memiliki khasiat dapat menolak bala’, mampu mengobati berbagai macam penyakit bahkan untuk membentengi suatu tempat dari hal mistis yang bersifat mengganggu. Pada tahap selanjutnya popularitas qashidah Burdah tersebut memunculkan berbagai bentuk ekspresi religius yang dikemas dalam bentuk tradisi keagamaan.
Tentu, kita yang sebagai santri PP. Assalafi Al Fithrah sangat mengerti bahwa Burdah merupakan kegiatan wadhifah yang diamalkan setiap ba’da Maghrib, kecuali hari Kamis dan Sabtu. Di hari Kamis, kegiatan para santri Al Fithrah diwarnai dengan berziarah ke maqbarah KH. Achmad Asrori al-Ishaqi yang nantinya ba’da Isya’ dilanjutkan dengan membaca maulid. Sedangkan, di hari Sabtu membaca manaqib dengan bacaan sendiri-sendiri.
Hal ini, dikarenakan pondok Kedinding (sebutan PP. Al Fithrah) mengaca pada pondok Jatipurwo (sebutan Raudhotul Muta’allimin), yang didirikan oleh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi. Kyai Utsman adalah ayahanda KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi pendiri pondok pesantren Assalafi Al Fithrah.
Barangkali, kita sudah banyak tahu tentang Burdah keliling yang pernah digelar di PP. Al Fithrah. Burdah keliling sendiri merupakan….Selanjutnya baca page 2
Sumber/mengutip: Skripsi STAI Al Fithrah Terbitan 2020 karya Ainur Rofiq.