Pentingnya Ke-Ridhaan dalam Menghadapi Tragedi Kehidupan

Ditulis Oleh: Huda Muttaqin*

http://rois-febunila.blogspot.com/2016/02/tuntunan-islam-dalam-menghadapi-cobaan.html

Dalam menghadapi kehidupan di dunia, seseorang pastinya akan mengalami yang namanya “cobaan”. Seperti halnya musibah yang menimpa atas diri dan hartanya, ketidak-nyamanan hati (Jawa: rupek), kemiskinan dan lain sebagainya. Terkadang kita sudah berupaya dengan susah payah, namun ternyata sesuatu yang dihasilkan tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

Tidak banyak yang tatkala mendapatkan ujian, ia langsung bersabar. Bahkan parahnya lagi, ia nekat mengakhirinya dengan bunuh diri. Berdasarkan data dari kementrian kesehatan Republik Indonesia bahwa jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 kematian per tahun atau 1 kematian setiap 40 detik. Bunuh diri merupakan penyebab kematian  nomor dua pada kalangan berumur 15-29 tahun dan 79% terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. (kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Ujian juga tidak melulu berupa sesuatu yang kita benci, namun hal-hal yang kita anggap sebagai suatu yang mengasyikkan ternyata juga termasuk ujian. Karena kesemuanya tidak lepas dari pertanggungjawaban kelak di akhirat. Maka dari itu, diperlukan upaya yang dapat meredakan rasa gelisah, dan hal itu dapat teratasi dengan sikap yang salah-satunya ialah menerapkan ke“ridha”an dalam diri.

Ridha sendiri adalah ketiadaan ingkar terhadap sesuatau yang telah digariskan oleh Allah SWT, dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa semua adalah kehendak-Nya. Perlu diketahui, setiap kesusahan yang dialami sesorang, sejatinya disebabkan karena keingkarannya atau ketidak-terimaannya terhadap apa yang telah ditakdirkan.

Mula-mula, sikap yang harus dibangun dalam menghadapi problematika kehidupan adalah mengetahui dan meyakini bahwa Allah-lah yang memberikan petunjuk dan yang menyesatkan, yang mencelakakan dan yang menyelamatkan, yang mendekatkan dan yang menjauhkan, yang memberi dan yang mencegah, yang menjaga dan yang menghilangkan, yang memberikan bahaya dan yang memberikan manfaat. Lantas setelah semuanya ini dimengerti, ia tidak akan berpaling atau bahkan ingkar sebab semuanya adalah kehendak Allah Sang Pencipta.

Secara lebih dalam, ridha terbagi menjadi dua. Pertama, ridha terhadap segala yang sesuai dengan kenginan. Seperi sehat dan kaya. Semacam ini tentu tidak membangkitkan rasa marah/ketidakterimaan terhadap diri kita. Hanya saja, ketika ada orang lain yang terlihat lebih dominan dari kita, perasaan tersebut akan muncul. Dalam keadaan ini, seseorang hendaknya sekaligus ridha atas rezeki (baca; pembagian) yang digariskan oleh Allah, serta menyadari akan kekuasaan-Nya yang lebih mengerti (baik-buruknya) dalam menentukan hal tersebut.

Kedua, ridha terhadap sesuatu yang sebaliknya (di atas). Seperti sakit, kemiskinan dan bencana. Untuk menghadapi keadaan ini, tidak seharusnya merasa bosan atau berkeluh-kesah dengan hal itu. Akan tetapi, yang dilakukan ialah sikap rela dan pasrah atas semua yang terjadi. Jika belum mampu, maka solusinya adalah bersabar dan berharap kepada Allah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

اعْبُدِ اللهَ تَعَالى بِالرِّضَا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرٌ كَثِيْرٌ

Sembahlah Allah dengan penuh keridhaan, apabila kamu tidak mampu maka bersabar atas apa yang tidak kamu sukai, karena di situ terdapat kebaikan yang banyak.

Ingat! ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang shalih bukanlah bertujuan untuk membuatnya hina, melainkan untuk menjadikan derajatnya meningkat. Nabi Saw dalam sabdanya pernah berpesan akan hal tersebut. Kiranya, pesan ini berbunyi: “Tidaklah seorang muslim terkena duri, atau lebih dari itu, kecuali Allah mengangkat baginya satu derajat dan menghapuskan darinya satu dosa” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jika semua yang di atas sudah dimengerti dan disadari, tentunya kita tidak mudah untuk marah ataupun berkeluh-kesah atas ketentuan (qadla’) Allah. Justru sebaliknya, yaitu berbaik sangka (husnudzan) pada-Nya, mengemtbalikan segala yang dialami kepada-Nya dengan merasa penuh kehinaan/ketidak-mampuan diri (Jawa: apes), dan senantiasa memuji kepada-Nya baik dalam kedaan susah maupun senang.

وَإِنْ تَرْضَى بِالْمَقْسُوْمِ عِشْتَ مُنَعَّمَا#وَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرْضَى بِهِ عِشْتَ فِي الْحزن

Jika kamu ridha dengan apa yang telah dibagikan, maka kamu hidup dalam kenikmatan. Dan jika kamu tidak ridha dengan  apa yang telah dibagikan, maka kamu akan hidup dalam kesedihan.

Sya’ir di atas mengajarkan kita bahwa hidup bukan terukur dari mana ia punya dan dari mana ia mendominan, atau sebaliknya. Namun, kebahagiaan/ketentraman dalam kehidupan tercipta dari bagaimana kita menyikapi hidup? Mudahnya, “hidup tak perlu diperumit tapi dibuat gampang” adalah sekian percikan kata yang menggambarkan pola ridha dan menerima apa adanya.

*Mahasantri Ma’had Aly Al Fithrah semester 2. Asal Pekalongan.

Sumber: Qul Hadzihis Sabili, Risalat al-Mu’awanah, Nataijul Afkar.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *