“Kewalian” Perspektif KH. Hasyim Asy’ari, Rekonstruksi atau Dekonstruksi?
Ditulis Oleh: Tim Redaksi
Dalam tradisi masyarakat muslim Nusantara dikenal banyak sekali nama tokoh-tokoh yang dikeramatkan dan dianggap sebagai penyebar agama dalam suatu lingkup masyarakat tertentu. Makam mereka kerap diziarahi. Hikayat dan kisah tentang kemampuannya yang di atas rata-rata manusia normal beredar dari mulut ke mulut. Mereka diduga sebagai wali sebab kekeramatannya.
Klaim kewalian ini terus menerus berlaku menjadi tradisi yang subur di kalangan muslim Nusantara. Pengaruh animisme dan dinamisme yang mensakralkan sesuatu sebab kedigdayaannya masih belum hilang dari kepercayaan muslim Nusantara. Hal ini dikhawatirkan merujuk pada kultur individu sebagaimana berlaku dalam kalangan Syiah yang dikhawatirkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Secara detail, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari terkait kewalian dituangkannya dalam beberapa kitab yang ditulisnya. Di antaranya adalah: 1). Al-Durar al-Muntatsirah fi al-Masail al-Tis’a ‘Asharata yang berisikan jawaban atas 19 persoalan tasawuf dan tarekat, terutama yang berkaitan dengan sistem berguru-mursyid dan penisbatan kewalian, 2). Tamyiz al-Haqq min al-Bathil yang berupa tanggapan keras terhadap praktik mursyid yang dinilai menyimpang dan peringatan bagi para pengikutnya, dan 3). Al-Tibyan fi Nahyi ‘an Munqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan yang berisi peringatan dan anjuran KH. Hasyim Asy’ari bagi umat Islam agar selalu berkasih sayang dan menjalin hubungan harmonis dengan saling bersilaturrahmi, baik dengan berkirim surat maupun berkunjung.
Dalam Al-Tibyan-nya, KH. Hasyim Asy’ari mewanti-wanti umat muslim untuk berhati-hati terhadap klaim kewalian seseorang. Dalam pemaparannya ia bercerita pengalamannya:
“… Saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri adanya seorang ulama yang melakukan ijtihad dalam hal ibadah. Ia melakukan sholat sunah pada malam harinya dan berpuasa pada siang harinya. Tidak berbicara kecuali dalam kondisi mendesak, berulang kali melakukan ibadah haji, sehingga ia diangkat menjadi murshid Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Ia menghabiskan sebagian waktunya untuk menyendiri di rumah dan tidak keluar kecuali untuk mendirikan sholat berjamaah dan mengajarkan tata cara berdzikir. Suatu hari, ia keluar untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid dan marah-marah kepada seluruh jamaah yang hadir di masjid dan berkata sesuatu yang tidak pantas dan lalu segera pulang ke rumah kembali …”
Sikap kritis KH. Hasyim Asy’ari terhadap kewalian terlihat dari pertentangannya dengan seseorang yang menyatakan kewalian Syaikhona Kholil. Pertikaian antara KH. Hasyim Asy’ari dengan Kiai Romli Peterongan terkait kewalian Syaikhona Kholil tersebar luas di kalangan ulama Jawa Timur pada masanya. Kejadian ini menunjukkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari sangat menolak pemberian predikat atas kewalian seseorang.
Dalam permasalahan transendental semacam ini KH. Hasyim Asy’ari sangat prihatin dan berhati-hati. Sikap kehati-hatiannya tegas, apalagi terhadap orang-orang yang mengaku-aku sebagai wali. Ada tujuan mulia dari usaha yang dilakukan ini:
“Wajib bagi setiap orang Islam untuk tidak melakukan sesuatu kecuali telah mengetahui hukumnya. Dengan mengetahuinya sendiri melalui kitab-kitab yang diakui legalitasnya atau dengan bertanya kepada ahlinya. Tidak boleh hanya ikut-ikutan saja, seperti yang banyak dipraktikkan kebanyakan orang awam. Oleh karenanya saya menjelaskan perbedaan antara wali Allah Swt. yang benar dan yang palsu, serta penjelasan atas berbagai problem yang masih samar dalam bentuk soal jawab, agar saudara-saudara kaum muslimin bisa mempelajarinya, sehingga mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat dengan kemuliaan dan taufik-Nya”
Secara definitif, KH. Hasyim Asy’ari juga membicarakan tentang wali. Menurutnya, kata wali merupakan serapan dari bahasa Arab yang mengikuti wazan (padanan kata Arab) fa’il (subjek) yang mempunyai makna maf’ul (objek), sehingga arti kata wali adalah orang yang dijaga oleh Allah Swt. dari melakukan dosa besar maupun kecil serta tercegah dari menuruti hawa nafsunya walau hanya sebentar, sehingga ketika ia melakukan perbuatan dosa maka ia akan segera bertaubat kepada Allah Swt.
Makna kedua adalah bahwa wali ikut wazan fa’il mubalaghah (yang berlebihan), sehingga wali juga memiliki arti orang yang terus menerus melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. tanpa diselai dengan maksiat.
Sementara ini, wali dikenal sebagai orang-orang yang memiliki keistimewaan, suci dan keramat (memiliki kemampuan tak lazim), dan kebanyakan kita mengidentikan hal tersebut. KH. Hasyim Asy’ari kembali memberi peringatan akan pemahaman kurang tepat ini, dalam Tamyiz al-Haqq min al-Bathil:
فَإِذَا رَأَيْتَ مَنْ يَطِيْرُ فِي الْهَوَاءِ وَيَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ وَيُخْبِرُ بِالْمُغِيْبَاتِ وَيُخَالِفُ الشَّرْعَ بِارْتِكَابِ الْمُحَرَّمَاتِ بِغَيْرِ سَبَبٍ مُحَلَّلٍ اَوْ يَتْرُكُ الْوَاجِبَاتِ بِغَيْرِ سَبَبٍ مُجَوِّزٍ , فَاعْلَمْ أَنَّهُ شَيْطَانٌ نَصَبَهُ اللهُ فِتْنَةً لِلْجُهْلَةِ وَ خَلِيْفَةً عَنْ إِبْلِيْسٍ فَهُمْ قُطَّاعُ طَرِيْقِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَ اَعْدَاءُ اَوْلِيَاءِ اللهِ الدَّاعِيْنَ إِلَى رَشَادِهِ
“Jika engkau menyaksikan orang yang mampu terbang di langit dan berjalan di atas air serta mampu memberi kabar atas hal-hal gaib, akan tetapi ia tidak sesuai syariat dengan melakukan hal-hal yang diharamkan tanpa sabab yang menghalalkannya ataupun meninggalkan kewajiban dengan tanpa sebab yang membolehkannya, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah setan yang Allah pasang sebagai fitnah atau ujian bagi orang yang bodoh dan pengganti atas posisi iblis. Mereka adalah para pemutus jalan menuju Allah bagi para hamba dan musuh bagi pada wali yang sedang mengajak-ajak kepada kebaikan”
Setelah membeberkan ruang putih dari kontrapersepsi yang biasa terjadi dalam masyarakat, ia kembali memberi pencerahan dengan menukil pendapat al-Qushayri> dalam Risalah-nya, sebagai berikut:
يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ حَتَّى يَكُوْنَ وَلِيًّا فِيْ نَفْسِ الْأَمْرِ قِيَامُهُ بِحُقُوْقِ اللهِ تَعَالَى وَبِحُقُوْقِ عِبَادِهِ عَلَى الْإِسْتِقْصَاءِ وَالْإِسْتِيْفَاِء بِجَمِيْعِ مَا اُمِرَ بِه
Ungkapan al-Qushayri di atas kemudian diredaksijawakan dengan teks tulisan Arab pegon oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:
واجب اغتسي ولي سوفيا انا سافا ولي ايكو ولي تمنان إغدالم كهانانى فركرا ياايكو اوليهي جومنغى ولى كلوان حقى الله تعالى لن كلوان حقي كوولانى الله تعالى اغتسى غاتوكاكى لن اغتسى يمفورناأكى كلوان سكابيهانى براغكغ دي فرينتاهاكى
“Wajib bagi wali agar legal status kewaliannya untuk memenuhi hak-hak Allah Swt. dan hak-hak hamba-Nya dengan cara menampakkan dan menyempurnakan segala hal yang telah diperintahkan-Nya”
Klaim”kewalian” yang sangat diperhatikan dan diwanti-wanti oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Al-Durar al-Muntatsirah adalah karena memang banyak ditemuinya klaim wali hanya berdasar pada kapasitas ibadahnya yang over dibandingkan manusia pada umumnya dan sakti.
KH. Hasyim Asy’ari telah membuat tulisan-tulisan solutif atas permasalahan kriteria kewalian, kewajiban murid, syarat murshid dan banyak komposisi tarekat lainnya. Dalam Al-Durar al-Muntatsirah fi al-Mas’alat al-Tis’a Asyarata, ia memilih pendapat al-Qushayri terkait kriteria wali dalam Risalahnya:
وَمِنْ شَرْطِ الْوَلِي: أَنْ يَكُوْنَ مَحْفُوْظاً، كَمَا أَنَّ مِنْ شَرْطِ النَّبِيِّ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْماً
“Di antara syarat wali adalah terjaga dari berbuat dosa (mahfudz) sebagaimana persyaratan nabu haruslah seorang yang terjaga (ma’shum)”.
Antara para nabi dan para wali tentu memiliki perbedaan. Demikian disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari:
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْحِفْظِ وَالْعِصْمَةِ إِمْكَانُ الْمُخَالَفَةِ مَعَ الْوَصْفِ الْأَوَّلِ دُوْنَ الثَّانِيّ
“Perbedaan antara keterjagaan seorang wali (al-hifdz) dan keterjagaan nabi (al-‘ishmah) adalah adanya kemungkinan berseberangnya pada sifat yang pertama, namun tidak berlaku pada sifat keterjagaan nabi”, karena wali tidak memiliki kewenangan dijaga oleh Allah Swt. secara keseluruhan.
Lalu, apakah pemahaman KH. Hasyim Asy’ari terkait “kewalian” merupakan dekonstruksi atau rekonstruksi?
Mungkin diketahui, dekonstruksi adalah gagasan salah satu tokoh hermeneutik modern, Derrida. Dekonstruksi merupakan sebuah interpretasi yang mengandaikan hingga melahirkan intrepertasi yang bergerak tak terhingga. Penafsiran atau interpretasi ini bukan hanya karena makna primordial yang dipandang sulit untuk dicari dalam interpretasi, namun adanya ketidakmungkinan keherensi makna suatu teks.
Sesuai yang telah dibincangkan panjang-lebar, KH. Hasyim Asy’ari sepertinya hanya merekonstruksi pemahaman dan pendapat para sufi dahulu terkait kewalian. Namun olehnya, sekaligus mengintegrasikannya terhadap situasi yang sedang menyelimuti masa hidup masyarakat sekitarnya. Yai Hasyim tidak membuang atau-pun merubah makna dan redaksional teks yang dibicarakan para pendahulunya. Bahkan, ia berusaha menggali makna primordial “kewalian” yang seharusnya diketahui oleh orang-orang yang telah miring tentang pemahaman mereka.
Sikapnya yang kritis dan kokoh adalah kehati-hati-an (wara’iyyah) dan ketokohannya yang sangat vital di pandangan masyarakat Nusantara. Seperti yang diketahui, Kyai Hasyim adalah pendiri dan penggagas ormas terbesar di bumi Nusantara, Nahdlatul ‘Ulama’. Di samping itu, pola pikir tasawuf Kyai Hasyim mengikuti aliran imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, yang gagasan dan pemikiran mereka sangat cenderung pada landasan syari’ah atau syar’i.
Kyai Hasyim juga sekaligus memberikan beberapa catatan di atas untuk ditujukan pada karakteristik wali yang murshid. Hal ini lantaran posisinya yang paling vital dalam sebuah wadah tarekat. Dan juga ia (mursyid) akan menjadi rujukan dan tauladan bagi para muridnya. Tidak sembarang orang dapat menjadi murshid. Selain itu, bagaimanapun, kebijakan murshid adalah yang harus dipatuhi oleh murid agar ia dapat mencapai derajat kesempurnaan dalam bertarekat. Demikian bagi Kyai Hasyim, agar tidak terjadi kekacauan dalam tubuh sebuah tarekat, yang seandainya dipimpin oleh murshid yang tidak sejati.
Sumber Tulisan: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM