Psikoterapi dalam Dinamika Ritual Dzikir Shufiyah
Ditulis Oleh: Tim Redaktur
Tarekat sebagai pengamalan ilmu tasawuf berupa jalan yang ditempuh oleh hamba menuju kehadirat Allah Swt berjumlah banyak sekali, bahkan diumpamakan dengan jumlah dari seluruh hembusan nafas makhluk-Nya. Namun keragaman jalan yang ditempuh ini tidak merubah tujuan yang menjadi satu-satunya puncak yang diharapkan, makrifat atau kedekatan dengan-Nya.
Tarekat sebagai jalan tempuh salik (penempuh jalan tasawuf) memiliki komponen pokok (‘umdah) yang sama, yakni dzikir. Bahkan, dzikir dapat dikatakan sebagai tips untuk memperoleh kewalian (penjagaan) dari Allah Swt, sebagaimana tips untuk menguasai dunia melalui bekerja. Maka, semakin kokoh dan teguhnya dzikir yang terlaksana, akan semakin dekat pada tingkat kewalian. Sebaliknya, semakin dzikir terlepas dari diri seorang hamba, maka akan semakin terpisah dari tingkat kewalian.
Di dunia psikoterapi, dzikir merupakan salah satu objek yang sedang banyak diteliti dalam pegaruh terapeutiknya, baik itu dzikir tarekat secara khusus ataupun dzikir secara umum yang dikenal masyarakat. Artinya, dzikir sedang diperbincangkan sebagai mediator psikoterapi dengan pendekatan religious, atau menerapkan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits.
Ternyata, dzikir dapat disenyatakan sebagai mediator psikoterapi. Pada dzikir terdapat proses preventiasi, kuratisasi, dan rekontruksisasi-rehabilitatif. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam adalah agama yang kaffah yang secara holistik mengatur dan membentuk pranata sosial dengan sangat telaten dan berdaya guna bagi kemaslahatan umat manusia seutuhnya.
Psikoterapi sendiri adalah percakapan dengan tujuan terapi. “A conversation with a therapeutic purpose”, yang di dalamnya melibatkan interaksi antara dua orang untuk saling memahami dan memenuhi suatu tujuan yang memberikan manfaat besar bagi pihak yang sedang mengeluhkan permasalahan. “[A] situation in which two people interact and try to come to an understanding of one another, with the specific goal of accomplishing something beneficial for the complaining person” (Bruch, 1981).
Derifasi kata “psikoterapi” berasal dari gabungan 2 (dua) kata bahasa yakni “psyche” yang berarti jiwa dan “therapeia ” yang berarti jiwa. Fan ilmu ini berakar pada fan ilmu psikologi yang mengambah keilmuan terkait kejiwaan secara lebih luas, namun untuk pembahasan lebih mengerucut psikoterapi sering dikaitkan dengan psikologi klinis sebagai salah satu cabang keilmuan psikologi yang mempelajari ilmu tentang kejiwaan yang memiliki fokus tujuan pengobatan.
Perkembangan manusia dalam kehidupan sosial menciptakan keragaman yang kemudian menuntut penyesuaian dalam penanganannya, termasuk teknik-teknik yang digunakan dalam psikoterapi. Hal itu terus dikembangkan berdasarkan teori-teori maupun pendekatan yang ditemukan dan dikembangkan. Perkembangan teknik dalam psikoterapi bukan bertujuan untuk membuktikan apakah suatu teori itu “benar” atau “salah”, karena setiap teori menawarkan kontribusi yang unik untuk memahami tingkah laku manusia. Artinya, menerima kelayakan satu bentuk penerapan teknik psikoterapi bukan berarti menolak kebenaran dan kelayakan bentuk teknik yang lain, termasuk dengan menggunakan mediator zikir.
Perihal dzikir jika ditelisik lebih dalam atau tepatnya dalam dimensi tasawuf, memiliki keterkaitan dan implikasi terhadap kejiwaan manusia. Bahkan kaum sufi secara detail telah merumuskan organ-organ dalam manusia, yang tidak pernah diungkap secara biologis. Seperti hati sebagai potensi dasar, ruh sebagai sumber perilaku terpuji, nafs sebagai sumber perilaku buruk, akal sebagai pengisolir antara benar dan bathil, dan seterusnya. Beberapa titik sensitif ini adalah ruang kejiwaan/psikis yang kerap disinggung oleh psikologi.
Dzikir memiliki implikasi positif pada psikologi manusia, sebab menciptakan kesadaran yang dibangun oleh individu dari sebuah kelalaian (sebagai pembawaan manusia) serta mempererat hubungan kemanusiaan dengan Tuhannya. Sehingga selain itu, ia akan selalu merasa diawasi, dijaga dan dilindungi dengan ikatan cintanya terhadap Yang Disembah (Sang Pencipta). Pula, akhirnya perilaku, perasaan dan pikiran negatif akan tersingkirkan dan tidak lagi memiliki tempat singgah pada individu tersebut.
Dzikir sebagai self-control mampu memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan atas segala jaminan yang telah dijanjikan Allah Swt dan kebahagiaan yang orientasinya tidak terbatas pada materi duniawi akan tetapi juga mencakup kenikmatan ukhrawi. Hal ini pula yang telah dijanjikan Allah Swt dalam firman-Nya:
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“….Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d: 28)
Dan Surat al-Jumu’ah ayat 10:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“….dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
Memusatkan hati sebagai kontrol diri hanya kepada Allah semata bagaikan terapi penyembuhan yang dilakukan dari dalam, sebab ketepatan tindakan seseorang sangat bergantung dengan kualitas hati.
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
“ingatlah, sesungguhnya didalam hati terdapat segumpal darah, jika segumpal darah ini baik maka seluruh jasad menjadi baik dan jika segumpal darah itu rusak maka seluruh anggota jasadnya akan rusak, dan segumpal darah ini adalah hati.”
Hadis ini membagi hati menjadi dua tipe, yaitu hati yang sehat dan hati yang tidak sehat (rusak). Hati yang sehat adalah hati yang selamat dari segala hal yang dibenci Allah dan dipenuhi dengan rasa cinta kepada Allah, termasuk mencintai apa yang dicintai Allah Swt. dan membenci apa yang dibenci Allah Swt. Sebaliknya, hati yang tidak sehat (rusak) adalah hati yang condong terhadap hawa nafsu dan syahwatnya yang akan menyetir seluruh anggota tubuhnya kepada perbuatan-perbuatan menyimpang sebagaimana kehendak hawa nafsunya.
Kinerja dzikir ialah merelaksasi hati dari permasalahan-permasalahan dunia dengan mengalihkan dan mengistirahatkan hati sebagai setir utama manusia kepada dzat yang paling layak untuk memenuhi hati, yaitu Allah Swt. Artinya, dzikir bernilai sama dengan terapi relaksasi atau sebuah teknik yang berusaha mengurangi ketegangan dan tekanan psikologis. Sebaliknya, kelalaian untuk mengistirahatkan hati dengan zikir justru akan membawa seseorang kepada kerusakan, termasuk gangguan kesahatan mental.
Dapat disimpulkan bahwa sebagaimana teknik-teknik yang dikembangkan dalam psikoterapi untuk menangani kesehatan mental, dzikir mengandung proses preventiasi dengan mencegah kerusakan yang bersumber dari kelalaian, kuratisasi yang memberikan kesembuhan berupa ketenangan dan kebahagiaan, dan rekontruksisasi-rehabilitatif melalui olah hati sebagai pusat kendali manusia. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dzikir itu sendiri merupakan sebuah salah satu teknik dalam psikoterapi.
Oleh karena psikoterapi senantiasa mengalami perkembangandan penyesuaian berdasarkan teknik dan pendekatan yang ditemukan dan dikembangkan, dzikir ditempatkan sebagai sekian mediator yang ditemukan tadi. Pada perkembangannya, dzikir pula menempati posisi terapi dalam ruang psikologis manusia, dan tidak hanya didudukkan sebagai ritual keagamaan. Terutama, kaum sufi dengan beberapa teoritisasi dalam berbagai karya yang dihasilkannya secara luas memberikan kontribusi terhadap penanganan psikis manusia untuk mengembalikannya menuju ihwal dan keadaan yang lebih baik dan terpuji berdasarkan landasan-landasan syar’i (Islam).
Sumber: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM