”Pokok’e Nderek” Sebagai Kesempurnaan Bertarekat

Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Sumber Gambar: Al Wava Dokumentasi

Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa Sang Ratu sufi Rabi’ah Adawiyah sempat berlaku kontroversial dan menjadi perbincangan banyak orang. Pasalnya, kemana-mana sufi perempuan yang menjomblo ini pergi dengan membawa oncor di tangan kanannya dan menenteng ember penuh air di tangan kirinya.

Orang-orang pun penasaran dan mencoba menanyakan arti dari perbuatannya. “Apakah maksud dari perbuatan yang kamu lakukan ini, wahai Rabi’ah?” memastikan bahwa Rabi’ah masih sehat kejiwaannya.

Saya membawa obor untuk membakar surga dan seember air untuk memadamkan api neraka. Agar manusia beribadah bukan karena mengharapkan surga dan takut akan neraka, melainkan murni kepada-Nya” jawab Rabiah.

Beliau dikenal sebagai sufi perempuan yang nyentrik dengan konsep mahabbah kepada Allah Swt. Demi membuktikan dan menguatkan cintanya itu, beliau sampai rela memutuskan diri menjomblo hingga akhir hayatnya, agar cintanya kepada Allah Swt tidak terpecah untuk pasangan hidupnya.

Kita akan mencoba fokus pada ‘perbuatan meresahkan’ yang dilakukan oleh Rabi’ah. Apa yang diperbuat oleh Rabi’ah pada masa lalu jelas tidak biasa, sehingga memunculkan desas-desus yang ramai membincangnya. Tapi, kredibilitas Rabi’ah sebagai sufi tentu melegalkannya. Kemakrifatan sufi mendekritkan makna dalam setiap perbuatannya. Singkatnya, ada ‘hikmah’ di balik tingkah nyelenehnya.

Dalam sistem akademik, kita mengenal bahwa setiap apa yang keluar dari lisan ataupun tulisan seorang profesor adalah bisa diterima. Andai kata itu sebuah kesalahan, maka bisa jadi itu temuan baru. Artinya, ketinggian derajat seseorang menegaskan bahwa ia bisa diterima dengan segala yang dibawanya.

Dalam sebuah potongan bait Aqidatul ‘Awam yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Marzuki, tertulis ‘Wakullu ma ata bihi arrasulu, fahaqquhu taslimu wal qabulu’ setiap apa yang datang dan berasal dari Rasulullah Saw., maka yang menjadi kewajiban bagi kita adalah pasrah dan menerimanya. Bagaimanapun, tidaklah keluar dari lisan suci beliau Saw, melainkan wahyu yang Allah Swt. turunkan.

Ketentuan semacam ini kemudian diwarisi oleh para mursyid. Sebagaimana rasul adalah kalangan nabi yang mendapatkan mandat untuk menyampaikannya kepada umat, maka mursyid adalah kalangan wali yang memiliki tugas ganda menuntun dan membimbing umatnya. Sehingga, setiap mursyid adalah wali, namun tidak berlaku sebaliknya. Menjadi sebuah kewajiban bagi murid untuk tunduk dan patuh kepada mursyidnya.

Barang siapa bertanya kepada mursyidnya, kenapa?, maka dikawatirkan ia tidak akan bahagia selama hidupnya’. Demikianlah salah satu maqolah yang ditulis oleh Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’roni dalam Al-Anwar Al-Qudsiyah-nya. Menjadi syarat keberhasilan murid dalam bertarekat adalah tidak banyak bertanya ketika mendapatkan kewajiban melaksanakan suatu amalan dari mursyidnya.

Ibarat pasien, murid tidak perlu tahu untuk apa ia berdzikir jahr membaca kalimat Tahlil 165 kali setiap seusai sholat lima waktu, yang diwajibkan oleh mursyid selaku dokter baginya. Mursyid tahu benar bagaimana cara menangani anak muridnya. Sebagai orang yang berpengalaman dalam menjalani suluk tarekat, mursyid mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mencapai kesempurnaan dalam bertarekat.

Dalam ilustrasi yang digambarkan oleh Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, mursyid itu layaknya tukang kayu yang bertugas mengoles muridnya. Polesan yang dihasilkan tidak akan sempurna jika ia bergonta-ganti tukang kayu, apalagi sampai menolak (emmoh) untuk mendapatkan polesan dari mursyid sebagai penangannya.

Ada banyak amaliah tarekat yang mungkin kurang familiar dalam ajaran Islam kebanyakan. Lebih tepatnya, hanya menjadi pengetahuan dan mulai jarang dilakukan, dan mursyid muncul sebagai penuntun para muridnya dengan mewajibkannya. Kadar dan dosis yang ditetapkannya adalah sesuai dengan takaran agar menjadi manusia paripurna.

Dalam beberapa tradisi pesantren, seringkali terdengar penjelasan atau semacamnya tentang beberapa amalan yang dilakukan dengan kadar tertentu akan menghasilkan manfaat yang demikian banyak. Hal semacam ini hampir tidak pernah dilakukan oleh KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi. Sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah yang mendapatkan tongkat estafet kemursyidan dari KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi, Kiai Asrori hampir tidak pernah menyampaikan manfaat praktis dalam setiap amalan yang dituntunkannya, meskipun ada beberapa yang beliau jelaskan nilai filosofisnya.

Dalam tradisi tarak atau mutih misalnya. Dengan menghindari makan makanan yang mengandung unsur hewani akan membantu tetap lapar ketika berpuasa pada bulan Ramadhan. Di sini akan tercapai maksud puasa, yaitu dengan turut merasakan penderitaan orang-orang yang tidak berpunya. Bukan hanya sekadar pindah jadwal makan belaka.

Dzikir jahr dan siri dengan posisi kaki berlawanan dengan posisi duduk tahiyat dalam sholat misalnya. Hingga sekarang masih belum ada dawuh resmi yang kita jumpai tentang mengapa para mursyid mengajarkannya. Kita hanya dituntun untuk menjalankannya saja dan berbaik sangka bahwa ‘obat yang kita minum’ pasti ada manfaatnya.

Sebab, kebanyakan kita akan lebih condong pada ‘upah yang didapatkan’ ketika melakukan sebuah pekerjaan. Apabila majikan sudah menjanjikan upah sekian sebelum pekerjaan dilakukan, bayangan kita tentu berfokus pada perolehan upah setelah berhasil menunaikan.

Kembali pada kisah Rabi’ah Adawiyah di atas, tingkah laku dalam penggalan kisah di atas dimaksudkan agar dalam beribadah benar-benar bertujuan hanya menghadap kepada-Nya. Karena jika seseorang dalam sholatnya mengharapkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya, maka ia adalah hambanya ‘kemudahan hidup’ itu sendiri. ‘Faqad asyrakta billah’, demikian kata Syaikh Junaid Al-Baghdadi. Engkau telah mempersekutukan Allah Swt. dengan yang lain.

Itulah di antara alasan kenapa dalam tarekat tidak ada pemberitahuan mengenai khasiat dan manfaat dari amalan-amalan tarekat. Tidaklah perlu pemberitahuan khasiat dari sebuah amalan tarekat, apalagi justru berakibat pada kefokusan kita yang malah beralih pada khasiat tersebut, bukan pada keestuan kita mengikuti apa kata mursyid. Yang terpenting adalah amalan dilaksanakan secara istiqamah, lalu amalan tersebut menjadi tradisi kebiasaan hingga mengkarakter pada diri pelakunya. Sebesar apa estu kita dalam menjalankannya? adalah sebanding dengan besar kecintaan kita kepada guru mursyid.

Allah Swt. berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran (3): 31)

Namun, bukan berarti kita mengingkari khasiat sebuah amalan atau menandaskannya sebagai hal yang tidak penting. Cukup kita alihkan bahwa hal itu sebagai bonus dan sebagai suatu yang memperteguh i’tiqod kita terhadap hikmah kalam dari guru mursyid.

Muhammad Zakki

Penulis dan mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah, berasal dari kabupaten Pemalang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *