Ini, Mengapa Sanadnya Tidak Ditemukan Tetapi Diriwayatkan/dari Rasulullah Saw?

Ditulis Oleh: Ika Millatul Azka*

Bermula dari setiap hadis yang diriwayatkan oleh kaum sufi. Para pakar hadis banyak yang mengkritik periwayatan oleh mereka. Hal ini bagi para muhaddis (pakar hadis) dianggap, bahwa hadis yang diriwayatkan oleh para sufi tidak pernah diriwayatkan oleh Rasulullah sebab tidak ditemukan di kitab-kitab hadis. Contohnya, hadis yang mengulas tentang “mentalqin murid per-orangan”.

Lantas, apakah benar seperti itu?  Garis besarnya terbahaskan di sini. Syekh Abdul Wahab al-Sya’rani, pengarang kitab Anwarul Qudsiyah mengulas hal tersebut dengan jelas.  Ungkapnya: “Sudah diketahui, terkait sanad talqin (pengajaran dzikir) beserta sanad baiatnya adalah hal yang sudah umum/lumrah di kalangan ulama salafunan shaleh, ulama tasawuf dan ulama ahli thariqah meski tanpa ada penetapan dari ulama ahli hadits.”

Dari sini, kita cukup berhusnudzon (berbaik sangka) saja akan hal ini. Bahkan, Ibnu Hajar (pakar hadis), Jalaludin al-Suyuthi dan ulama lainnya yang membenarkan mereka berdua (Ibnu Hajar dan al-Suyuthi), mengakui atas penerimaan sanad syekh Hasan al-Bashri tentang dzikir dari Ali bin Abi Thalib. Semacam ini, tidak perlu dibilang “aneh” perihal bersambungnya sanad. Terkadang, keilmuan mereka (yang mengkritik) belum dapat menyamai ulama tasawuf (para sufi). Semoga, imam al-Suyuthi dan Ibnu Hajar disayang/dirahmati oleh Allah Swt atas pentasheh-annya terhadap sanad dzikir ini.” lanjut syekh Abdul Wahab.

Kemudian, mengapa hadis-hadis tersebut (yang diriwayatkan oleh para sufi) tidak ada dalam kitab induk hadis? Sudah dipahami dan seperti yang telah dijelaskan, para penulis kitab hadis  tidak menulis keseluruhan hadis yang dihafal oleh mereka. Contohnya imam al-Bukhari, ada 100.000 hadis shahih dan 100.000 hadis tidak shahih yang telah dihafal olehnya namun yang ditulis dalam kitabnya (Shahih Bukhari) ini hanya berjumlah 9000 hadis.

Alasan lain, karena seringkali para sufi yang mengarang sebuah karya dan mencantumkan hadis yang diriwayatkan oleh mereka, secara langsung disowankan ke hadapan Rasulullah Saw  untuk mengkorfirmasi kebenaran hadis tersebut. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh imam al-Ghazali dalam menulis kitab Ihya’ ‘Ulumiddin di menara masjid Damaskus.

Dalam keterangan lain, sanad dzikir syekh Ibn ‘Arabi justru berada di bawah baiatan nabi Khidir as. Sedangkan, jarak hidup mereka berdua bersenjangan ratusan tahun lamanya (dikatakan, nabi Khidir semasa dengan  nabi Musa). Dikisahkan, dibaiatnya Ibn ‘Arabi ini di depan Ka’bah. Mereka bertemu tidak secara fisik  (bukan naqli al-dhahir), dan ini dicontohkan Rasulullah Saw saat peristiwa Isra’ Mikraj. Rasulullah Saw bertemu nabi-nabi terdahulu di langit pertama dan ketujuh serta berdialog dengan beliau-beliau. Maka dengan ini, Ibn ‘Arabi berpegangan kepada nabi Khidir (sebagai gurunya) dalam hal sanad dzikir.

Perlu diketahui, silsilah thariqah Syekh Abd Wahab al-Sya’rani sendiri ialah Nabi Muhammad Saw – Ali bin Abi Thalib – Hasan al-Bashri – Habib al-‘Ajami – Dawun al-Tha’i – Ma’ruf al-Karkhi – Sari al-Saqathi – Junaid al-Baghdadi – Qadir Waem – Muhammad Hafif al-Syairazi – Abbal Abbas al-Nahawandi – Syekh Faraj al-Zanjani – Qadi Hajjwuddin – Abu Najib al-Suhrawardi – Syihabuddin al-Suhrawardi dan seterusnya.

Lanjut, syekh al-Sya’rani berkata “Saya juga berguru kepada sayyid Mahmud al-Sanawi. Beliau muridnya syekh Muhammad al-Sahrawi dan syekh Ali al-Mursifi. Lalu, syekh al-Sanawi tadi mengizini saya untuk mentalkin jamaahnya.” Demikian adalah silsilah sanadnya yang kedua.

Al-Sya’rani juga mempunyai sanad lain yang lebih dekat daripada kedua sanad tersebut. Dalam hal ini, al-Sya’rani berguru kepada Syekh al-Anshari dan seterusnya, hanya sampai dua guru saja. Dari silsilah ini, al-Sya’rani lebih dekat dengan Muhamad al-Sahrawi tapi ia tidak mengizinkan al-Sya’rani mentalkin kecuali Syaikh al-Asnawi. Al-Sya’rani juga mempunyai silsilah yang bersambung kepada Rasulullah Saw yang hanya melalui dua guru saja. Selisihnya ini dengan Rasulullah berjarak 1000 tahun. Artinya, al-Sya’rani berguru dengan Rasulullah Saw melalui alam ruhaniah.

            Demikian pula, sanad al-Sya’rani ini berasal dari syekh Ali al-Khawas lalu dari syekh Ibrahim al-Makbuli kemudian dari Rasulullah Saw. Syekh Ibrahim bukanlah seorang sahabat tapi ia telah bertemu dengan Rasulullah Saw tidak dalam keadaan tidur (sadar). Syekh Ibrahim bertemu dengan Rasulullah Saw secara tatap muka dan belajar dengannya. Hal ini seperti yang dikenal di kalangan ulama tasawuf (baca: para sufi) dengan “secara ruhaniyyah”.

Syekh Ali Khawas (800 H) sendiri sebelum wafatnya, pernah belajar secara langsung dengan Rasulullah Saw hingga dibaiat, sebagaimana ketika ia belajar kepada gurunya. Demikian adalah silsilahnya dengan Rasulullah Saw yang hanya terpaut seorang guru. Ketika di Mesir, ia menjadi salah satu murid yang melakukan hal semacam ini. Seperti halnya yang telah dijelaskan dalam kitab karangannya, yaitu Minan wa Akhlak fi ‘Ahdi Muhammad. Wallahu A’lam.

Waktu: 17 April 2021

Pengaji: Ustadz, Dr. H. Rosidi, M.Fil.I

Kitab: Anwarul Qudsiyyah

*Mahasantriwati Ma’had Aly Al Fithrah, semester 2.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *