Kode Etik Kepemimpinan dalam Islam
Ditulis Oleh: Muhammad Nurush Shobah
Pada saat ini, rasanya pemimpin Indonesia sedang tidak singkron dengan rakyatnya, disebabkan oleh keputusan UU Cipta kerja atau sering kali disebut dengan UU Omnibus Law. Keputusan yang tidak transparansi dirumuskan oleh DPR-RI telah membuat rakyat menjadi resah. Dampaknya, banyak dari kalangan mahasiswa, pekerja, STM hingga para rakyat biasa menggelorakan demonstrasi di depan kantor pemerintahan. UU Cipta Kerja yang disepakati itu, bagi masyarakat ibarat senjata kapitalis yang muncul di tengah masa pandemi. Hal ini cenderung mementingkan satu kelompok dan juga bersifat otoriter.
Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS), Bambang Istianto mengatakan “Adanya Omnibus Law membuat suatu kebijakan untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan menjadi satu. Namun adanya anomali yang dibentuk oleh pemerintah tadi cenderung otoriter untuk kepentingan suatu kelompok”
Pemimpin otoriter adalah pemimpin yang tidak sesuai dengan asas demokrasi yang ada di Indonesia, begitu-pun kebijakan dan keputusannya. Menurut Alex Nurdin sebagai Gubenur Sumatra Selatan menyatakan bahwa “sebelum membuat kebijakan, yang selama ini kami terapkan ialah terlebih dulu mendapat masukan dari orang lain, baik itu bawahan atau masyarakat. Dengan cara itu, keputusan tersebut bukan mutlak hanya keluar dari keinginan si pemimpin, melainkan diambil dari banyak orang,” dilansir dari Media Indonesia.
Menjadi pemimpin adalah layaknya wakil rakyat untuk melaksanakan tugas sesuai dengan dasar kepemimpinan sebuah negara. Hal itu bukan suatu yang mudah. Bagi pemimpin, harus memperhatikan aspek sosial, budaya, sistem kepemimpinan yang tepat dan telah disepakati. Ketika pemimpin bekerja tidak sesuai dengan asas keadilan yang sesungguhnya. Maka, keberadaan suatu negara akan terombang-ambing dalam prosesnya.
Memandang khazanah Islam, memang tidak menekan untuk melibatkan hukum Islam sebagai sistem kenegaraan, namun Islam tahu apa yang penting dan tidak penting bagi manusia di seluruh dunia. Manusia sendiri tahu akan peraturan yang telah ditetapkan. Tetapi, akankah semua manusia simpatik dalam menjalankan peraturan tersebut. Tentu suatu hal yang sulit untuk diterapkan bagi setiap orang yang ambisius memiliki kekuasaan dalam suatu negara. Karena pada setiap orang juga memiliki keinginan pribadi dan tinggi. Berbagai keresahan dan mala-petaka akan ditimbulkan, jika suatu negara dipimpin oleh mereka.
Dalam ajaran Islam, kebijakan pemerintah dalam menegakkan sistem kenegaraan harus mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemadharatan (kebahayaan). Karena keputusan yang perlu dipertanyakan akan berpotensi menimbulkan bahaya. Inilah suatu bukti, bahwa Islam lebih memilih demokratis dalam suatu negara. Kita dapat amati kaedah ini:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Ketetapan pemerintah/pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemashlahatan”
Kaedah ini merupakan konsensus golongan Imam Asy-Syafi’i bagi pemerintah menetapkan sebuah kebijakan. Menurut As-Suyuti, ungkapan ini bermula pada Sahabat Said bin Mansyur yang mendapat berita dari Sayyidina Umar bahwa: “saya memposisikan diri saya (sebagai pemimpin) dari harta Allah layaknya posisi walinya anak yatim. Apabila saya butuh, maka saya mengambil harta itu. Namun ketika saya dalam keadaan lapang (mudah) maka saya mengembalikan harta itu. Namun jika saya dalam keadaan cukup, maka saya akan menjaganya.”
Melalui tinjauan Tasawuf, ada 3 aspek kepemimpinan yang cukup diaktualkan sebagai pemimpin, sebagaimana yang dikutip dalam kitab Raidh ar-Rahman fi manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yakni ilmu, siyasah al-Muluk, hikmah al-hukama’. Dengan ilmu, seorang pemimpin memahami siklus kehidupan masyarakat di waktu itu dan ia sangat tahu dengan kebutuhan dan kepuasan rakyatnya.
Kedua, siyasah al-muluk yang berarti memahami sistem pemerintahan dan politik dalam memegang kepemimpinan dan memimpin. Seorang pemimpin adalah dia yang memiliki wawasan kepemimpinan dan pemerintahan.
Ketiga, hikmah al-hukama, artinya sebagai pemimpin hendaknya bijaksana dalam menentukan sebuah peraturan kepada rakyatnya, serta berlandaskan landasan filosofi yang telah disepekati sebagai pedoman suatu negara. Maka dengan trilogi dasar kepemimpinan tersebut, suatu negara akan minim terjadinya fenomena meresahkan dalam suatu negara tatkala dipimpin oleh pemimpin yang bijak.
Kiranya, fenomena UU Cipta Kerja yang disahkan tadi telah banyak mengundang asumsi dan penilaian. Terlihat dari data dan pendapat yang dilontarkan oleh peneliti ahli hukum sebagaimana yang ada, bahwa UU Cipta Kerja terkesan ingin mensentralisasikan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Sedang, sejak lama Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi.
Apalagi seperti yang dikabarkan, rancangan UU Cipta Kerja ini dibuat secara tergesa-gesa di masa pandemi. Dalam hal ini, menurut kacamata Islam perlu direorientasi kembali atau diklarifikasi, dengan melibatkan intervensi rakyat atau perwakilan rakyat. Sebab hal ini telah mengundang banyak ketidakpuasan rakyat