Dominasi Ruang Hidup, Perspektif Barat Hingga Dunia Sufistik
Ditulis Oleh: Tim Redaksi
Fenomena penataan ruang merupakan hal yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Penataan ruang menjadi arena bagi semua pihak dari berbagai elemen masyarakat. Efek dari penataan ruang secara politis yang tidak sehat di sebuah negara akan mendominasi banyak banyak pihak. Di antaranya penggunaan dan ketersediaan lahan yang ada lebih menguntungkan pihak tertentu. Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi, baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
“Mendiskusikan ruang hidup sebagai hak milik bersama di negara kita selalu terbayangi logika kekuasaan” – kiranya itu yang pernah diperbincangkan oleh artikel yang ditulis oleh Chafid Wahyudi, M.Fil.I bersama rekannya, Robbah Hasaniyah. Berdasarkan hasil pembukuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2016, tercatat Konflik agraria semakin pelik dari hari ke hari.
Setiap penjuru daerah meletupkan baranya dan menunggu waktu untuk meledak. Sesuai dengan semakin runyamnya persoalan agraria, masyarakat semakin tersudut dan terancam dengan mengalami disrupsi atas hak-hak ulayatnya. Di dalam konteks Pulau Jawa saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2016 mencatat bahwa sepanjang tahun 2016 terdapat 450 konflik agraria dengan skop wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK.
Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya jumlah konflik yang mulai meluas dari titik ke titik. Tidak hanya persoalan ekstraksi oleh tambang, kini mulai merambah di sektor perkotaan dengan penggusuran yang cukup masif. Bahkan di desa-desa juga mulai marak penggusuran. Semua atas nama pembangunan infrastruktur untuk mendukung konektivitas serta pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. Lantas bagaimana al-Qur’an membaca peristiwa “perampasan ruang hidup” ini?
Berkaitan dengan ini, Henri Levebvre mengatakan”sesungguhnya tidak ada ruang yang sepenuhnya ideal”. Karena ruang itu sendiri secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern merupakan arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan. Semua pihak yang berkepentingan akan terus berusaha mencari cara untuk mendominasi pemakaian atau pemanfaatan atas suatu ruang dan mereproduksi segala pengetahuan untuk mempertahankan hegemoni mereka atas pemanfaatan ruang tersebut.
Dengan kata lain, ruang bersama (common space) akan selalu menyesuaikan kepentingan kapital dalam rangka menjamin relasi atau hubungan produksi dan reproduksi yang bersifat kapitalistik. Dalam pengertian ini pulalah produksi ruang secara spasial akan mempengaruhi mentalitas para penghuninya sehingga menciptakan apa yang disebut oleh Henri Lefebvre sebagai produksi ruang sosial, yakni relasi produksi antara ruang secara spasial dengan masyarakat. Oleh karena itu, Lefebvre menganjurkan supaya kita memahami ruang dalam kaitannya dengan sejarah dan konteks secara spesifik.
Maka, krisis sosial-ekologis yang terjadi di masyarakat, berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia yang lain – yang pada gilirannya, dominasi ini menjadi faktor utama dalam melahirkan suatu bentuk dominasi manusia terhadap alam. Hak-Hak Asasi Manusia dan nila-nilai keadilan serta amanah dalam al-Qur’an telah termakan oleh kekuatan penguasa dan egoisitas manusia-manusia tadi dalam memenuhi hasrat material.
Bagi Henri Lefebvre, ruang dengan manusia itu selalu berdialog. Ruang bukan hanya sekedar sesuatu yang dapat dikonsumsi semata, tetapi ruang juga dijadikan alat kekuasaan untuk meraih kendali atas ruang yang semakin besar oleh kelas-kelas yang berkuasa. Sebagaimana dalam karya magnum opus-nya berjudul “The Production of Space”, pandangannya menempatkan ruang sebagai produk sosial. Ruang tidak pernah mampu mengandalkan “dirinya sendiri” atau mewujud secara alamiah. Pemahaman mengenai ruang seperti ini, bukan tidak memiliki konsekwensi atau mudahnya bersifat “politis”. Sebab ada campur tangan kepentingan kekuasaan dan simbol-simbol yang tersembunyi di dalamnya.
Terkait hal ini, Lefebvre merujuk pada tiga konsep yang kerap disebut konsep triadic/tripartit, yaitu; praktik spasial (special practice), representasi ruang (representation of space) dan ruang representational (space of representational). Ketiganya ini merupakan suatu kesatuan yang saling berkelindan dan bersifat determinan. Menurut Lefebvre, representasi ruang merupakan ruang normatif, ruang ideal, ruang konseptual yang dirumuskan oleh para arsitek, pengembang teknokrat, ahli planologi dan para professional lainnya. Ruang representational merupakan ruang yang secara langsung di tempati dan ditinggali oleh warga dan penggunanya.
Sebagai solusi untuk menanggapi simpul persoalan dominasi ruang yang mengaitkan kekuasaan politis tadi, Jurgen Habermas menawarkan konsepsi komunikasi deliberatif. Deliberatino atau deliberasi berarti konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Maka, demokrasi bersifat deliberatif ialah proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik yang diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau diskursus publik.
Demokrasi deliberatif ditujukan untuk meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Demokrasi deliberatif sendiri memiliki makna tersirat, yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.
Menurut Rainer Forst, Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif. Dengan demikian, demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas. Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif.
Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas. Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.
Lalu jika ditarik dalam dunia Islam, sebuah perampasan “ruang hidup” diidentitaskan sebagai sebuah kedzaliman, dan merupakan sebuah perbuatan yang dilandasi dengan hasrat duniawi (nafsu) bukan syari’at Islam. Baik kerusakannya berbentuk realitas sosial ataupun bersentuhan dengan hak alam-lingkungan. Al-Qur’an yang merupakan sumber primer mendokumentasikannya sebagai prinsip ajaran Islam. Di antara ayat-ayatnya yang berkenaan dengan hal ini, ialah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِين
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Ta’a>la> kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qasas: 77)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalanyang benar)” (QS. Al-Rum: 41)
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ فَمَن يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ ۖ وَمَا لَهُم مِّن نَّاصِرِينَ
“Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun” (QS. Al-Rum: 29)
Persoalan ini bagi kaum sufi yang ditekankan untuk dijauhi. Karena tasawuf (jantung Islam) adalah yang seringkali memberikan perhatian lebih terhadap persoalan kerpibadian yang merusak dan merusakkan dalam dunia syari’at. Namun mengenai dominasi ruang hidup yang berkeitan dengan hak alam-lingkungan, tasawuf menawarkan sebuah sumbangsih nilai tambah untuk sebuah kelestarian dan keseimbangan. Mudahnya, sebuah konsepsi eko-sufisme atau ekologi yang terselipkan nilai-nilai spiritual.
Pada umumnya perihal di atas, dikembalikan pada tiga sikap mengenai bagaimana pandangan manusia terhadap alam? Pertama, memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa, dalam arti alam memiliki esensial kekuasaan dan keunggulan di atas manusia, sehingga manusia senantiasa berupaya menyenangkan alam dan menghiburnya. Semisal dengan sesajen, kendur dan semacamnya. Ringkasnya dalam hal ini, alam adalah subjek dan manusia adalah objek.
Kedua, sebuah pandangan sebalik dari sikap pertama. Manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Sikap ini akan melahirkan kewenang-wenangan terhadap alam. Karena dari sikap ini, alam seolah-olah dapat dikendali dan dapat diperbuat apapun, seperti eksploitasi dan semacamnya. Ketiga, alam dan manusia dilihat sebagai dua entitas subjek yang saling mempengaruhi. Dalam sikap ini, alam dan manusia harus berjalan bersama dan selaras. Karena manusia adalah sejenis dengan alam, yaitu keduanya sama diposisikan sebagai subjek.
Selayaknya manusia dan alam diposisikan sebagai dua subjek yang saling berinteraksi, bukan satu subjek dan lainnya adalah objek ataupun sebaliknya. Dalam pandangan-dunia tasawuf maupun Islam, kedua entitas ini (manusia dan alam) sama ditempatkan sebagai ayat atau tanda keagungan Allah Ta’ala. Berdasarkan kandungan firman-Nya:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat: 53)
Melalui pandangan sufistik, arti dari “tanda-tanda kekuasan Allah Ta’ala” ialah mendudukkan manusia dan alam yang sama diartikan sebagai cermin yang dapat memantulkan sifat-sifat-Nya. Dalam arti, tidak hanya manusia, alam-pun memiliki pantulan-pantulan keaguangan Allah Ta’ala. Hanya saja, manusia yang dianugerahi ruang bertindak oleh Allah Ta’ala atau berarti “makhluk hidup, bukan benda mati” – meminjam term dunia sains, digelarkan padanya “khalifah” di muka bumi.
Sehingga tanpa disadari, manusia yang telah mengaktualkan pandanan ini akan selalu merawat dan memperbaiki bukan merusak dan terus mengeksploitasi. Selain itu, ia juga menempatkan alam sebagai subjek atau tanda keagungan Allah Ta’ala – yang juga nilai spiritual ini menjadikannya tidak mudah membuat kerusakan pada tanda keagungan-Nya atau bahkan pantulan sifat-Nya.
Dengan itu, manusia senantiasa ber-manunggal dengan alam yang sewajarya berkarakter nyaman dan menenangkan. Bagaimana dapat mempelajari lingkungan? Sedang alam atau lingkungan terus saja dicederai dan tercemarkan yang nantinya diasumsikan melalui dampaknya bahwa alam (hujan, misalkan) membahayakan (banjir) bukan memberikan ketenangan (sumber hidup, air)?
Sumber: hasilKajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM