Dialog Pemikiran Antar Teolog dan Tafsir Sufi Atas “Menjumpai Tuhan”

Ditulis Oleh: Tim Redaktur

Perihal “menjumpai, bertemu Tuhan” merupakan sekian perbincangan yang pernah diperdebatkan oleh kaum teolog. Polemik perbincangan mereka berkisar antara mungkin/dapat dan tidak/mustahil bertemu Tuhan. Kajian ini juga lebih spesifik diperbincangkan pada pembahasan lain yang memperdebatkan tentang “dapatkah melihat Allah Ta’ala?”. Selain persoalan tentang Tuhan adalah sebuah kajian yang hampir tidak lepas dari picu kepolemikan, juga memang persoalan ini ialah perbincangan signifikan dalam dunia ilmu Kalam atau teologi.

Perbincangan ini kerap berada di tengah perseteruan antara aliran Mu’tazilah dan Ahlussunnah. Tepatnya, diperdebatkan oleh Asy’ariyyah dan Mu’tazilah.  Perbincangan kedua aliran ini terkait “bertemu Tuhan atau bahkan melihat-Nya” menghasilkan dua pemahaman yang berlainan. Di mana, pada intinya melihat dan bertemu Tuhan adalah hal yang dimungkinkan menurut apa yang dipahami oleh Asy’ariyah. Sebaliknya, Mu’tazilah memahami hal itu sebagai suatu yang tidak sah dan bahkan mustahil.

Mu’tazilah yang alirannya sangat berprinsip pada konsep tanzih (penyucian),  memberikan tanggapannya dalam memahami “bertemu Tuhan dan bahkan melihat-Nya” dengan kemustahilan. Bagi aliran ini, fenomena tersebut dinilai mustahil dan tidak boleh terjadi. Sebab, jika bertemu ataupun melihat Tuhan terjadi, maka hal itu oleh mereka dibilang sebuah tindakan yang memperlakukan tajsim (penyerupaan dengan makhluk atau menjadikan berjisim)terhadap Tuhan. Seandainya hal itu terjadi, menurut Mu’tazilah seolah-olah Tuhan memiliki arah, tempat atau semacamya yang merupakan konsekuensi dan keterlibatan dari jangkauan “penglihatan”. Demikian-lah adalah mumtani’, tidak boleh dan tidak akan terjadi.

Dalam hal ini, Mu’tazilah pun melandasinya dengan logika maupun ayat-ayat Al-Qur’an. Tuhan adalah immateri, rohani dan bukan fisik (jisim), sehingga secara logis saja Tuhan tidak dapat diindra dan jangkau oleh penglihatan mata fisik. Kemudian, salah satu ayat Al-Qur’an yang dikutip Mu’tazilah sebagai landasannya ialah;

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)

Melalui kandungan ayat ini, Mu’tazilah memahami “bertemu Allah Ta’ala, bahkan melihat-Nya” adalah mustahil. Secara jelas-jelas dan eksplisit, ayat itu membunyikan kemustahilan menjangkau-Nya dengan penglihatan fisik. Pun, ayat ini dinilai umum dan mutlak sehingga tidak terbatas sampai kapan pun (bahkan di akhirat) Tuhan tidak dapat dijangkau menurut al-Qadli Abdul Jabbar, salah satu tokoh dalam aliran Mutazilah.

Sebaliknya, Asy’ariyah sepaham dengan mereka (Mu’tazilah). “Munjumpai Tuhan, bahkan melihat-Nya” dapat dimungkinkan bagi Asy’ariyah, terutama di akhirat nanti.  Dalam memahami ayat di atas pun, Asy’ariyah menegaskan hal itu diberlakukan di alam dunia, sementara di akhirat Tuhan dapat dijangkau oleh penglihatan dan ayat di atas tidak berimplikasi pada konteks ini. Selain itu, ayat ini juga dipahami oleh Abul Hasan al-Asy’ari (salah seorang tokoh Asy’ariyah) dengan arti bahwa Tuhan tidak dapat dilihat oleh orang-orang kafir.

Tidak hanya Mu’tazilah yang bersandingkan legitimasi kuat, Asy’ariyah pula memiliki landasan logika ataupun ayat-ayat Al-Qur’an untuk melandasi pemahaman alirannya. Argumentasi mereka menyatakan bahwa hanyalah yang tidak berwujud yang tidak dapat dilihat, sebaliknya justru dapat dilihat. Seperti yang diketahui, Allah Ta’ala memiliki wujud, bahkan wujud haqiqi (bukan majazi). Mengutip ayat-ayat Al-Qur’an pun, cukup banyak dijadikan landasan oleh Asy’ariyah. Seperti pola kata “liqa, ru’yah dan nadzrah”. Hanya saja, beberapa pola kata ini dita’wil atau ditafsiri dengan arti lain oleh Mu’tazilah yang orientasinya bahwa Tuhan tidak dapat dilihat ataupun dijumpai”. Salah satu ayat Al-Qur’an secara tegas berada di pemahaman Asy’ariyah ialah:

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46)

Lanjut pada literatur tafsir sufistik atau isyari, persoalan demikian masih diperdebatkan. Alih-alih, hal itu dilatarbelakangi oleh prinsip teologis yang mempengaruhi produk tafsir daripada seorang penafsir. Maka, produk tafsir yang dipengaruhi oleh prinsip teologis Mu’tazilah tentunya bersenjangan dengan produk tafsir berprinsip teologi Asy’ariyah.

Mudahnya, produk tafsir yang berpinsip pada teologi Asy’ariyah di sini ialah seperti yang diwakili oleh karya tafsir imam al-Qusyairi dengan judul Lathaif al-Isyarat. Sejauh penelusuran, al-Qusyairi dalam tafsirnya merumuskan perihal “bertemu Allah Ta’ala dan melihat-Nya” dengan dua tipe, yaitu di dunia dan di akhirat nanti. Dalam karya tafsirnya, bertemu Allah Ta’ala di dunia adalah secara majazi. Sedangkan di akhirat nanti, “menjumpai Tuhan” di sini dipahaminya secara haqiqi atau dapat dilihat dengan indra fisik secara jelas.

Proyeksi menjumpai Tuhan di dunia, oleh tafsir al-Qusyairi diletakkan sebagai penafsiran terhadap (QS. Al-Baqarah: 46), (QS. Al-Baqarah: 223, (QS. Al-Baqarah: 249) dan (QS. Hud: 29). Seperti halnya dalam penafsiran al-Qusyairi terhadap (QS. Al-Baqarah: 46), manusia yang dapat menjumpai Tuhan di sana dibunyikan dengan katagorisasi al-khasyi’in; orang-orang khusyu’, sehingga memberikan maksud bahwa pertemuan dengan-Nya di dunia ialah bertemu melalui dimensi hati atau qalb. Ringkasnya, berupa khudlur bi al-qalb (menghadirkan Allah Ta’ala dalam hati).

Lalu mengenai proyeksi di akhirat nanti, tafsir al-Qusyairi memberikan interpretasinya terhadap (QS. Al -‘Ankabut: 5) dan (QS. Al-Ahzab: 44). Dalam menafsiri (QS. Al -‘Ankabut: 5), al-Qusyairi menyatakan bahwa akan ada masa nantinya yang akan datang atau di akhirat, di mana dapat bertemu dengan Allah. Secara spesifik, masa akan datang diartikan dengan di surga kelak.

Mengenai pertemuan dengan Allah Ta’ala yang disinggung oleh al-Qusyairi dengan “penglihatan indra fisik”, dapat kita jumpai pada penafsiran al-Qusyairi terhadap (QS. Al-Ahzab: 44. Secara tegas, dinyatakan pertemuan di sana disertai dengan memandang. Pula, kata al-tahiyyah (ungkapan salam, berdialog dengan Tuhan) yang dibunyikan ayat tersebut menurut al-Qusyairi memrikan interpretasi terjadinya ru’yat al-bashar; melihat dengan mata fisik”. Hal  ini semua merupakan pertemuan yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya yang dipersilahkan (dalam ruang dialog dan melihat-Nya) dalam rangka mengabarkan ketinggian kedudukan dan ketetapan para hamba-Nya tersebut.

Menyinggung fenomena bertemu Tuhan secara haqiqi di dunia,al-Alusi dalam tafsirnya menanggapi bahwa seluruh umat manusia tidak dapat melihat Allah Ta’ala di dunia dengan mata fisik kecuali Nabi Muhammad SAW.

Namun, produk penafsiran al-Qusyairi di atas berlainan dengan produk penafsiran Syekh al-Zamakhsyari dengan karya tafsirnya “al-Kasyaf”. Memang, jika ditelusuri, ada beberapa pengaruh prinsip Mu’tazilah terhadap produk penafsiran al-Zamakhsyari ini. Sebagaimana dalam menafsirkan (QS. Al-Furqan: 21), dengan eksplisit al-Zamakhsyari menyatakan “sesungguhnya Allah tidak sah untuk dilihat”. Selain itu, (QS. Al-Qiyamah: 22-23) yang sekilas telah menggambarkan kemampuan manusia untuk melihat Allah Ta’ala di hari kiamat nanti, namun interpretasi al-Zamakhsyari tidak demikian. Ia cenderung mengartikan nadzirah (melihat) di sana dengan “al-tawaqqu’ wa al-raja; menanti atau mengharap”.

Polemik dalam persoalan ini memang tiada hentinya jika berada pada ruang dialog antara prinsip Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Seperti yang telah dijelaskan, bahkan polemk hingga tergiring pada ranah produk-produk tafsir Al-Qur’an. Antara mengenai “menjumpai” dan “melihat”, mungkin kesenjangan prinsip teologis antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah sangat jelas untuk ranah “melihat”, terutama di akhirat seperti yang dipahami oleh Asy’ariyah di atas. Namun, perihal “pertemuan secara majazi” yang dapat dipertemukan dengan sekian pemahaman Abdul Jabbar (tokoh Mu’tazilah), sehingga kiranya diperlukan sebuah diskusi lebih lanjut atau penelusuran yang lebih dalam lagi.

Tegas Abdul Jabbar, mengutip (skripsi “Melihat Allah dalam Pandangan Seorang Mu’tazilah: al-Qadli Abdul Jabbar” karya Ita Nurul Faizah, UIN Syarif Hidayatullah), liqa dalam (QS. Al-Baqarah: 46)tidak diartikan dengan “melihat”, tetapi penafsirannya membunyikan bahwa pertemuan tidak seharusnya mengundang penglihatan, sebagaimana orang buta yang bertemu namun tidak melihat. Hal ini sepertinya hampir sama dengan “pertemuan majazi” yang diwakili oleh al-Qusyairi sebagai teolog Asy’ariyah.  Kira-kira semacam inilah yang telah dirumuskan oleh tim redaktur Komunitas HIKAM dalam pertemuan kajian pekan kemarin yang masih mengundang kejanggalan-kejanggalan.

Sumber: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *