Meminimalisir Radikalisme Islam, Meredahkan Islamopobia
Ditulis Oleh: Lailatul Munawaroh

Anti-Islam di Eropa yang ramai disebut dengan “Islamofobia” telah menjadi sudut pandang yang gaduh dalam persoalan keagamaan. Tak hanya terjadi di level individual atau kelompok, melainkan sudah sampai pada level negara. Seperti tindakan pada tahun 2017, batasan berlevel tinggi yang berurusan agama telah ditegaskan oleh sebanyak 52 rezim pemerintah. Faktanya saja, ditemukan 20 negara telah membatasi pakaian yang berkaitan dengan agama, terutama pakaian-pakaian khas perempuan muslim – cadar, burqa dan semacamnya.
Salah satunya, negara Prancis merupakan negara Eropa yang pertama kali memberi larangan memakai niqab dan kerudung yang menutup wajah dan hanya menyisakan mata saja. Pemakaian keduanya dianggap “tidak diterima” di Prancis dan disanksi sangat besar/denda berat ketika melanggarnya. Selain itu, masih banyak lagi fenomena Islamofobia yang terjadi di berbagai penjuru negara Eropa.
Hal yang demikian seola-olah adanya banyak penolakan terhadap perkembangan Islam di negara-negara Eropa. Adalah gangguan tersendiri bagi agama lain, sehingga bermunculan percikan bara-bara api seperti kasus karikatur nabi yang lagi panas di sorotan media. Di mana saat ini membuat api bara umat Islam menyala, aksi kemarahan akibat ketidakterimaan proyek atas nama “kebebasan bersuara/berwacana”, menjadikan umat Islam terlena atas kemarahannya sehingga melakukan hakim sendiri yang justru merugikan umat Islam.
Islamofobia yang kerap digemparkan ini diambil dari istilah kelompok kontrovesial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan, bahkan kebencian terhadap Islam atau muslim. Sebutan Islamofobia ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi kembali popular di tahun 2001 – seusai tragedi 11 September. Istilah ini juga pernah diresmikan dalam satu forum “Stockholm International Forum on Combating Intolerance. Forum ini memunculkan deklarasi yang salah satunya ialah bahwa Islamofobia disebut-sebut sebagai sistem intoleransi, seperti Xenophobia dan Antiseminisme.
Lantas, bagaimana dengan negara yang bermayoritas muslim terbanyak, Indonesia? Gejolak ketakutan hadirnya kekuatan Islam, terutama di bidang politik yang memarakkan sistem kaffah dan ide Khilafah, jihad dan selainnya, terus saja menjalar. Gagasan jihad fi sabilillah yang diselipkan oleh pikiran-pikiran radikal, anarkistis dan ektremis terus menerus gempar, dan memang (sebagai pembandingnya), moderasi maupun perdamaian disinyalir sebagai gagasan yang tidak ada hentinya untuk disuarakan.
Pemikiran radikal yang biasa berupa upaya untuk melakukan perubahan sistem secara total terhadap pemerintah yang sah, baik melalui kekerasan atau tidak, terlebih diiringi dengan tindakan-tindakan ekstrem yang biasa dilakukan dengan aksi kekerasan seperti bom bunuh diri, teror dan sebagainya, ini menjadikan kerugian tersendiri pada umat Islam. Karena para muslim yang hanya terjerumus dalam kebencian dan kemarahan (bahkan kekerasan atas nama agama), justru melahirkan kebencian lain, seperti halnya muncullah istilah “Islamofobia” di berbagai negara Eropa.
Islam Rahmatan Lil–‘Alamin, bukankah itu yang senantiasa diteguhkan oleh Islam. Sejatinya, Islam sangat menjunjung tinggi kesejahteraan (perdamaian) yang kokoh, seperti dalam firman Allah SWT:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Karena prinsip perdamaian ini, Islam menjadi agama yang jauh dari artikulasi kekerasan. Sehingga dalam mencapai tujuan yang bersifat pembelaan sekalipun, Islam tetap mengedepankan toleransi dan perdamaian dalam penyeselesaian masalahnya. Pada ayat di atas, menurut komentar al-Zuhaili meskipun permasalahan dalam Islam tidak melulu harus disuarakan dengan perang/jihad atau dengan ketenangan, namun Islam bukanlah agama yang bermain hakim sendiri – dalam arti tetap di atas jalur hukum yang berusaha mencarikan solusi dan kemashlahatan, tanpa adanya kekerasan bermunculan.
Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan “saling menghargai” untuk diterapkan pada umat muslim, tetapi pada seluruh umat manusia baik muslim atau tidak. Seperti kisah Rsulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, suatu ketika Rasulullah mendapati rombongan yang mengangkut jenazah lewat di hadapan beliau, lalu beliau berdiri sebagai wujud pernghormatan pada jenazah tersebut. Melihat perlakuan Rasulullah tadi, para sahabat berprotes “ya Rasulullah, itu jenazah orang yahudi”. Nabi pun menjawabnya “Bukankah mereka juga manusia“. percakapan ini dapat ditemukan dalam hadits shahih riwayat imam bukhari.
Dalam ungkapan rasul “Bukankah mereka juga manusia”, memberikan tauladan agar umat manusia saling menghormati, terlepas dari latar belakang agama, suku, ras dan lain sebagainya. Sehingga dengan begitu tidak menjadikan manusia saling membedakan dan saling menjatuhkan sampai melupakan rasa hormat dan saling menghargai sesama manusia. Tanpa sadar, ketauladanan Rasul ini sangat berharga untuk meredahkan stigma Islamofobia yang desas-desusnya merupakan tipu daya barat.
Demikian dikarenakan bahwa jika hal yang selalu dicari-cari adalah perbedaan antar umat beragama, maka dampaknya bahkan menjadi kesenjangan, bukan persaudaraan layaknya sebagai boomerang yang merusak kerukunan dan perdamaian antara agama satu dengan agama lain. Meski berbeda keyakinan atau agama, tetap saja sama, yaitu manusia. Prinsip Islam atau HAM pun di seluruh dunia tetap satu dan hanya mengindikasikan untuk saling menghargai dan menghormati, baik muslim dengan sesama muslim atau muslim dengan non-muslim lainnya, sebagai wujud perdamaian di dunia.
Dari sini, wujudkan kembali IslamRahmatan Lil-Alamin (sejatinya)!Marilah diterapkan dengan menjauhi perilaku kekerasan yang disebut Islam radikal atau bertindak ekstrem. Sehingga dapat menyurutkan berbagai ketakutan atau pobia terhadap Islam atau Islamofobia di dunia.
Sebab untuk apa takut pada Islam yang sejatinya merupakan agama penuh welas kasih? Bagaimana benci terhadap Islam, jika umat muslim banyak yang saling menghargai dan berdamai dengan non-muslim? Pembelaan dan kemarahan atas nama Islam adalah wajar, namun bagaimana dengan luhurnya nilai Islam tadi jika umat Islam terus terbawa emosi dan bahkan bertindak kekerasan? Sangat bisa jadi, meyurutkan berbagai aksi radikalisme Islam dapat meredahkan paham Islamofobia yang akhir-akhir ini menyengsarakan muslim-muslim minoritas di luar negeri.
Sumber tulisan: Replubika.co.id (08/09/2020), mulimahnews.com (30/07/2019), tafsir al-Munir li Zuhaili dan buku “Pesan Damai Pesantren: Bahan Bacaan Kontra Narasi”.