Dialektika Kontroversi Para Pakar Tentang Filologis Terma Tasawuf

ditulis oleh: Iklilul Mukarrom

Sumber:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Egypt_painted_and_described_(1902)_(14763252415).jpg

Dalam khazanah keislaman, terdapat berbagai macam keilmuwan yang kerap memanjakan akal. Namun dari semua itu, al-Sarraj membagi keilmuwan Islam menjadi dua, yaitu: ilmu dzhahir dan bathin. Ilmu dzhahir adalah salah satu keilmuwan yang menyingkap tentang perbuatan yang melibatkan anggota lahir, seperti ibadah dan hukum Islam. Sedangkan ilmu batin adalah suatu disiplin keilmuwan yang menyingkap tentang perbuatan yang melibatkan hati, seperti ahwal dan maqamat. Ilmu batin ini merupakan ilmu ahli tasawuf (Al-Sarraj, 1960: 43-44).

Tasawuf sudah tidak asing lagi bagi dunia pesantren. Lagipula tasawuf juga merupakan salah satu fan keilmuan yang merakyat, solutif dan dinamis. Namun meski demikian, hanya segelintir yang faham akan makna linguistiknya. Bagaimanapun juga, memahami arti kata secara bahasa itu dinilai urgen untuk menjadi fasilitator dalam memahami esensinya. Sebagaimana pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kenal disini harus tahu namanya, kemudian wataknya dan pada akhirnya akan muncul rasa sayang.

Secara Filologis, Ahmad Lauh (2009: 34) menghimpun berbagai macam isme dari sufisme secara bahasa dalam kitabnya, yaitu:

Pertama, al-Shuffah (الصفة). Kata ini memiliki arti halaman teras masjid Rasulullah Saw di Madinah. Imigrasi dari kalangan faqir yang diusir dari tempat tinggalnya dan tidak memiliki keluarga, rumah serta harta apapun. Mereka mengungsi di bawah teras halaman masjid Rasulullah Saw di Madinah. Kemudian Rasulullah Saw mengijinkannya sampai mereka mampu untuk membangun tempat tinggal dan mampu untuk menghasilkan biaya kehidupan mereka (Ibnu Taimiyah, 1985: 15-16).

Konteks dari keterangan di atas memberikan pemahaman secara tersirat, bahwa signifikansi awal mula tasawuf muncul ialah dimulai dari bibit ajaran tentang al-Faqru, al-‘uzlah, al-Tajarrud dan al-Tawaakul, yang ditanamkan oleh Rasulullah Saw. Bukan memberikan pemahaman tekstualis dari makna yang tersurat, yang dituduhkan kaum mutashawwifah (tasawuf amatir), yang memahami akan sumber sufisme berawal dari kalangan orang-orang yang faqir miskin (baca: gembel).

Imigran yang mengungsi di bawah naungan masjid Rasulullah Saw di Madinah selalu menghadiri majelis dan mendapatkan bimbingan langsung tentang ilmu agama dari Rasulullah Saw. Mereka mencari nafkah untuk memenuhi keberlangsungan hidup tidak sebagai prioritasnya, hanya seperlunya saja. Ketika para pejuang Medan pertempuran keluar untuk berperang, mereka ikut berpartisipasi. Salah satu ahlu al-Shuffah dari kalangan pejuang Medan perang yang pemberani ialah Sa’ad bin Abi waqqash dan Abdullah bin Rawahah. Sedangkan dari kalangan fuqaha’ ialah Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Umar bin Khattab (Ahmad Lauh, vol. 1, 209: 34-35).

Namun, penisbatan seorang sufi pada kata al-Shuffah diklaim salah oleh Ibnu al-Jauzi. Karena penisbatan berkesan untuk menggunakan redaksi al-Shuffi bukan al-Shuufii (Ibnu al-Jauzy, 1998: 209).

Kedua, al-Shuufah (الصوفة), memiliki makna penjaga dari setiap aktivitas yang ada di rumah. Awal mula dari penisbatan ini ialah garis keturunan dari Al-Ghaus bin Murra bin Addi bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar yang turun temurun dalam menjaga Ka’bah di era jahiliah.

Dilansir oleh Ibnu Al-Jauzi dari Abd Al-Ghani bin Sa’id al-Hafidz yang bertanya tentang ‘sumber penisbatan sufisme’ terhadap Walid bin al-Qasim. Kemudian al-Qasim menjawabnya: “mereka adalah orang-orang di era jahiliyah yang dipanggil al-Shuufah dan terkenal dengan perilaku yang memprioritaskan urusannya dengan Allah dan bertempat tinggal di Ka’bah”. Barang siapa yang mengikuti jejak mereka, maka dikatakan sebagai al-Shuufiyyah. Tindak lampah mereka dikenal dengan generasi shuufah Al-Ghaus bin Murra (Ahmad Lauh, vol. 1, 2009: 35).

Meskipun dari aspek kebahasaan dapat dibenarkan, namun ada beberapa hal yang menjadikan penisbatan ini ditolak dan dikatakan lemah, yaitu:

  • Mereka (shuufah) tidak populer di kalangan orang-orang yang ahli ibadah.
  • Seandainya kata shuufah telah dikenal di era jahiliah, maka pastinya istilah ini sudah populer terpakai di era sahabat dan seterusnya.
  • Pada umumnya, orang-orang yang berbicara tentang sufisme tidak kenal dengan kabilah shuufah, dan mereka tidak setuju bila sufisme ini dinisbatkan pada kabilah jahiliyah yang eksistensinya dalam khazanah Islam tidak ada (Ibnu Taimiyah: 16).

Ketiga, Al-Shafaa’ (الصفاء), secara kebahasaan, berarti jernih.  Meski makna kebahasaan ini  sangat selaras dengan tendensi ajaran sufisme itu sendiri yang berupa menjernihkan hati, namun para ulama’sufi menolak bila sufisme secara etimologi merupakan kata turunan dari kata al-Shafaa’. Karena para sufi akan lebih diredaksikan dengan shafawii, shafaawii atau shafaa’ii, bukan shuufii (Ahmad Lauh, vol. 1, 209: 36).

Keempat, al-Shaff al-Awwal (الصف الاول). Kata ini dikarenakan kecenderingan eksesif dalam mendeskripsikan mereka yang memiliki spirit yang tinggi dinilai berada pada barisan terdepan di hadapan Allah. Hal ini berdasarkan korespondensi antara kata al-Shaff al-Awwal dengan al-Shafaa’ secara sebab-akibat, bahwa dampak dari seseorang yang memiliki kejernihan hati akan mengakibatkan ia berada di barisan depan. Karena barang siapa yang hatinya jernih maka Allah akan memuliakannya dan menjadikannya sebagai orang yang terpilih, artinya terpilih berada di barisan terdepan dibandingkan yang lain.

Statement ini masih dikatakan jauh dari kata benar, karena secara sisi kebahasaan tetap tidak dapat dibenarkan. Jika memang term tersebut, bukan malah menjadi al-Shuufii tapi al-Shaffi (As’ad Al-Sahmarani, 1987: 19).

Kelima, al-Suufiyah al-Yaunaaniyah (السوفية اليونانية). Menurut orang-orang yang berkepahaman ideologi filosofis dalam kitab Al-Shuduur al-Faidhii, Abu Rayhan Al-Bayruni (440 H), menyebut kata al-Shuufii itu diambil dari kata al-Suufii (menggunakan siin bukan shaad) yang merupakan bahasa Yunani, dan memiliki arti “hikmah” dan pelakunya disebut al-Suufiyyah yang memiliki arti hukamaa’ (orang-orang yang bijaksana).

Pada saat orang-orang Islam memiliki pemahaman yang sinergi dengan orang Yunani terkait orang-orang bijaksana yang diberi nama al-Suufiyyah, mereka (orang-orang Islam) melakukan distorsi bahasa yang awalnya menggunakan huruf siin kemudian menggunakan huruf shaad. Pendapat ini juga dikemukakan oleh aktifis dari kalangan orang-orang orientalis dan yang lainnya. Dari sini, berkesan bahwa pola pikir sufisme merupakan produk dari pola pikir filsafat Yunani.

Pendapat ini, oleh Ahmad Lauh (2009: 37)  tidak diklaim sebagai argument yang benar atau salah, karena tidak ada indikasi tertentu yang dapat meruntuhkan setiap perdebatan yang ada secara etimologis.

Tokoh-tokoh sufi, baik di era klasik maupun kontemporer banyak yang menisbatkan orang-orang sufi pada pakaian yang dikenakannya, yaitu al-Shauf (الصوف) kain wol. Salah satu dari tokoh klasik yang mengatakan seperti ini adalah Al-Sarraj Al-Thusi, Abu Thalib Al-Makki, Sahrawardi dan yang lainnya. Dari kalangan tokoh kontemporer seperti Dr. Zaki Mubarak dan Dr. Abdul Halim Mahmud. Dari kalangan ahlu Al-Sunnah seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah dan dari kalangan tokoh orientalis seperti Marcelius, Nicholas, Masignon dan Nauladkah (Ihsan Ilahi, 1986: 33).

Mayoritas tokoh sufi yang obsesif untuk menisbatkan sufi pada kata al-Shauf memberikan interpretasi bahwa mereka (sufi) termasuk orang-orang yang sangat memperhatikan kehidupan agar penuh dengan kesederhanaan, seperti pola hidup para pendeta, bahkan mereka (sufi) terkesan menyiksa atau menyengsarakan jiwa dan raganya, semata-mata dalam rangka ingin melakukan relasi dan koneksi kepada Allah dari cara hidupnya.

Penisbatan sufi terhadap kata al-Shuffah dan al-Shauf bagi Al-Kalabadi dianggap sebagai tendensi yang bersifat fisiologis. Karena secara lahiriah, mereka (sufi) meninggalkan dunia, menjauh dari tempat tinggalnya, mendatangi teman-teman karibnya, kemudian berkelana menyusuri berbagai negara, dan mereka membiarkan perutnya merasakan sakit kelaparan serta kurang perhatian terhadap tubuh mereka. Seperti itulah pola hidup orang sufi secara fisiologisnya (Abu Bakar, 1994: 5).

Dari aspek kebahasaan (lughawy), kata al-Shauf dapat dibenarkan jika manjadi penisbatan kaum sufi, dan dapat dibenarkan juga bila ditilik dari pola kehidupan mereka yang sangat sederhana. Meskipun demikian, perlu dikaji dan diperhatikan lagi. Peru diketahui, pakaian (wol) itu tidak memiliki nilai atau keutamaan (fadhiilah) tertentu yang dilegalkan oleh Allah dan Rasul-Nya mengalahkan pakaian-pakaian yang lainnya. Bahkan penisbatan sufi pada al-Shauf dipandang tidak rasional (‘aqlii) dan tidak prinsip (syar’ii). Karena hal ini kontradiktif dengan hadis dari sahabat Anas:

كان أحب الثياب إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم أن يلبسها الحبرة

Pakaian yang paling digemari oleh Rasulullah Saw adalah pakaian sejenis daster (hibrah)

Bahkan terdapat hadis yang spesifik meredaksikan sikap antipati Rasulullah terhadap pakaian wol karena memandang baunya yang tajam dan tidak sedap, yaitu hadis dari Siti Aisyah (Ismail Al-Dimasyqi, 1994, vol. 37: 107):

جعلت للنبي صلى الله عليه وآله وسلم  بردة سوداء من صوف، فلبسها فلما عرق وجد ريح صوف قذفها و كان يحب الريح الطيبة

Siti Aisyah membuatkan Rasulullah Saw sebuah selimut berwarna hitam yang terbuat dari kain wol, kemudian Rasulullah memakainya. Namun pada saat Rasulullah terasa berkeringat, ia jumpai bau yang keluar dari kain wol itu kurang sedap, kemudian ia menanggalkannya, karena ia tidak suka bau yang menyengat, melainkan gemar dengan bau yang harum

Berbeda dengan tokoh yang lain, oleh salah satu kelompok dari kalangan pemuka sufisme, isme tasawuf difahami sebagai nama yang bersifat non-derivarif dan menjadi identitas yang sudah akrab di kalangan umum. Salah satu tokoh yang melontarkan pernyataan ini adalah Al-Qusyairi, Al-Hajwiri dan Ibnu Khaldun.

Argument ini diklaim sebagai argument yang paling lemah. Karena sepanjang sejarah Islam, setiap nama golongan itu tidak ada yang bersifat statis atau non-derivatif.

Dari berbagai tinjauan etimologis, kata sufisme memiliki tujuh varian dalam asal muasal penisbatannya. Perbedaan etimologis ini menurut Ahmad Bahijat, setidaknya ada tiga kemungkinan atas munculnya variasi yang ada. Pertama, adakalanya tasawuf merupakan sirr atau rahasia yang tersembunyi. Kedua, adakalanya tasawuf merupakan pembahasan yang masih diperselisihkan (khilaafiyyah). Ketiga, adakalanya tasawuf memiliki aspek-aspek tertentu sehingga menimbulkan variatif.

Esensi dari seorang sufi itu memiliki madzhab yang tidak terbatasi oleh sistematika tertentu, sehingga dari berbagai pemikiran, penemuan dan pengalaman spiritual para guru dari kalangan sufisme yang berbeda-beda akan menimbulkan variatif. Tidak salah bila kata sufisme juga memiliki varian yang bermacam-macam juga seperti halnya dari esensi dari sufi itu sendiri (Ahmad Lauh, vol. 1: 39-40).

*Iklilul Mukarrom, Ketua UKM Billingual di Ma’had Aly Al Fithrah sekaligus Mahasantri aktif.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *