Benarkah, Ada Iblis Baik?
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki
Alkisah ada seorang nenek tua yang hendak berangkat sholat Subuh berjamaah di masjid. Disebabkan senjanya usia, nenek itu berjalan dengan susah payahnya. Apalagi juga sedang musim penghujan, sehingga jalanan menjadi licin. Belum sampai di masjid, si nenek terjerembab yang menyebabkan mukenah yang dikenakannya menjadi kotor.
Si nenek kembali ke kamar, berganti pakaian dan kembali berangkat menuju masjid, namun beliau kembali terjatuh dan menjadi kotor lagi mukenanya. Untuk ketiga kalinya si nenek tak pantang menyerah untuk kembali pergi menuju masjid. Belum lagi sampai ke masjid, si nenek kembali akan terjatuh, namun kali ini ia berhasil di tahan oleh seorang pemuda gagah ganteng. Tidak sampai di sini, si pemuda dengan suka hati menggendong nenek tadi sampai ke masjid.
Si nenek sangat berterima kasih kepada sang pemuda. Si nenek pun bertanya tentang pribadi siapakah gerangan pemuda tersebut. “Saya adalah seorang iblis” jawab si pemuda. Keheranan, si nenek pun kembali bertanya-tanya. Bagaimana mungkin ada iblis yang mau membantu seorang muslim untuk bisa sholat berjamaah.
Si iblis pun menjawab “Ketika engkau jatuh dan mau kembali lagi pergi ke masjid, maka diampunilah segala dosa yang telah kau perbuat. Untuk kedua kalinya engkau juga terjatuh dan mau kembali pergi ke masjid, maka diampunilah seluruh penduduk di kota ini. Jika sampai tiga kali hal itu terjadi maka diampunilah seluruh dosa kaum muslimin yang ada dan sia-sialah usahaku selama ini. Sebelum itu terjadi, maka aku menolongmu untuk bersegera ke masjid”.
Dalam penggalan cerita di atas dapat kita ketahui bahwa perilaku baik yang ditampakkan oleh iblis ternyata memiliki sisi lain yang menjerumuskan. Sehingga kita kesulitan untuk menentukan apakah sesuatu yang terlihat baik itu memang benar-benar demikian adanya.
Ada analogi yang menggambarkan betapa kasih sayang seorang ibu justru menipu. Dalam hal mengamputasi bagian tubuh anak misalnya. Dengan sikap dan sifat keibuanya, si ibu tidak mengizinkan dokter untuk mengamputasi bagian tubuh si anak karena kasih sayangnya. Justru tindakan ibu yang nampaknya baik ini malah akan menambah penderitaan bagi si anak. Sebaliknya, aksi dokter untuk menghilangkan bagian tubuh adalah demi kemaslahatan yang lebih baik.
Seorang ayah yang bijak tentu tidak akan membelikan sepeda motor begitu saja kepada putrinya yang belum cukup umur. Si ayah bukannya tidak mampu, melainkan ia sedang menunggu momentum yang tepat. Melihat analogi cerita tadi, Gusti Allah demikian adanya. Tidak setiap permintaan doa yang kita sampaikan dikabulkan Nya. Bukan Dia tidak mendengar, melainkan lagi menunggu momentum saja. Bahkan bisa jadi Allah lebih tahu, kelak apabila kita akan diberinya begitu saja, kita akan lupa untuk kembali meminta kepada-Nya.
Ada sebuah kisah di mana ada seorang yang begitu berdoa langsung Allah kabulkan seluruh permintaannya. “Ya Jibril, berikan semua apa yang dikehendakinya. Aku tidak suka mendengar suaranya” titah Allah kepada Malaikat Jibril.
Sebaliknya, ada yang berdoa berkali-kali, namun Allah tak juga memberinya. “Ya Jibril, jangan dulu engkau mengabulkan permohonannya. Aku suka suaranya. Lirih dan lantunan doa yang disampaikannya. Nanti kalau Aku beri, takutnya dia tidak akan berdoa lagi dan Aku tidak lagi bisa mendengar suaranya”.
Kembali kepada iblis di atas. Ia tidak sedang ingin berbuat baik. Ia akan tetap jahat hingga kiamat tiba. Kebaikannya dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan maksud yang lebih menyakitkan. Dalam hal ini, iblis tidak ingin semua dosa kaum mukmin diampuni. Ia tetap ingin agar bahan bakar api neraka tetap ada. Hanya taktik dan metodenya saja yang berbeda. Tujuannya tetap untuk menjerumuskan manusia.
Atas berbagai kelembutan cara licik yang dilaksanakan oleh iblis dan bala tentaranya, bisa jadi dalam kehidupan sering kali kita terjebak di dalamnya. Menganggap sesuatu itu baik, namun berpotensi semakin menjerumuskan kita ke lubang neraka. Ringkasnya, ada banyak sikap dan sifat yang ternyata adalah perbuatan dosa.
Tidak heran jika kita dianjurkan (sunah hukumnya) untuk melafalkan istighfar, sebelum atau pun sesudah sholat, terutama ketika duduk di antara dua sujud setiap kali melaksanakan sholat. Seperti doa berikut:
رَبِّ اغفِر لِي وَارحَمنِي وَاجبُرنِي وَارزُقنِي وَاهدِنِي وَاعفُ عَنِّي
Bahkan di luaran sholat pun Rasulullah Saw. dalam banyak riwayat senantiasa melanggengkan beristighfar tujuh puluh atau seratus kali setiap harinya. Hal ini sebagai bukti bahwa Rasulullah Saw selalu naik derajat dan tingkatannya, di samping juga sebagai tuntutan dan bimbingan bagi umatnya. Sosok Suri Tauladan bagi umat manusia di dunia yakni Rasulullah Saw selalu beristighfar, apalagi kita yang banyak dosanya.
Referensi:
Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Assyakir Al-Khoubawi, Durratun Nashihin fi al-Wa’di wa al-Irsyad.