Perjuangan Yang Tidak Bisa Disebelahtangankan
Ditulis Oleh: Dicky Adi Setiawan
Duabelas Rabiul Awal adalah tanggal kelahiran Baginda Nabi Agung, Muhammad Saw. Di tahun ini, bertepatan dengan Kamis, 29 Oktober 2020. Pada tanggal inilah (malam Kamis), semua umat Islam di seluruh dunia akan memperingatinya sebagai bentuk pengabdian atas jasa-jasa Nabi Muhammad Saw yang begitu besar.
Namun, meski bagaimanapun bentuk pengabdiannya tidak akan bisa menyamai jasa-jasa yang telah dilakukan Rasulullah Saw kepada umatnya. Ketulusan dan kasih sayang Nabi Saw untuk umatnya tidak hanya terlukis di dunia saja, melainkan kelak di akhirat Nabi Muhammad tetap menyayangi umatnya.
Sehubungan dengan hal ini, Allah Swt. telah menyematkan sifat Rauf (penyantun) dan Rahim (penyayang) pada pribadi Rasulullah Saw. Sebab, itulah kasih sayang Nabi Saw kepada manusia di atas rata-rata yang dimiliki manusia pada umumnya. Pernyataan demikian telah diabadikan dalam al-Qur’an surah al-Taubah ayat 128 :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” .
Jika kita cermati pada permulaan ayat di atas – yang bersangkutan langsung dengan penjelasan pribadi Rasulullah, mengapa menggunakan pola-kata, “telah datang kepadamu,”, bukannya berbunyi “telah Kami datangkan kepadamu”? Hal ini menunjukan bahwa sebelum adanya perintah dari Allah Ta’ala untuk mendatangkan sebuah kabar kembira ini, dalam diri Nabi Saw telah terhunjam sifat rauf dan rahim yang luar biasa untuk umat manusia.
Al-Zuhaili ketika menafsirkan ayat di atas membagi beberapa ketegori, Pertama pada ayat: ‘aziizun alahi maa ‘anittum, ditegaskan bahwa dalam diri Rasulullah selalu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ilustrasinya ialah pantulan cermin yang tidak dapat dielakkan. Contohnya, sama-sama merasa senyum atau sama-sama sedih. Artinya Nabi Saw senantiasa merasakan sakit, tatkala umatnya merasakan yang sama pula. Hatinya teriris-iris, jika melihat umatnya dizalimi oleh seseorang. Pundaknya merasakan yang sama dengan beban pundak umatnya yang memikul beban hidup yang berat.
Bahkan ketika sakaratul maut Nabi Saw selalu menyebut-nyebut umatnya dan memohon kepada Allah Ta’ala, agar kepedihan yang diderita umatnya saat sakaratul maut ditanggung sendirian olehnya, dengan tujuan agar kelak tidak ada lagi umatnya yang merasakan derita itu ketika menjelang ajalnya.
Sifat Kedua, pada potongan ayat “hariisun ‘alaikum”, berarti kepribadian Rasulullah yang mempunyai keinginan yang sangat luar biasa untuk menjadikan kita semua (umatnya) sebagai manusia yang berbudi dan terharum di langit dan bumi, bahkan di akhirat kelak. Dalam pesan yang tersirat dalam ayat ini, kiranya bunyi: “Biarlah lenganku terlepas karena menarik badanmu, atau punggungku retak menggendongmu, semua hanya demi keselamatanmu.” – adalah yang selalu dipikiran Nabi Muhammad Saw sepanjang hidupnya.
Nabi Muhammad Saw menangis jika melihat satu saja dari umatnya yang melakukan dosa. Seolah-olah menggumamkan “Mengapa engkau balas kasih sayangku dengan kotoran dosamu, aku berusaha untuk meninggikan derajatmu, engkau malah senang menyusahkanku di hari pertanggung jawaban atas tugas-tugas kenabianku? Mengapa engkau tega menyiksa dirimu sendiri, sedangkan aku bersusah payah menyelamatkanmu.” Kira-kira semacam ini ilustrasi kekecewaan Nabi Saw tatkala melihat umatnya yang melakukan dosa. Sedang umatnya mungkin banyak yang hanya biasa-biasa saja, ketika melakukan dosa. Tapi ketahuilah, dibalik itu semua ada sosok agung yang berlinang air mata memikirkan nasib kita.
Sifat Ketiga, tentang kepribadian Nabi Muhammad Saw yang tersirat pada kutipan ayat “bil mu’miniina rauufun rahiim”. Kata rauf dalam ayat ini adalah bertindak langsung untuk mencarikan solusi atas masalah yang dihadapi umatnya. Selain itu, Nabi Saw juga memiliki sifat rahim, yaitu kasih sayang pada siapapun, muslim ataupun tidak. “Saya amat mencitaimu. Apa yang bisa saya bantu?.” Begitulah kira-kira simpatik Nabi Saw kepada setiap umatnya.
Setelah membaca sedemikian uraian mengenai kepribadian Rasulullah Saw, lalu tanyakan pada diri sendiri. Apakah aku akan tetap melempari Nabi Muhammad Saw dengan dosa-dosaku? Masihkah kita diakui sebagai umat Rasulullah Saw, sementara kita masih saja membuat Nabi Muhammad Saw bersedih dan berlinang air mata?. Pertanyaan ini adalah sebuah renungan yang tanpa membutuhkan jawaban.