Urgensitas dari Keterlibatan “Amaliah Mutih” dalam Berpuasa | Puasa Mutih
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin dan Fitriata Rohmatun

Dalam ranah berthoriqoh, pokok dasar ajarannya terdiri dari empat, yaitu menyedikitkan makan, tidak bergaul kecuali jika ada kepentingan, bangun malam dan sedikit berbicara. Untuk tercapainya keempat dasar ini ialah tidak lain dengan menahan rasa lapar atau menyedikitkan makan. Sebab dengan sedikit makan secara reflex seseorang akan dapat mengontrol hawa nafsunya agar mudah bangun malam, menghindar dari perkumpulan dan tidak banyak berbicara.
Seperti yang telah diketahui bersama, tradisi thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) menerapkan rutinitas amaliah “mutih”. Sebuah ritual amaliah yang mentradisi untuk dilakukan di akhir bulan Sya’ban dan berlangsung selama se-bulan Ramadlan penuh. Amaliah ini menjadi salah satu ciri khas thoriqoh tersebut, sebagaimana yang telah dipraktikkan dan diajarkan oleh KH. Achmad Asrori al-Ishaqi sebagai mursyidnya yang berpusat di Surabaya.
Mutih sendiri merupakan suatu amaliah yang tidak memperkenankan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang berasal dari makhluk bernyawa, atau salah satu bahan pembuatannya (komposisinya) terbuat dari unsur hewani. Perintah mutih dari guru mursyid (sebagai amaliah thoriqah) kepada para muridnya ini bertujuan agar mereka senantiasa berriyadhoh (melatih-diri), mujahadah (bersungguh-sungguh) dan taqlilut tho’am (menyedikitkan makan).
Sehingga dengan perut kosong, hati/qalbu akan menjadi bersih, dan lebih fokus/kontak dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Di samping itu, mereka akan terbiasa agar tidak selalu memikirkan urusan-urusan perut yang muaranya pada kesenangan/kelezatan hawa nafsu dan syahwat, yang hingga akhirnya hati ini akan berubah petang dan gelap. Maka, perintah mutih lebih bermaksud pada sisi kesempuranaan bagi para murid. Bahkan jika puasa mutih ini dapat mendatangkan sebuah kemanfaatan namun di kemudian murid tersebut meninggalkannya, maka ia termasuk melakukan su’ul adab (adab yang buruk).
Dalam lingkar TQN Utsmaniyyah yang berada di bawah bimbingan Kiai Asrori, pelaksanaan mutih bagi muridin (baca; kaum laki-laki yang telah berbai’at) dimulai dari tanggal 21 Sya’ban dan muridat (baca; kaum perempuan yang telah berbai’at) mulai tanggal 1 Ramadhan, sampai pada akhir bulan Ramadlan. Serta, harus membaca tiga macam sholawat (Habibil Mahbub, Thibbil Qulub dan Qod Dloqot) masing-masing sebanyak 100 kali untuk satu malam.
Membaca sholawat ini berlangsung dilakukan pada se-bulan Ramadlan penuh di setiap malamnya, kecuali pada malam Jum’at. Karena selain untuk mendapatkan dispensasi boleh makan dan minum bebas (semua jenis), namun konsekuensinya ialah mengganti dengan membaca sholawat sebanyak 1000 kali untuk masing-masing tiga sholawat tersebut.
Puasa mutih (ringkas kami) tidak hanya berlaku di kalangan pada murid TQN Utsmaniyyah, akan tetapi para santri di pondok Assalafi Al Fithrah Surabaya juga diajarkan. Sebab mulai tanggal yang telah ditentukan, (dapur) pesantren ini tidak menyediakan makanan dan minuman kecuali berupa mutih. Hal ini yang terlihat bahwa mutih di Al Fithrah adalah sebuah amaliah sekaligus tradisi. Amaliah-amaliah ini memang dimaksudkan untuk memperbaiki urusan ruhani dan jasmani. Hal-hal yang berupa ruhani dapat diatasi melalui membaca sholawat, lalu jasmani dengan menahan lapar tadi (mutih).
Kenapa harus puasa mutih, dan bukan puasa pada umumnya? Bukankah puasa yang seperti biasanya sudah cukup untuk bertujuan mengontrol hawa nafsu? Ternyata, antara keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Penerapan puasa mutih memiliki implementasi yang bernilai seirama dengan Mautul Ikhtiari (mematikan dan mengendalikan nafsu), sebuah konsep maqamat yang digagas oleh KH. Achmad Asrori al-Ishaqi.
Adanya ritual mutih dalam ajaran TQN ini bermanfaat agar orang-orang tatkala berbuka puasa sekaligus, tidak merasakan kenyang dan menikmati kelezatan makanan dan minuman. Apalagi, menjadikan momentum Ramadlan (saat-saat berbuka) untuk menikmati makanan yang tidak pernah dijumpainya pada selain bulan tersebut adalah sebuah kebiasaan dan hal yang banyak dilakukan.
Sementara, perut yang semakin terisi makanan yang lezat dan terasa kenyang, akan semakin bertambah pula kekuatan syahwat sehingga kemalasan masih saja muncul dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Pula, sudah jelas dan kerap dilupakan bahwa tujuan puasa sendiri ialah lapar dan memecahkan gairah hawa nafsu sebagai bekal kekuatan untuk bertaqwa kepada-Nya.
Selaras dengan demikian, Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menguraikan bahwa termasuk kesempurnaan syarat puasa agar mencapai sirri-sirrinya ialah tidak memperbanyak makanan dan minuman yang halal ketika berbuka puasa. Sebab tidak ada bejana yang lebih menjadikan Allah Ta’ala murka daripada perut yang terlalu kenyang dengan makanan dan minuman yang halal. Seperti yang diketahui, puasa Ramadlan di pagi-siang hari seringkali hanya sebagai syarat-syaratan (baca; menggugurkan kewajiban), namun waktu berbuka oleh kita digunakan untuk ajang balas-dendam.
Selain itu, masih dalam konteks yang sama al-Ghazali menandaskan bahwa salah satu media untuk berriyadhoh dan mematahkan nafsu dan syahwat ialah dengan menentukan jenis makanan. Maka berpuasa tidak hanyalah sebuah upaya menahan lapar tapi juga perlu adanya upaya mengontrol porsi dan jenis makanan yang hendak dikonsumsi ketika berbuka, terutama yang terbuat dari unsur hewani.
Tradisi puasa mutih yang telah diamaliahkan oleh TQN Utsmaniyyah di bulan Ramadhan sebenarnya merupakan salah satu media penuntun dan pembimbing agar jiwa dan ruhaniyah murid lebih kuat dan sehat. Oleh karena komponen dalam diri manusia yang terdiri dari empat unsur (tanah, api, angin dan air), untuk dapat wushul kepada Allah tidak lain harus dengan cara mengalahkan empat komponen tersebut. Hal itu dapat melalui qillatul akli (sedikit makan), qillatun naum (sedikit tidur) dan sahrul layali (terjaga diwaktu malam).
Seorang murid yang sudah terbiasa melakukan aktivitas puasa mutih, akan lebih sempurna dalam berriyadhoh dan mujahadah dibandingkan dengan seseorang yang berpuasa seperti biasanya. Karena mereka yang berpuasa sekaligus menerapkan “mutih”, tentu akan lebih sedikit makannya. Sehingga nafsu akan mudah terkekang dan dikendalikan untuk tidak melakukan maksiat. Pula, dengan isi perut yang kosong, mereka akan lebih mudah bangun malam dan giat dalam beribadah.
Demikianlah amaliah “mutih” yang sudah dirutinitaskan oleh TQN Utsmaniyyah dan Pondok Assalafi Al Fithrah Surabaya. Meski hanya diterapkan di akhir bulan Sya’ban dan Ramadlan, amaliah “mutih” ini memiliki banyak kemanfaatan dan tentu juga dimaksudkan agar berimplikasi pada bulan-bulan lainnya, terutama pada keseharian dalam beribadah dan menghamba kepada Allah Ta’ala.
Dikutip dari: Ihya’ ‘Ulumiddin, Anwarul Qudsiyyah, Surat Edaran amaliah TQN Utsmaniyyah bulan Ramadlan th. 2021, Wawancara Ust. Wahdi