Akar Teorisasi Mistisme Kaum Sufi: Pembacaan atas Tipologi Aliran Sufisme

Ditulis Oleh: Tim Redaktur

Sumber: Pamflet Kajian 2 Mingguan

Bagi para pengamat dan pengampu kajian tasawuf, barangkali sudah banyak tahu tentang adanya tipologi aliran atau madzhab dalam tasawuf. Madzhab sendiri adalah penggolongan suatu hukum atau aturan setingkat di bawah firqah. Menurut para ulama, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Istilah mazhab bisa dimasukkan ke dalam ruang lingkup dan disiplin ilmu apa pun, terkait segala sesuatu yang didapati adanya perbedaan.

Contohnya dalam dunia Fiqh, adanya madzhab Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyyah dan Hanafiyyah. Maka, madzhab yang dikehendaki dalam Tasawuf ini adalah sebuah aliran pemikiran atau prinsip pemikiran yang khas, bukan lebih diartikan dengan thariqah. Karena thariqah dalam perkembangannya lebih berarti sebuah  organisasi, bukan aliran.

Para pakar ilmu tasawuf pada umumnya membagi madzhab tasawuf menjadi tiga bagian, seperti Akhlaqi, Falsafi dan Amali. Ada yang mengklafisikasinya dengan Akhlaki, Sunni dan Falsafi. Ketiga macam Tasawuf ‎ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, menurut mereka pendekatan yang ‎digunakan dari ketiga macam Tasawuf ini berbeda.

Namun menurut al-Kalabadzy, madzhab dalam dunia Tasawuf hanyalah satu dan terdapat pemilahan. Anggapan yang menyatakan dalam tasawuf terdapat beberapa madzhab merupakan pola pikir yang menyamakan tasawuf dengan beberapa bidang ilmu nadhari, seperti ilmu kalam yang memiliki madzhab Asy’aryah, Mu’tazilah dan sebagainya dan Filsafat yang dijumpai adanya aliran Aristo, Plato dan selainnya.

Al-Kalabadzy mempertegas bahwa tasawuf merupakan pengalaman spiritual bukan ilmu yang bersifat ‘aqly dan naz{ary. Sehingga dalam dunia tasawuf, sebenarnya tidak terdapat beberapa madzhab maupun aliran yang berbeda. Karenanya, al-Kalabadzy menamai karyanya dengan sebutan al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf dengan sighat mufrad madzhab bukan jama’ madzaahib.

Jika diamati kembali, klasifikasi dalam tasawuf hanyalah berada pada tataran akademisi. Selain tasawuf juga diartikan dengan sebuah disiplin ilmu, mereka mengklasifikasinya sesuai corak dan pendekatan dalam ilmu tasawuf yang dianggap sebagai perbedaan dan pemetaan. Sehingga sah-sah saja, adanya perbedaan berdasarkan pendekatan dan coraknya yang menjadikan tasawuf terpetakan.

Contohnya, Tasawuf bercorak Akhlaqi yang dinilai berkonsentrasi pada perbaikan akhlak adalah yang kerap dikembangkan oleh ulama’ Shufi klasik. Berbeda dengan tasawuf yang bercorak Amali, pendekatan yang digunakan ialah pendekatan ‘amaliyah atau wirid yang selanjutnya mengambil bentuk thariqah. Tasawuf Amali berkonotasikan thariqah ini mempunyai aturan, prinsip dan sistem khusus.

Sedangkan tasawuf yang bercorak Falsafi merupakan tasawuf yang memadukan antara visi-mistis dan visi-rasio. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Corak dan ciri khas dalam Tasawuf ini ialah tercampurnya rasa (dzauq) dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan Tasawuf dan rasio lebih dekat dengan Filsafat. Sehingga, sering dijumpai dalam Tasawuf Falsafi penyusunan teori-teori wujud berlandaskan rasa. Tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

Selain faktor di atas, mungkin para akademisi kerap menilai kaum sufi dari sebuah karya-karya yang ditelurkan. Dan itu tidak pernah lepas dari keterpengaruhan kaum sufi yang mendorongnya untuk merumuskan jalan spiritual (tasawuf) sesuai kecenderungannya.

Hal ini boleh saja, karena tasawuf tidak hanya berbicara tentang sebatas amaliah saja. Banyak kaum sufi yang menelurkannya dalam sebuah karya yang begitu mengagumkan akan teori dan keilmuan di dalamnya, sehingga dipahami tasawuf juga dibawa oleh mereka menuju dermaga pengetahuan. Jika tasawuf hanya diartikan sebatas seremonial-ritual, mungkin bisa saja akan diasumsikan dengan konservatif.

Sejauh penelusuran, ada beberapa sufi yang dinilai falsafi berdasarkan tinjauan karya mereka, namun secara realitasnya mereka juga akhlaki, semisal Kiai Asrori. Begitu juga, al-Ghazali yang sering dinilai akhlaki atau juga sunni berdasarkan salah satu karyanya tapi ternyata jika melihat karyanya yang lain, ia juga falsafi. Maka, sebenarnya secara realitas, tipologi ini dapat terangkum sekaligus pada satu orang sufi. Pemetaan tersebut hanyalah berada pada tataran akademisi.

Menurut al-Ishaqi dalam al-Muntakhabat-nya, akar teorisasi ataupun narasi dari setiap karya yang ditelurkan oleh seorang sufi ialah penyesuaian terhadap situasi dan kondisi (ruang dan waktu). Bukan berarti semisal ada satu tokoh sufi dengan karakter karyanya yang khas dan karakteristiknya yang berbeda dengan karya-karya al-Ghazali dipahami bahwa tokoh sufi tersebut menentang (berlainan) dengan gagasan-pemikiran yang telah dinarasikan oleh al-Ghazali. Hal ini bagi al-Ishaqi, karakter teorisasi dan penarasian dalam sebuah karya ialah disesuaikan dengan orang-orang sekitar dan lingkungan.

Seperti, karya Ihya-nya al-Ghazali yang lebih banyak menaruh perhatian terhadap mujahadah (usaha dengan sungguh-sungguh) dan pembentukan akhlak mulia, karena karyanya ini disesuaikan orang-orang sekitarnya yang telah banyak terjerumus ke dalam kemaksiyatan dan godaan syahwat. Begitu-pun, karya Ibn ‘Arabi yang lebih berkarakter falsafi dan banyak menempatkan istilah-istilah filsafat di dalamnya, karena memang lingkungan di masa Ibn ‘Arabi telah menggapai kejayaan berkembang-pesat-nya pemikiran filsafat dan gagasan Yunani. Di samping itu, kefilsafatan karya-karya Ibn ‘Arabi yang mendalam dan tinggi ialah lantaran sebagian teorisasinya keluar tatkala dirinya dalam keadaan ketidaksadaran (ketidakhadiran) dan sebagian lain berupa istilah-istilah yang diletakkan oleh Ibn ‘Arabi sendiri dan hanya diketahui oleh orang-orang yang telah mendalami syari’at dan hakekat, akal dan naql.

Hal ini sebagaimana teori faktisitas (keterlemparan) dasein yang pernah diungkap oleh Heidegger. Seorang sufi telah menampakkan kemewaktuannya sesuai ruang dan waktu yang meliputinya. Sehingga menelurkan karya dari hasil teorisasinya untuk dapat dikonsumsi atau bahkan dibutuhkan oleh orang-orang sekitarnya.

Bagi al-Ishaqi pun, seseorang dalam menempuh perjalanan spiritual ataupun membenahi penyakit-penyakit (hati)nya, ia tidak dicukupkan hanya dengan mempelajari karya-karya para sufi masa lampau. Sebab, karya-karya mereka tentunya hanya diperuntukkan untuk masyarakat yang hidup di masa para penulis karya-karya tersebut. Karena itu,  di samping karya-karya seorang sufi senantiasa dinamis dengan ruang dan waktunya, juga seseorang tetap harus memerlukan seorang guru pembimbing (mursyid) dalam menuntunnya untuk mengarungi jalan spiritual (tasawuf).

Dari sini, dipahami bahwa akar teorisasi dalam tasawuf yang disesuaikan situasi dan kondisi merupakan salah satu faktor peneluran karya dengan karakteristiknya yang khas. Sehingga para akademisi memberikan tipologi aliran tanpa adanya tinjauan realitas. Lalu tasawuf yang dianggapnya sebagai ilmu nadhari (bukan pengalaman) mendorong para pengamatnya menklasifikasikan tasawuf seperti disiplin ilmu yang lain, yaitu berdasarkan tinjauan corak dan konsentrasi (pendekatan).

Sumber: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *