Epistemologi Tafsir: Melacak Validitas Tafsir Al-Ma’unah Karya KH. Abdul Hamid

Ditulis oleh: Tim Redaksi

Sumber: Pamflet 2 Mingguan

Kajian epistemologi pertama kali dikemukakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Dalam karyanya “Institute Of Metaphysics”, epistemologi merupakan bagian dari cabang ilmu filsafat yang secara garis besar dapat berarti sebuah penyelidikan asal-mula struktur pengetahuan, metode dan validitasnya. Bagi “Historiografi Filsafat Islam”, kajian epistemologi membentangkan tiga pokok persoalan dari obyek formal penelitian yang hendak dilakukan, meliputi pencarian sumber-sumber pengetahuan, bagaimana sifat dasar pengetahuan dan apakah pengetahuan tersebut valid.

Dalam dunia tafsir, epistemologi dapat digunakan sebagai pisau analisa dalam meneliti sumber-sumber pengetahuan atau rujukan oleh ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an, beserta metode-metode yang digunakan. Sehingga, dapat terlacak validitas pengetahuan/penafsiran tersebut.

Beralih pada sisi lain, tafsir Nusantara merupakan bagian dari produk yang lahir dari proses dialektika antara mufassir dengan realitas, lokalitas, dan budaya yang ada. Secara umum, produk-produk yang dihasilkan oleh mufassir memang beragam spesialis dan latar belakangnya. Di antaranya adalah karya mufassir yang bercorak isyāri, ijtimā’i dan sebagainya. Sehingga, produk-produk yang berada di khazanah kajian tafsir Nusantara sampai saat ini masih sangat menarik untuk dikaji.

Di antara beberapa karya tafsir ulama’ Nusantara yang cukup masyhūr ialah Faidh al-Rahman karya Mbah Soleh Daratyang kental akan corak isyarinya, atau karya daripada Quraish Shihab yang kental dengan corak pendekatan sosial dan kebahasaan.

Namun pada tulisan singkat ini, yang hendak dikaji ialah sebuah karya yang disusun oleh KH Abdul Hamid, cucu dari KH Munawwir, yang notabenenya dari kalangan pesantren. Kakeknya ini dikenal dengan pemegang poros sanad Al-Qur’an di Indonesia. Karya kiai Abdu Hamid yang dimaksud adalah kitab tafsir al-Ma’unah fī Tafsiri Surati al-Fatihah.

Kitab tafsir al-Ma’unah initerdiri dari 88 halaman yang di dalamnya terdapat 28 bab. Semua bab ituterkait penafsiran surat Al-Fatihah, yang diawali dengan dua kata pengantar dari KH. Ahmad Idris Marzuki dan KH Muhammad Bashari. Keduanya begitu mengapresiasi karya dari KH. Abdul Hamid, bahwa karya ini merupakan sebuah karya agung dan penting bagi para santri untuk mengetahuinya ketika hendak mendalami Al-Qur’an.

Bagian selanjutnya merupakan pendahuluan dari pengarang, atau kronologi tujuan KH. Abdul Hamid dalam mengarang kitab al-Ma’unah, yaitu ditujukan dalam rangka pengajaran kepada para santri pondok pesantren yang beliau asuh pada khususnya, dan seluruh umat Muslim pada umumnya. Mengingat pentingnya mengetahui keutamaan serta segala hal yang berkait dengan surat al-Fatihah.

Kemudian, kutipan lengkap surat Al-Fatihah. Ini layaknya tafsir-tafsir lain, ketika hendak menafsirkan sebuah ayat ataupun surat maka terlebih dahulu yang dituliskan ialah ayat atau surat yang hendak ditafsirkan. Dilanjutkan dengan penjelasan seputar ta’awwudh meliputi anjuran, bentuk bacaan, apakah termasuk dalam ayat Al-Qur’an atau tidak, cara membacanya, hingga pada hukum dan cara membacanya dalam shalat.

Setelah itu, hal-hal yang berkaitan dengan basmalah. Di bagian ini, yang diulas ialah seputar anjuran, apakah termasuk dalam ayat dari surat al-Fatihah atau tidak, cara membacanya, hingga pada hukum dan cara membaca basmalah dalam shalat.

Usai menyebutkan berbagai nama lain dari surat Al-Fatihah berserta uraian tentang sebagian keutamaan-keutamaannya yang terangkum di bagian ketujuh dan kedelapan, KH. Abdul Hamid mulai menafsirkan surat Al-Fatihah dengan menulisnya ke dalam beberapa bagian. Penafsirannya ini mula-mula dibuka dengan gaya-penafsiran secara terperinci, al-Tahlil al-Lafdhi. Kedua, Al-Fatihah ditafsirkan secara global, al-Ma’na al-Ijmali. Ketiga, ialah penafsiran setiap ayatnya, atau Lathaif al-Tafsir.

Pada bagian selanjutnya, juga dijelaskan tentang kontroversi terkait jumlah ayat surat Al-Fatihah, sekaligus tentang perbedaan Qira’at. Setelah ini, surat Al-Fatihah dibawanya ke dalam ruang hukum syari’a (FIqh). Ada beberapa aspek yang dijelaskan, yaitu pertama terkaitapakah basmalah termasuk bagiandari Al-Qur’an? Kedua, bagaimana hukum membaca basmalah dalam Shalat. Ketiga tentangkewajiban membaca Al-Fatihah dalam Shalat. Keempat terkait pandangan apakah ma’mumdiwajibkan membaca Al-Fatihah. Di samping merupakan penyaringan dari berbagai pandangan madzhab, juga dipaparkan perihal hikmah disyari’atkannnya surat Al-Fatihah.

Di bagian penutup, dijelaskan tentang keistimewaan surat Al-Fatihah berdasarkan beberapa hadis Nabi SAW. kiai Abdul Hamid dalam kitabnya ini memberikan pernyataan bahwa tidak lain hanyalah sebuah hasil penukilan dan penghimpunan dari beberapa ungakapan/riwayat para ulama.

Melalui analisa epistemologi, tentunya kitab al-Ma’unah hendak digiring pada persoalan validitas penafsiran. Sebagai kerangka/pemetaannya, persoalan validitas ini disesuaikan dengan teori kebenaran dalam filsafat ilmu. Di mana, meliputi teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatis.

Maka, berdasarkan teori koherensi, tidak ditemukan inkonsistensi metode yang disajikan dalam kitab al-Ma’unah ini, yaitu penyajiannya menggunakan metode tahlily. Hanya saja, ada beberapa bagian sekelumit yang ditafsiri oleh kiai Abdul Hamid secara ijmali. Namun, saat dijumpakan dengan diskursus metode tafsir, ada sedikit hal yang dibingungkan. Kitab al-Ma’unah ini secara keseluruhan merupakan mawdli’i (tematik ayat atau surat) bukan mawdlu’i (tematik pembahasan/tema), tetapi tafsir yang disajikan dalam kitab tersebut menggunakan tahlily.

Berdasarkan teori korespondensi, tidak ditemukan kontradiksi maupun pendapat yang menyimpang dari beberapa jumhur mufassir. Justru, tafsir al-Ma’ūnah sendiri menampilkan tafsiran Al-Fatihah secara konprehensif, meliputi perdebatan-perdebatan seputar tafsir Al-Fatihah. Penyajiannya ini sistematik secara deskriptif lalu komparatif antara interpretasi para penafsir.

Kemudian, secara pragmatis, tafsir al-Ma’ūnah ini berkontribusi dalam ranah bidang akademik. Karena tafsir ini merupakan khazanah baru dalam kajian tafsir Nusantara, juga dari sisi sosial tafsir al-Ma’ūnah berperan dalam meningkatkan semangat keberagamaan secara substansial dengan penafsiran Al-Fatihahnya yang merupakan bacaan wajib ketika shalat. Selain itu, banyak praktik-praktik keagamaan yang menggunakan surat Al-Fatihah.

Seperti yang dijelaskan, kitab ini hanyalah sebuah hasil penukilan, lebih tepatnya  banyak mengutip dari kitab tafsir Rawāi’u alBayān karya syekh Ali Al-Shabuni. Dari sini, apakah kitab ini masih disebut sebagai tafsir atau bukan? Demikian belum ditemukan jawabannya karena keterbatasan (wawasan) peserta kajian, namun yang pasti ialah bahwa KH. Abdul Hamid adalah pemikir tafsir. Secara garis besar, seorang pakar dalam kajian tafsir ada yang disebut dengan mufassir (penafsir) dan ada juga yang dibilang sebagai pemikir tafsir.

Semacam ini seolah-olah meruoakan upaya KH. Abdul Hamid untuk kembali ke dunia kepesantrenan, dengan corak tafsir al-Ma’unah-nya yang klasik. Betul saja, kronologi penyusunan kitab ini ialah berdasarkan atas kegelisahannya terhadap pesantran yang diasuhnya, yang terus saja mengaji kitab Fath al-Izar dan semacamnya di setiap  bulan Ramadlan. Lalu, kitab yang disusunnya ini diproyeksikan agar para santrinya lebih mengaji kitab tersebut di setiap Ramadlan sebagai ganti kitab yang tadi.

Dalam hal ini, kiai Abdul Hamid terlihat mengembalikan wawasan kepesantrenan melalui karyanya yang berbentuk klasik, meski lokasi pesantrennya berada di tengah-tengah Jogja yang dikenal dengan dinamika keilmuan modern dan barat. Menurut penyaksian pembicara sendiri, kiai Abdul Hamid sebenarnya pernah membaca dan kadang menelaah buku-buku modern yang berbahasa inggris.

Hal itu mengingatkan diri akan pemilahan dinamika keilmuan di Indonesia yang terbagi menjadi madzhb Timur Tengah dan Barat. Memang, jika meninjau dari penelusuran William C, terdapat dua domain yang senantiasa dilestarikan oleh para intelektual Islam dalam membangun epistemologi pengetahuan Islam selama berabad-abad. Pertama, domain nukilan seperti Fiqh, ilmu Kalam dan seterusnya. Kedua, domain intelektualitas/pengetauhan seperti tasawuf teoritis, filsafat Islam dan lain-lain.*

*Sumber: rumusan Kajian Literasi Antar Mahasantri (Kalam) Komunitas HIKAM

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *