Mystical Philosophy: Menyingkirkan Kejanggalan Terhadap Tuhan
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

Tak sepenuhnya keliru jika masih dirasa belum seutuhnya mendeterminasikan Allah Ta’ala sebagai “Tuhan”. Memang secara penelahaan, Tuhan terus saja menjadi misteri akan hakekatnya yang sulit terjangkau. Kita (manusia) hanya diberi porsi jangkauan (penglihatan, sentuhan dan seterusnya) secara indrawi. Padahal, syariat Islam telah memberikan kategorisasi status muttaqin (atau yang betul-betul mengikuti aturan syariat) adalah umat Islam yang telah mengaktualkan keimanannya terhadap keghaiban. Pernyataan ini kerap kita jumpai di permulaan surat Al-Baqarah, tepatnya ayat 2-3.
Bagi kita, Tuhan sendiri memanglah ghaib karena jangkauan manusia pada lumrahnya tidak dapat menggapainya. Namun, mereka yang berada di atas rata-rata (kaum sufi) secara signifikan menempatkan pengenalan-Tuhan ini pada tataran sebuah kewajiban bagi seorang hamba. Kewajiban ini diletakkannya di pertama kali. Sebab manusia sebagai makhluk (yang diciptakan) tidak boleh tidak untuk mengenal Tuhan (sebagai Pencipta). Kaum sufi menandaskan demikian berdasarkan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembahku.” (QS. Al-Dzariyaat: 56)
Bagi kaum sufi, liya’budun (menyembah-Ku)di sana berarti liya’rifun (mengenal-Ku). Sehingga, tidak sedikit kalangan sufi, seperti al-Junaid al-Baghdadi, Ruwaim dan Abdul Qadir al-Jilani menegaskan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh setiap ciptaan ialah lebih dulu untuk mengenal Sang Pencipta.
Boleh saja, kita mengartikan pengenalan-Tuhan di sini sebatas keyakinan atau beriman akan keberadaan-Nya. Tetapi, masih mungkinkah bentuk keimanan ini terealisasikan saat ini? Kita yang sekarang berada di era sekularistik ini telah banyak dihampakan dari jiwa spiritual. Manuisa modern atau sekuler – meminjam istilah Abdul Kadir Riyadi senantiasa terdorong untuk melakukan setiap tindakan tanpa adanya landasan agama, terutama spiritual. Akibatnya, jiwa keyakinan manusia sekarang tidak lebih berada pada keadaan ketidakstabilan, antara ingat kepada Tuhan atau tidak.
Hal di atas adalah sebuah kejanggalan (atau tanda tanya besar) bagi kita. Bagaimana untuk mendeterminasikan Allah Ta’ala sebagai “Tuhan”, sementara dia belum seutuhnya dikenal? Pula, bagaimana menyikapi interpretasi kaum sufi bahwa pengenalan terhadap-Nya adalah sebuah keharusan? Kejanggalan itu sebenarnya telah terjawab oleh empati Ibn ‘Arabi (tokoh sufi asal Andalus abad 12 M) dengan konsep-kuncinya yang berupa manifestasi-diri Tuhan, tajalli.
Agar lebih berkesan mudah untuk dipahami, menifestasi atau tajalli sendiri juga berarti pengejawantahan. Dengan kata lain, bagaimana Tuhan dalam kemutlakan-Nya dapat termanifestasi atau terdeterminasikan pada bentuk-bentuk yang semakin konkret. Kita yang berada pada dimensi konkret akan dapat merasakan ketuhanan-Allah Ta’ala, setelah mengaktualkan citra manifestasi yang dimaksud tersebut.
Meski ke-Esaan Allah Ta’ala dan ke-Tuhanan-Nya sudah cukup dengan meng-imani-Nya, namun seolah-olah kita di sini sedang diajak oleh Ibn ‘Arabi dalam mengkaji dunia-pemikirannya untuk meninggalkan upaya yang sia-sia. Kesia-siaan yang sekedar mengenal ke-Tuhanan-Nya secara non-manifestasi-Nya. Artinya, konsep-kuncinya Ibn ‘Arabi ini, di samping sudah dapat dikatakan mewujudkan keimanan terhadap Allah Ta’ala, pula akan lebih menampakkan nilai keagungan dan kebesaran-Nya sebagai “Tuhan” pada dimensi yang sekarang kita tingali (dunia).
Lalu, bagaimana caranya hal tersebut dapat terwujudkan? Setidaknya, dalam dunia-pemikiran Ibn ‘Arabi terdapat dua hal yang digaris-bawahi. Pertama, berupaya untuk mengenal diri sendiri sebagai manusia. Kedua, tidak hanya menganggap dunia adalah ilusi, namun juga memandang adanya nilai ilahi di sana.
Mengenai pengenalan-diri, kita sering dengar akan ungkapan dalam beberapa literatur sufisme yang berbunyi “siapa yang telah mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya”. Maksudnya di sana ialah bahwa dalam diri manusia ini sejatinya terhimpun nilai-nilai ilahiyyah (ketuhanan) yang saat ini sedang banyak tertimbun dan tertutup. Manusia yang secara legitimitas dinobatkan sebagai khalifah (wakil-Tuhan) bukan hanya untuk memelihara keberlangsungan alam semesta, melainkan juga ia menghimpun citra-Tuhan dalam dirinya.
Karenanya, al-Ghazali dalam Ihyanya menyebut orang-orang yang telah betul-betul mengenal-diri di atas adalah dia yang telah mewujudkan citra-Tuhan dalam dirinya, layaknya riwayat yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan nabi Adam sesuai surat al-Rahman.”
Arti mudahnya, kaum sufi akrab mengartikan uraian ini dengan takhalluq biakhlaqillah, atau berkarakter dengan karakter Allah. Merupakan sebuah puncak penghambaan, ialah para hamba Allah yang telah berkarakter sesuai karakter-Nya. Ringkasnya, jika Allah Ta’ala memiliki sifat welas dan maha memaafkan, maka seorang hendak meniru sifat-Nya sebagai manusia yang welas dan juga pemaaf. Dari sini, kita sering dengar dengan bahasa yang dimpi-impikan “Tuhan ada dalam dirimu”.
Tidak hanya spesies manusia, alam semesta pun memiliki posisi yang selaras. Alam juga memiliki peran untuk menampakkan tanda-pantulan manifestasi ke-Tuhanan Allah Ta’ala. Bagi Ibn ‘Arabi, pendeterminasian-Nya dapat teraktualkan pada layar manusia, sekaligus alam semesta. Sehingga, kedua entitas ini dibilang merupakan sebuah korespondensi atau manunggal untuk bersama-sama mendeterminasikan ke-Tuhanan Allah Ta’ala pada dimensi yang semakin konkret.
Demikian cukup jelas, untuk dapat menyingkirkan sebuah kejanggalan akan pengenalan yang tidak seutuhnya terhadap Tuhan, ialah dengan konsep-kuncinya Ibn ‘Arabi yang berupa manifestasi-diri Tuhan atau tajalli-Nya. Konsep ini menerapkan sebuah ihwal ontologisnya tentang seluruh ciptaan Tuhan, yang selanjutnya bagi yang mengkajinya akan tergiring pada persoalan ke-Tuhanan Allah Ta’ala.