Rabithah Sufiyyah di Tengah Realitas Virtual
Ditulis Oleh: Zenal Wafa
Dalam ranah tarekat atau tasawuf, tentu tidak samar dengan persoalan hubungan antara guru dan murid. Seorang murid tidak lepas dari bimbingan seorang guru mursyid untuk mendekatkan kepada Allah SWT. Murid harus mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh guru mursyid, yang telah menjadi pembimbing dan penuntun jalan tarekatnya.
Proses interaksi antara murid dan guru mursyid digambarkan seperti hubungan ayah dan anak, juga seperti mayat yang dimandikan oleh seorang yang memandikannya. Seluruh perbuatannya merupakan rujukan utama dalam tindakan ahlu suluk (para penempuh suluk/jalan tasawuf). Perumpaan dalam hal ini layaknya ka’bah sebagai kiblat shalat.
Salah satu bimbingan yang diberikan, seorang murid akan diberikan tuntunan rabithah oleh guru mursyid dan ia diperkenankan memilih apakah mau melakukanya atau tidak?
Jika faedah rabithah itu tampak atau membuahkan hasil, maka sangat penting sekali bagi seorang murid untuk melakukannya. Jika ia meninggalkanya, maka ia telah meninggalkan adab. Rabithah ialah ungkapan dari ikatan hati satu dengan yang lain, yang dilandasi atas dasar cinta.
Lalu menilik problem-problem di era sekarang yang serba virtual, akses internet merupakan sarana utama untuk mempermudah dan membantu menjalankan aktivitas seseorang khususnya dalam pendidikan. Sehingga pelajar tidak perlu jauh-jauh datang ke madrasah untuk bertatap muka secara langsung melainkan cukup dengan cara virtual. Lantaran dipandang tidak efektif dan memakan waktu, jaringan informasi menjadi bersifat transparan dan virtual.
Hal ini semakin terbuka luas, karena tidak terdapat lagi kategori-kategori moral yang mengikatnya. Tidak ada pula ukuran-ukuran nilai yang membatasinya. Akibatnya, batasan, aturan, ikatan dan kode-kode moral yang selama ini mengendalikan setiap tindakan di dunia nyata kini tak dapat lagi sepenuhnya berlaku. Demikian semua akibat akses virtual yang tidak kenal sekat dan batas.
Ketika berlangsungnya belajar-mengajar secara virtual, sebagian pelajar kurang memperhatikan akhlak, contoh: tidur-tiduran, tidak memerhatikan dan juga ditinggal bercanda dengan temannya. Lebih parah lagi ada yang hanya menghidupkan akses virtual untuk belajar-mengajar, namun ia tidak bersedia menyimak penjelasan-penjelasan pengajar secara keseluruhan. Bahkan disela-sela itu ia meninggalkan akses virtual dalam keaadaan hidup sedangkan ia melakukan aktivitas lain.
Gambaran di atas mungkin belajar-mengajar secara vitual dapat memangkas waktu, akan tetapi terdapat kelemahan mengenai akses virtual tersebut seperti suara antara pengajar dan pelajar putus-putus dikerenakan lemahnya sinyal internet dan keterbatasanya akses video call yang mana mungkin layar handphone atau laptop hanya beberapa inci tidak mampu memperlihatkan keseluruhan pelajar.
Permasalahan di atas mengundang solutif yang tepat untuk mengatasi bentuk-bentuk tantangan semacam ini. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan ialah rabithah yang telah diamalkan oleh segenap Ulama’ Ma’rifat. Rabithah/konsep ini terlihat penting bagi para generasi di era virtual sekarang. Karena diharapkan rabithah tersebut dapat menghilangkan kelalaian hati bagi pengamalnya. Sehingga mereka dapat memiliki adab dalam situasi apapun khususnya dalam ranah pendidikan.
Seperti yang dialami masing-masing, virtual tanpa disadari telah menghilangkan sekat/batas-batas moral. Ia pula seolah mengkaburkan sosok nyata di balik layar virtual. Jika berpikir soal proses belajar-mengajar, murid/pengajar tidak akan sungkan ataupuun takdzim dengan guru yang di balik layar, lain halnya dengan ketika bertatap muka.
Maka dari itu rabithah sangat penting bagi pelajar agar ikatan dan jalinan dengan selalu menjaga sosok guru di dalam daya ingatan atau di dalam hatinya, atau dengan senantiasa membayangkan aura sosok nyata gurunya. Ketika rabithah telah mewarnai dan menjiwai seorang pelajar, maka ia akan melihat aura sosok guru pada situasi apapun, termasuk virtual.
Ada salah satu kitab tentang rabithah, yaitu al-Nuqthah fi Tahqiq al-Rabithah. Sebuah karangan dari KH. Muhammad ‘Utsman al-Ishaqi yang ditulis oleh salah satu putranya yaitu KH. Achmad Asrori al-Ishaqi ra. Yai Asrori mendengarkan dekte karya tersebut yang indah, luhur dan bersinar dari yai ‘Utsman. Dalam kitab al-Nuqthoh, yai ‘Utsman sangat detail membahas tentang rabithah mulai dari pengertian, hukum, pentingnya rabithah dan pertanyaan-pertanyaan yang mengingkari rabithah.
KH. Muhammad ‘Utsman al-Ishaqi sendiri merupakan mursyid Thariqah Qadriyah an-Nasyabandiyah yang langsung dibai’at oleh Kyai Romly Tamimi dari Peterongan, Jombang. Selain menjadi mursyid, beliau juga mendirikan Ponpes Darul Ubudiyah Raudlatul Muta’allimin pada tahun 1957.
Dari sini, rabithah dapat menghidupkan kembali batas moral yang telah dikaburkan oleh virtual. Menjadikan nyata sosok di balik layar yang telah difantasikannya. Memperkuat rasa ta’dzim dan hormat yang telah dikikis sedikit demi sedikit akibatnya.