Introspeksi Diri, Selepas Wafatnya Al-Habib Thohir Bin Abdullah Al Kaff-Tegal
Ditulis Oleh: Muhammad Nurush Shobah

Pekan lalu, terjadinya fenomena mengejutkan bagi masyarakat Islam dari berbagai golongan. Berbagai media memberi kabar mengenai meninggalnya sosok ulama’ besar di Indonesia, yakni al-Habib Thahir bin Abdullah al-Kaff. Sosok ulama yang karismatik serta berjasa bagi kalangan masyarakat umum hingga pejabat pemerintah. Selain sebagai tokoh masyarakat, Habib Thahir bin Abdullah al-Kaff yang akrab disapa dengan sebutan Habib Thohir juga merupakan pendiri pondok pesantren Darul Hijrah yang bertempat di kediaman beliau, kota Tegal.
Disinyalirkan oleh setiap media, bahwa Habib Thahir wafat pada hari Kamis, malam Jum’at, 03 Desember 2020 pukul 20.01 WIB ketika berada di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Kejadian tersebut menggetarkan ribuan jama’ah yang mendengarnya. Merupakan kabar berita duka akan meninggalnya sosok ulama yang disegani oleh umat manusia.
Di samping itu, sosok Habib Thahir juga merupakan ulama’ sekaligus penasehat bagi para pejabat pemerintah dalam mengatur tatanan negara. Fenomena yang semacam ini dan akhir-akhir ini terus saja berdatangan justru menjadi sebuah musibah besar bagi umat Islam di dunia. Terdapat sebuah riwayat hadist yang menyatakan bahwa:
عن أبي الدرداء ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم :…… وموت العالم مصيبة لا تجبر ، وثلمة لا تسد ، ونجم طمس ، وموت قبيلة أيسر من موت عالم
Rasulullah SAW bersabdah: “meninggalnya seorang ‘alim merupakan sebuah bencana yang tidak dapat tergantikan, sebuah keretakan-kehancuran yang tidak dapat diperbaiki dan merupakan fenomena bintang yang memudar. Kematian atau meninggalnya satu kabilah tidak lebih memberatkan daripada kematian seorang ‘alim ”
Redaksi “’alim” yang dibunyikan di atas berarti seseorang yang ahli dalam bidang agama maupun di bidang umum. Walaupun hadist di atas dinilai dhoif, namun sebagian para pakar menyebut hadist tersebut termasuk hadist yang shohih–hasan. Konteks hadits tersebut mengabarkan bahwa kematian atau meninggalnya seorang ‘alim merupakan sebuah musibah tadi, sebab eksistensialis seorang ’alim adalah panutan bagi umat manusia..
Tetapi di sisi lain, dijelaskan setelah keberadaan seorang wali dipanggil oleh Allah SWT, maka seketika itu oleh-Nya akan digantikan dengan wali setelahnya yang sebanding bahkan lebih unggul daripada sepeninggal wali sebelumnya. Shaikh Abbas al-Murshi, murid daripada Shaikh Hasan al-Shadzili dalam menafsiri (QS. Al-Baqarah: 106) yang tentang nasikh-mansukh, membawanya pada konteks pergantian seorang wali dengan wali setelahnya:
“ tidaklah seorang wali yang kami cabut nyawanya atau kami jadikan lupa (manusia) kepadannya, kecuali kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”
Pada konteks ini, al-Habib Thahir sebagai ulama’ yang karismatik telah dipanggil oleh Allah SWT, namun apakah hal ini merupakan sebuah musibah atau sebagai ajang penantian akan datangnya sosok ulama yang sebanding dengan beliau? Sepertinya, konteks ini (tentang pergantian seorang wali) dirasa bertabrakan dengan konteks hadits sebelumnya.
Wali Allah merupakan pewaris (sesungguhnya) daripada Nabi Muhammad SAW. Karena bagi Rasulullah, warisan bukanlah harta maupun benda, melainkan Akhlaq al-Karimah (budi pekerti yang mulia) yang diwarisi oleh para Wali Allah, selain keilmuan-keahlian dalam bidang agama yang pula dibawa oleh mereka. Sebagai amanah yang diemban, maka mereka harus mensuri-tauladankannya kepada umat manusia. Sebagian ulama’ menyatakan, penerus Rasulullah SAW adalah para wali Allah atau ulama’ yang telah mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Hal ini telah dicontohkan oleh Habib Thahir al-Kaff. Pada setiap mauidhoh-nya, bahkan ia sering menyerukan kecintaan kepada Baginnda Rasulullah SAW.
Ketika para wali telah dipanggil oleh Allah SWT meninggalkan dunia serta ummat manusia, tentunya hal ini berarti akan matinya semesta dunia ini. Karena ajaran yang telah disampaikan oleh wali tersebut terutama akhlak yang mulia tadi telah usai dan hanya sebagai kenangan yang tersisa bagi umat manusia. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Kiai Miftahul Akhyar dalam ceramah-nya di sebuah acara “mautul ‘alim mautul ‘alam” yang berarti kematian seorang yang ‘alim sama dengan kematian alam. Dalam satu riwayat, “seandainya tidak ada ulama atau orang ‘alim, niscaya manusia layaknya hewan”
Dari sisi keilmuan, ilmu yang disimbolkan sebagai “cahaya” memberikan arti sebagai penyinar dunia. Ilmu lah yang dapat menghasilkan pengenalan diri kepada Allah SWT. Namun, ketika ilmu tersebut dicabut oleh Allah SWT di dunia maka dampaknya dunia akan gelap gulita seperti ruang kosong tanpa ada sinar dari cahaya lampu yang terang-benderang. Hal ini pula mengindikasikan bahwa kematian orang ‘alim merupakan sebuah musibah bagi umat yang masih membutuhkan penerangan-penverahan dalam diri mereka. Perasaan inilah yang sedang dialami oleh para jama’ah dari Habib Thohir al-Kaff pada suatu wawancaranya.
Sebagai hikmahnya, ketika telah wafatnya ulama pembawa ilmu, belum tentu di kemudian hari terdapat ulama yang hebat seperti Habib Thahir yang memiliki kapasistas yang sama dengan beliau. Tetapi mungkin juga muncul ulama-ulama yang barangkali di sisi-sisi yang lain memiliki kehebatan ilmu misalnya, amal. Karena itu, umat manusia tidak diperbolehkan pesimis, namun patut pula untuk bersedih.
Lalu, kapan datangnya penerus dari Habib Thahir al-Kaff yang akan muncul di permukaan umat manusia pada saat ini?
Tatkala seoarang wali telah meninggalkan dunia, bukan berarti dunia telah kehilangan secara keutuhannya. Karena, jika kekasih Allah SWT (wali) itu tidak ada maka dunia ini akan hancur serta tidak ada kehidupan di dunia (hari kiamat). Pada setiap waktu, wali di dunia pasti ada. Namun, keberadaannya tidak selalu tampak secara jelas oleh manusia, terutama di akhir zaman ini, Sebab kebanyakan pada akhir zaman para wali lebih memprioritaskan untuk tidak menampakkan kewaliannya kepada manusia. Hal ini yang disebut dengan wali mastur.
Wali mastur merupakan kebalikan dari wali masyhur yang artinya mereka yang memang kewaliannya ditampakkan oleh Allah SWT di dunia kepada manusia maupun di akhirat. Keberadaan wali mastur itu tidak mungkin bisa diketahui oleh manusia pada umumnya kecuali diketahui oleh wali itu juga.
Sebagaimana kisah Uwais al-Qarani sebagai salah satu tokoh yang kewaliannya dinilai mastur. Kehidupannya yang sederhana selama hidup bercampur bersama manusia lainnya, sehingga ia tidak diketahui oleh siapapun. Identitas kewalian Uwais al-Qarani tersebut diketahui ketika para shahabat diutus oleh Rasulullah SAW untuk memintakan doa kepada Uwais al-Qarani yang berada di sebuah desa yang terpencil. Hal itu menyebabkan identitas kewalian al-Qarani tampak pada masyarakat hingga ia memutuskan untuk dicabut nyawanya oleh Allah SWT.
Berpijak pada kisah di atas, maka keberadaan seorang wali Allah di akhis zaman memang menjadi hal yang sulit untuk diketahui. Sehingga, kita tidak diperbolehkan untuk menyikapi orang lain dengan menganggap bahwa orang yang berprilaku tidak sewajarnya menurut pandangan kita adalah hal yang buruk. Sebab boleh jadi, ia merupakan seorang kekasih Allah SWT.
Dengan demikian, harapan kami kepada pembaca untuk kembali flashback (muhasabah diri dan bertafakkur) pada setiap apa yang terjadi. Baik atas wafatnya seorang wali yang telah dipanggil oleh Allah SWT maupun keberadaan wali selanjutnya yang menggantikan posisi wali yang telah meninggal, sebagaimana berita atas wafatnya al-Habib Thahir bin Abdullah al-Kaff-Tegal. Sekarang ini, kita telah banyak ditampakkan dengan berbagai bencana di muka bumi. Semesta telah marah atas kemaksiyatan dan kedurhakaan kita sekaligus bersedih atas kematian-meninggalnya para ulama’ dan wali Allah SWT.
Semoga beliau, al-Habib Thahir bin Abdullah al-Kaff-Tegal dikumpulkan bersama dengan kekasih-kekasih Allah SWT (wali) hingga Rasulullah SAW. Aamiin. Untuk beliau, al-Faatihah.
Wallahu’alam
Sumber: radartegal.com, NU.Online, panturapost.com al-Hikam Ibn Atho’illah,
Amin Ya Allah; bernada keras serambi penuh kecemasan dan harapan kepada Allah, itulah kata-kata yang sering beliau ucapkan di sela-sela orasinya.