Mengapa (Sepi) Dengan Dzulkaidah?
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Di antara dua belas bulan yang tercatat dalam kalender penanggalan hijriyah, Dzulkaidah atau Dzul Qa’dah menjadi bulan yang jarang disebutkan. Namanya jelas kalah populer dibandingkan yang lainnya. Tidak ada acara khusus yang diselenggarakan pada bulan ini. Pun ritual khusus untuk memperingatinya. Ringkasnya, tidak ada kegiatan-kegiatan monumental yang diselenggarakan pada bulan ini.
Masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah ‘Apit’ yang berkonotasi bahwa bulan ini tercepit atau berada di antara dua bulan monumental, yakni Syawal dan Dzulhijjah. Di mana dalam dua bulan tersebut, terdapat hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Ada juga yang menyebutnya ‘Selo’ yang berarti istirahat. Masyarakat kebanyakan mengadakan hajatnya di bulan sebelum Dzulkaidah, yakni pada bulan Syawal. Di bulan Syawal, banyak orang menyelenggarakan resepsi pernikahannya, khitanan, halal bi halal dan sebagainya, sehingga bulan Dzulkaidah ini adalah waktunya istirahat dari segenap kesibukan tersebut.
Kepercayaan Jawa meyakini bahwa perekonomian pada bulan ini agak kurang baik, sehingga memunculkan istilah bulan ‘Legeno’ (leg’en bae opo seng ono) atau makanlah seadanya. Maksudnya adalah jangan boros karena keadaan ekonomi tidak stabil. Setelah banyaknya pengeluaran pada bulan Syawal, maka Dzulkaidah ini menjadi momentum untuk kembali bangkit dari awal. Terasa segalanya susah, sehingga pola hidup hemat perlu kembali digugah.
Istilah Apit sebagai kata ganti atas bulan Dzulkaidah dalam tradisi Jawa juga sering dimaknai sebagai bulan yang diyakini memiliki siklus ekonomi yang terjepit dan sulit. Padahal, penamaan ini diberlakukan karena posisinya yang terletak di antara dua hari raya saja. Dalam kenyataannya pun, kebanyakan kita terlanjur dan terlalu konsumtif membelanjakan harta untuk keperluan hari raya, hingga tidak menyisakan untuk bulan setelahnya, Dzulkaidah.
Kata Dzulkaidah sendiri berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas dua suku kata dzi dan al-qa’dah atau al-qi’dah. Bentuk pluralnya adalah dzawat al-qa’dah. Dzu al-qa’dah memiliki arti yang diduduki. Dinamakan demikian karena pada masa itu orang-orang Arab berdiam diri (duduk) di daerahnya masing-masing, tidak mengadakan perjalanan maupun peperangan.
Masyarakat Arab sangat menghormati bulan-bulan haram, baik ketika masa jahiliyah maupun era Islam, termasuk bulan Dzulkaidah. Pada masa Jahiliyah, bulan Dzulkaidah adalah kesempatan berdagang dan saling memamerkan syair. Didirikan pasar sebagai tempat pertunjukan kehebatan dalam bersyair, menunjukkan kehormatan suku dan golongan, sambil berniaga, untuk kemudian melaksanakan haji. Di bulan ini tidak boleh ada amarah, apalagi saling menumpahkan darah.
Ada beberapa hal istimewa yang berkaitan dengan keberadaan bulan Dzulkaidah, antara lain:
- Dzulkaidah termasuk bagian dari empat bulan yang dimuliakan (arba’atun hurum), yaitu Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Di bulan-bulan ini umat Islam lebih dianjurkan untuk tidak menzalimi orang lain, apalagi sampai berperang.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah: 36)
- Amalan yang dilakukan pada bulan-bulan haram ini dilipatgandakan, amal baik digandakan nilai pahalanya, begitu juga perbuatan buruk digandakan dosanya.Pelanggaran hukum pada bulan-bulan ini juga diliperberat sanksi dendanya.
- Dzulkaidah juga termasuk bagian dari bulan haji. Tidak sah ihramnya seseorang untuk menunaikan ibadah haji kecuali pada bulan ini. Rasulullah Saw. juga banyak melaksanakan umrah di bulan tersebut.
- Bertemunya Nabi Musa dengan Allah Swt (QS. Al-A’raf: 142). Atau diturunkannya kitab Taurat.
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 142)
Para ulama menafsiri bahwa tiga puluh malam yang dimaksud adalah bulan Dzulkaidah, sementara sepuluh malamnya adalah malam-malam Dzulhijjah. Empat puluh malam ini diisi oleh Nabi Musa As. dengan bermunajat di gunung Tursina. Beliau menghabiskan waktunya di sana dengan beribadah kepada Allah Swt.
Kasus yang demikian ini menjadi pelajaran bagi umat manusia sekarang ini dengan menghindari paparan wabah virus corona yang belum berakhir pengaruh buruknya. Cobalah bangkit kembali untuk bekerja dari rumah dan jangan lupa melalaikan ibadah. Tetap jaga produktivitas meski di rumah dan jangan melupakan spiritualitas.
Syaikh Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hanbali (w. 795 H.) dalam Lathaif Al-Ma’arif mengatakan: “Mayoritas bentuk ketaatan (ibadah) yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat terdekatnya bukanlah banyaknya puasa dan sholat, melainkan kualitas baiknya hati, selamat dan kuatnya hati dalam bergantung kepada Allah Swt.”
Ibadah bukan terbatas pada gerakan secara langsung menghadap kepada-Nya. Usaha kita memenuhi kebutuhan keluarga, menjaga diri dan orang sekitar dari paparan wabah corona adalah termasuk bagian dalam ibadah menyelamatkan kehidupan bangsa. Menyelamatkan orang-orang untuk bersyukur kepada-Nya.
Tidak ada waktu tertentu yang menyebabkan kita kesulitan harta benda, namun yang ada kita malas berusaha. Di mana ada usaha, maka di situ ditemukan jalannya. Man jadda wajada. Semoga selalu dipermudah segala urusan kita. Aamiiin.