Maqamat-Ahwal Sufistik dalam Perbincangan Filsafat Ruang-Waktu
Ditulis Oleh: Tim Redaksi

Membicangkan tasawuf tidak jauh beda dengan mendiskusikan keadaan-lakon kaum sufi. Buah pemikiran mereka adalah hasil teorisasi pengalaman-spiritual mereka. Sehingga kesubjektif-an tasawuf dan karakteristiknya yang mistik mengundang berbagai sanggahan dari penganut rasionalisme untuk menyebutnya sebagai disiplin yang non-diskursif. Namun hal ini mulai luntur setelah bangkitnya sederetan kaum sufi yang pula berbakat dalam berfilsafat untuk mengemas pengalaman-spiritiual mereka dalam dunia ilmu pengetahuan.
Tidak mengherankan, jika di periode awal, yang dijumpainya hanyalah esensial tasawuf secara praktis dan belum dibuahkan sebagai disiplin ilmu. Salah-satu laku-sufi yang signifikan untuk diketahui ialah tentang maqamat dan ahwal. Hal atau ahwal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan atau keadaan tertentu. Ia secara maknawi datang pada qalbu tanpa disengaja dan tidak selamanya. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya (usaha), seperti bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap. Sedangkan maqam atau maqamat adalah tingkatan, artinya tingkatan seorang hamba di hadapan Allah Ta’ala, melalui ibadah-ibadah, mujahadah, riyadlah (latihan-latihan).
Tasawuf mulai dimasukkan dalam ruang ilmiah sejak kaum sufi mulai membukukan dan menuliskan pengalaman-spiritual mereka untuk dapat dipahami oleh kaum lainnya. Dikabarkan, kitab tasawuf yang pertama kali membeberkan ilmu tasawuf secara sistematis ialah Risalah-nya imam Qusyairi.
Lalu, lantaran maqamat dan ahwal merupakan pendakian dan pengalaman seorang sufi, maka pula memberikan kesan bahwa penyikapan tasawuf adalah melalui pengalaman-lelakon yang dirasa secara pribadi mengartikan bahwasannya tidak akan lepas dari dimensi ruang dan waktu. Kita sendiri saja tidak dapat menyangkal keseharian kita dari ruang dan waktu atau berada di luar lingkaran keduanya ini.
Dalam kajian ini, pula menjadikan konsep maqamat-ahwal sufistik tergiring dalam dunia filsafat. Ruang dan waktu sendiri merupakan salah cabang ilmu filsafat yang berada di sub-ordinasi kajian metafisika khusus atau tepatnya di kajian kosmologi. Dalam ruang filsafat, metafisika dipilah menjadi dua macam, metafika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum adalah nama lain dari ontologi, yang kerap disandingkan dengan tiga dasar filsafat (ontologis, epistemologi dan aksiologi). Sementara metafisika khusus meliputi kajian kosmologi, antropologi dan teologi-kefilsafatan.
Kiranya, tulisan singkat ini ditujukan untuk menggabungkan visi-rasio dan visi-mistik, melalui pembacaan maqamat-ahwal sufistik dalam teropong ruang dan waktu. Mungkin, masalah yang dapat ditelisik dalam tulisan ini ialah sebagaimana rumusan; apakah hakekat maqamat-ahwal sufistik? Apakah hakekat ruang dan waktu? dan bagaimana ruang-waktu dalam dimensi maqamat-ahwal sufistik?
Sejak dulu, para tokoh filsafat kuno hingga modern telah memperdebatkan perihal hakekat ruang-waktu. Bahkan tesis para filsuf tentang ruang dan waktu ini juga kerap dijumpakan dengan teori-teori ruang dan waktu yang dianut oleh para fisikawan. Mulai dari antara ruang dan waktu adalah berkelindan atau terpisahkan satu dari yang lain, hingga pada penentuan antara ruang-waktu sebagai linier atau sirkuler.
Jika yang dijadikan objek perbincangan di sini ialah maqamat dan ahwal sufistik, ruang dan waktu dalam dunia sufistik ialah berkelindan dan tidak terpisahkan, atau kita dapat menyebutnya dengan “ruang-waktu” tidak terpisahkan. Artinya, ruang dan waktu dalam maqamat-ahwal ini ialah tidak seperti yang dapat diruang-ruangkan (kilometer, misalnya) atau diwaktu-waktukan (tahun, misalnya). Alasannya ialah bahwa maqamat-ahwal sendiri merupakan sebuah gerak-lakon yang bersifat psikis, bukan energik sehingga tidak dapat diruang-ruangkan atau diwaktu-waktukan.
Jika ruang-waktu dalam dunia maqamat-ahwal adalah berkelindan layaknya filsafat, maka membicarakan waktu sama halnya membicarakan ruang sekaligus. Keduanya itu (ruang dan waktu) tidak terpisahkan. Maqamat-ahwal sufistik sendiri adalah gerak-lelakon yang tidak dapat diprediksikan melalui akal-nalar. Dalam hal ini, kita sekaligus dijumpakan dengan teori yang menempatkan ruang-waktu sebagai subjektif atau sebagai objektif.
Jika diamati lebih dalam, ruang-waktu menurut maqamat-ahwal adalah subjektif. Karena maqamat-ahwal bagi sufi adalah sebuah lelakon yang hanya dirasakan oleh masing-masing personal. Sehingga hal ini menyimpulkan ruang-waktu bagi kaum sufi ditempatkan sebagai subjek atau dalam diri manusia. Demikian adalah ruang-waktu yang pernah diketengahkan oleh Immanuel Kant. Ia menyebut kedua atribut ini sebagai konstruk mental Tidak sebagaimana teori tentang ruang-waktu yang ditempatkan sebagai objek atau materi di luar pikiran-intuisi manusia. Ringkasnya, ruang-waktu semacam ini ialah seperti jam, menit, kalender dan semacamnya.
Maka, ruang-waktu dalam dunia maqamat-ahwal sufistik adalah relatif, bukan absolut – teori yang dianut oleh Newton. Karena lelakon sufi yang individualis ini adalah bersifat relatif, nisbi mengikuti kerelatifan sang pelakon-praktisinya (baca: sufi) dan tidak kaku sebagaimana ruang-waktu dalam arti absolut atau substansi mutlak. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat-nya juz 4 mengakui kerelatifan ruang-waktu. Dalam pandangan sufistiknya, ruang-waktu tidak memiliki definisi permanen, dan ia mensama-hakikkan ruang-waktu dengan maqamat-ahwal yang hanya dapat diungkapkan sesuai sifat-keadaan yang dialami oleh seseorang.
Kerelatifan ruang-waktu maqamat dan ahwal telah menunjukan ketidak riil-annya. Sehingga pula memberikan simpulan, ruang-waktu bagi sufi ialah tidak eksis dan tidak mewujud dengan sendirinya. Bahkan ruang-waktu bagi sufi disama-hakikikan dengan sebuah keadaan. Hal ini mengutip salah satu pengakuan kaum sufi “jika kamu dalam keadaan sedih, maka waktumu adalah sedih”. Keadaan-lelakon sendiri adalah sebuah konstruk lahir dari pergerakan subjetifitas seseorang. Ia tidak memiliki ke-eksisan untuk sendirinya.
Maka, ruang-waktu dalam dimensi maqamat-ahwal sufistik lebih tepatnya diposisikan sebagai suatu yang sirkuler. Dalam arti, tidak terbatas dan terukur oleh masa lalu, sekarang dan masa depan. Meski ruang-waktu tersebut digambarkannya tidak riil – seperti yang diungkap Aristoteles, namun tidak sebagaimana hukum linier Aristotelian yang bersimpul secara garis-lurus (lampau, sekarang dan masa depan) dan tidak pula mengikuti hukum kausalitas. Terutama, sistem perhitungan ruang-waktu dalam maqamat dan ahwal ini tidak dapat dipastikan melalui sistem perhitungan seperti biasanya. Pula, jiwa atau qalb (menurut kaum sufi) yang merupakan penentu pergerakan-lakon seseorang adalah organ manusia yang bukan bersifat duniawi-jasad, atau tepatnya tidak seperti organ-organ manusia yang lainnya (seperti jantung,otak dan semacamnya).
Sumber: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM