Ungkap Simbolisasi Tradisi ‘’Kupatan’’ Bagi Masyarakat Jawa

Ditulis Oleh: Sofian Andrian

Sumber Gambar: Getty Images/iStockphoto/asnidamarwani

Momen hari raya Idul Fitri selalu dihiasi dengan pernak-pernik yang selalu dinatikan. Tradisi mudik, bersilaturahmi, THR Ramadhan atau hari raya masih ada, bahkan lestari dan tak lekang oleh waktu. Karena bulan ini merupakan bulan kemenangan umat muslim setelah melakukan puasa Ramadhan selama se-bulan penuh untuk berjuang mengekang hawa nafsu. Pada momen lebaran kali ini, masih dihiasi dengan tradisi bersilaturahmi antar sesama, saling memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan-kesalahan yang telah lalu serta tak lupa dengan sajian ketupat yang menjadi simbolisasi perayaan Idul Fitri.

Tradisi “kupatan” (hari raya ketupat) murni berasal dari tradisi masyarakat Jawa, kemudian menjamur sebagai tradisi di Nusantara. Sebuah kearifan lokal yang dilakukan dalam menyambut hari raya Idul Fitri, sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas pemberian nikmat Tuhannya yang tiada batas. Kearifan lokal ini tidak ditemui di negara-negara lain.

Zastrow al-Ngatawi dalam ungkapannya, menyatakan bahwa “kupatan” merupakan sebuah bentuk sublimasi (perubahan ke arah satu tingkat lebih tinggi), yaitu sebuah proses tindakan atau perilaku yang dapat diterima secara sosial dan budaya, yang mungkin menghasilkan konversi jangka panjang dari sebelumnya. Namun, di sisi lain hampir tidak ditemukan narasi yang menerangkan lebih banyak tradisi tentang “kupatan” ini, dan semuanya murni melalui tutur cerita dari generasi ke generasi, imbuhnya. Nur Kholis Madjid juga menambahkan, budaya merupakan hasil teologis yang menjadi sebuah kebiasaan-kebiasaan individu, kemudian secara alami menjadi kebiasaan masyarakat.

“Kupatan” berasal dari istilah masyarakat Jawa Kupat, dan bahasa Indonesia menyebutnya Ketupat, yaitu sebuah makanan yang berasal dari beras dan dibungkus dengan janur (Red; Jawa), berbentuk segi-empat dan ditanak sampai matang. Tradisi ini tidak lepas dari peran serta salah satu Walisongo (Sunan Kalijaga) dalam mengaktualkannya. Tradisi ini telah lama ada dalam tradisi masyarakat Jawa, dan ketika Islam datang menjadi semacam akulturasi baru.

Sunan Kalijaga memperkenalkan kepada masyarakat Jawa dua momen besar di hari raya Idul Fitri. Pertama, hari raya Idul Fitri yang ditentukan oleh pemerintah dengan tradisi shalat Idul Fitri dan saling berkunjung ke rumah kerabat, tetangga dan selainnya. Kedua, hari raya kupatan (Jawa), tradisi semacam selametan di hari ke-6 setelah 1 Syawal, atau tepat tanggal 7 Syawal.

Demikian berlandaskan pedoman hadits:

عَنْ أَبِيْ أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُّمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Abu Ayyub al-Anshari bercerita bahwa Rasulullah Saw. bersabda: barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkan dengan puasa enam hari bulan Syawwal, maka puasanya seperti melakukan puasa setahun.” (HR. Bukhari Muslim)

Tradisi “kupatan” berbeda-beda di setiap wilayah di seluruh Indonesia. Ada yang membawa ketupat tersebut ke masjid, kemudian doa bersama dan dimakan bersama-sama di masjid. Ada juga yang dibagi-bagikan ke tetangga, atau kerabat sekitar. Begitupun menu pendamping ketupat yang bemacam-macam di setiap daerah, namun ciri khasnya adalah makanan yang berkuah santan (santen: Jawa). Kupatan juga kepanjangan dari “Kulo Lepat Nyuwun Pangapunten”.

Tradisi “kupatan” bermakna ngaku lepat atau mengakui kesalahan, sehingga ada rasa saling memaafkan, kupat dibuat dengan menggunakan janur “jatining nur” atau jaa nur (telah datangnya cahaya kemenangan), karena dahulu masyarakat pesisir menggunakan daun pohon kelapa untuk membungkus apapun. Pada masa itu para Walisongo memakai janur dengan makna sebuah cahaya yang datang dari Allah, sebagai salah satu alat untuk memperkenalkan Islam di lingkungan masyarakat Jawa.

Islam adalah agama yang santun, tidak membeda-bedakan strata sosial. Kemudian janur tadi dibentuk seperti anyaman yang melambangkan sebuah ikatan persaudaraan setelah hari raya Idul Fitri, dan diharapkan ikatan silaturahmi akan terus menerus ada sampai kelak.

Juga ada yang memaknai dengan anyaman janur yang rumit, melambangkan kehidupan manusia yang penuh dengan lika-liku, kadang melakukan kebenaran, juga melakukan kesalahan. Kupat yang diisi dengan beras, melambangkan banyaknya nafsu duniawi yang menghantui. ketika sudah matang, beras tersebut menjadi semacam lontong yang melambangkan bersihnya hati nurani setelah dihiasi dengan silaturhmi, tutur simbah kami.

Dilansir dari Asti Musman dalam bukunya “Filosofi Rumah Jawa”, bentuk segi-empat pada ketupat melambangkan jumlah empat nafsu dalam diri manusia, ini dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Sedulur Papat Limo Pancer” yaitu nafsu lawwamah (nafsu yang mengarahkan pada keserakahan), amarah (nafsu emosional), supiyah (nafsu untuk mengarahkan pada hal keindahan dan kesenangan) dan muthmainnah (nafsu yang mengarahkan pada keimanan.

Dengan demikian, kupatan merupakan sebuah tradisi yang dibungkus dengan ajaran Islami, sehingga tradisi semacam ini selalu diberkahi oleh Allah swt. dan semoga tradisi semacam ini terus menerus ada dan tidak tergerus oleh zaman yang serba modern ini. Semoga Bermanfaat. (And.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *