Dilema Nasib Masa Depan Santri: Refleksi Hari Santri Nasional

Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Momentum hari kemerdekaan di tahun 2020 menjadi terasa berbeda karena event upacara dalam rangka memperingatinya dilaksanakan secara sederhana. Segala bentuk perlombaan yang melibatkan bertemunya banyak masa juga ditiadakan penyelenggaraannya. Pandemi virus corona yang dianggap membahayakan kehidupan umat manusia-lah penyebabnya. Strategi dilakukan oleh pemerintah demi memulihkan laju ekonomi meski transaksi sosial dibatasi.

Peluncuran pecahan rupiah tujuh puluh lima ribu rupiah pada peringatan kemerdekaan Indonesia ditengarai sebagai salah satu bentuknya. Pemerintah mengeluarkan nilai mata rupiah baru dengan jumlah terbatas yang memiliki tampilan menarik, sehingga memungkinkan masyarakat Indonesia berebut ingin segera memilikinya. “Ini uang langka”, cetus seseorang.

Bank Indonesia dipenuhi oleh mereka yang ingin mendapatkan uang baru nan langka, bukan untuk mengedarkannya, melainkan untuk menjadikannya sebagai hiasan saja. Berr, pemerintah mendapat masukan di kala krisis ekonomi di masa pandemi menimpa. Ini kata Manuel, dalam “Jokowi, Sang Jenius Pencetak Uang, Penjual Cinderamata” yang dimuat seword.com di lamannya. Rakyat dimanfaatkan ketidaktahuannya dan tergiring opini berita.

Peringatan hari kemerdekaan yang seharusnya menjadi momentum berbenah untuk merealisasikan Indonesia yang benar-benar merdeka malah ditunggangi untuk sekian pihak saja. Ini yang ditakutkan dari setiap peringatan yang diselenggarakan secara nasional yang otomatis melibatkan seluruh elemen rakyat Indonesia seharusnya. Karena kata “Nasional” memberi makna meliputi bangsa.

Dengan memposisikan sebagai orang luar, kita akan cemburu mengapa hanya kaum santri yang secara nasional diperingati harinya? Jika kita mau kalkulasikan, kita dapati bahwa jumlah santri adalah sepersekian persen dari penduduk Indonesia. Di luar santri, ada pelajar umum dan peserta didik dari agama lain yang seolah dianaktirikan keberadaannya. Ringkasnya, tidak semua yang ‘membangun’ Indonesia adalah pesantren tempat belajarnya.

Di Indonesia terdapat hari Sumpah Pemuda yang diperingati per-28 Oktober setiap tahunnya, yang secara spesifik tidak diklaim sebagai hari mahasiswa, meski kita tidak memungkiri bahwa momentum tersebut digagas oleh para pemuda dari kalangan mahasiswa. Terdapat hari pendidikan nasional yang menandai telah merdekanya sistem pendidikan di Indonesia. Artinya, hari-hari peringatan yang dirayakan secara nasional adalah bukan tertuju pada sekelompok elemen masyarakat saja.

Hari santri nasional adalah sesuatu yang baru sejak beberapa tahun ini. Hal ini perwujudan bahwa pemerintah memiliki perhatian lebih terhadap santri. Entah dalam rangka menyemangati ataupun untuk mengintervensi. Ketika dunia pesantren telah memasuki ruang sentral formalitas di pemerintahan, ditakutkan malah akan mengaburkan nilai-nilai khas santri. Undang-undang kepesantren berpotensi mencabut sikap kemandirian yang telah berjalan selama ini.

Sayangnya kontribusi santri terhadap perjalanan negeri ini selanjutnya terlihat minim sekali. Santri digadang-gadang mampu merubah wajah Indonesia melalui doa dan akhlaknya yang terpuji. Nyatanya keberagamaan di Indonesia akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik sekali. Di mana-kah keberhasilan santri dalam mempertahankan amanat memperbaiki negeri?

Banyak kaum santri yang terhadap keilmuan lainnya enggan menggeluti. Pemahaman agamanya kian hari pun tak mencerminkan jiwa santri. Bermunculan orang yang mengaku-diri sebagai santri namun mengamalkan sikap tak terpuji. Tanpa memperbekal diri dengan keahlian tentu tak ada artinya peringatan-peringatan apapun yang mayoritas hanya histeria sesaat yang lalu pergi.

Pengadaan hari santri tidak layak lantas membuat kaum santri merasa di atas awan. Merasa paling pantas dihargai karena di masa lalu pernah menorehkan prestasi gemilang. Kemudian sekarang minim kontribusi yang diberikan. Eksistensi santri tidak memberi perubahan yang berarti. Belakangan malah media online dihiasi oleh mereka yang mengaku santri tapi perkataannya tak menyejukkan hati.

Terlalu terburu-buru untuk mengajukan diri sebagai tokoh yang harus disegani. Membabi buta dalam berdakwah dan kelewat pede dalam menilai, meski belum sepenuhnya memahami. Jika yang tampak di permukaan ini tak segera dibenahi, yang berada di dasaran kemungkinan mendapatkan limbah pahit yang tak bisa dihindari. Santri akan dicurigai.

Ini menjadi kritik bahwa santri di milenium ini perlu melakoni proses belajar secara runtut dan teliti. Keseriusan belajar santri harus ditingkatkan kembali. Tidak sedikit alumni santri yang ketika keluar dari pesantren sudah lupa caranya maknani. Kitab-kitab besar sudah kian jarang terjamah tangan santri. Budaya telaah dan diskusi isi kitab kuning pun kian tak sering dijumpai.

Santri dan pesantren memang sudah seharusnya mengikuti alur perubahan zaman, tapi tidak seyogianya merubah citra dan ciri khas pribadi santri. Karena santri bukan terbatas pada status sosial, melainkan pribadi yang mengkarakter di dalam hati, meliputi sikap menghargai atas keberagaman yang terjadi, bertanggung jawab dan berhati-hati, memiliki kesungguhan dan suka mengabdi, serta kreatif dan berjiwa prihatin tinggi.

Momentum hari santri nasional terlepas dari alasan apapun yang melatarbelakangi kemunculannya, harus diakui adalah wujud bahwa kaum sarungan telah diakui eksistensinya. Gerakannya di masa lampau dianggap memiliki track record yang baik bagi perkembangan bangsa. Hari peringatannya sudah seharusnya menjadi bahan pacu untuk mengobarkan kembali semangat yang sama.

Momentum pandemi bukan alasan bagi santri untuk tidak lagi berdedikasi untuk negeri. Santri memiliki jalan ninjanya dalam menggagas ide pembangunan di kala pandemi. Bagaimana caranya? Tinggal kita nantikan jawabannya melalui aksi santri. Santri sehat Indonesia kuat.

Menengok ke belakang bukan berarti enggan menatap masa depan, melainkan untuk memastikan akan adanya kemenangan yang perlu disempurnakan. Belajar sejarah bukan alasan untuk terpesona dan lengah, melainkan sebagai bahan ajar tentang arti pentingnya berjuang tanpa menyerah. Membuka kisah tentang mantan bukan berarti tak mampu melupakan, tetapi demi mengetahui kekurangan dan melakukan perbaikan.

Muhammad Zakki

Penulis dan mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah, berasal dari kabupaten Pemalang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *