UU Omnibus Law Versus Kebijakan Rasulullah#1
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
Hingga sekarang, info dan berita yang tertangkap ramai dengan aksi penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja (OLCK).
Disinyalir, sejumlah elemen masyarakat banyak yang turun di jalan untuk melancarkan aksi demontrasi terkait penolakan itu.
Kalangan mahasiswa se-Indonesia pula ikut serta melaksakan aksi demontrasi, baik dari kaum mahasiswa pada umumnya maupun aliansi BEM se-Indonesia.
Bahkan dilansir dari bbc.com, Aliansi Gerakan Rakyat Indonesia bersama Kongres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia akan melangsungkan demonstrasi dari 20-22 Oktober mendatang.
Tidak mengejutkan, jika dinyatakan isi UU OLCK ini sangat dipermasalahkan dan perlu diklarifikasi.
Alih-alih, fenomena demonstrasi atas penolakannya telah jelas memperlihatkan ketimpangan yang ada di dalamnya. Apalagi, rancangan UU OLCK tersebut dikebut di masa pandemi.
Demikian menimbulkan beberapa asumsi, terutama dari kalangan demokrat – atas disahkannya UU OLCK tersebut menurut kepentingan segelintir pihak atau dinilai sebagai keputusan oligarki. Sejak masih berupa rancangan pun (RUU), sudah banyak menerima penolakan, terutama dari kaum buruh.
Tanpa membincangkan UU OLCK secara melebar, problematik yang signifikan untuk disoroti ialah perihal kepemimpinan dan kebijakan. Memang, para aktivis demo berusaha beraspirasi untuk didengarkan oleh Pemerintah Pusat yang dirasa ceroboh dalam membuat sebuah kebijakan.
Bagi penulis (yang tidak begitu mengamati isu Omnibus Law atau memang tidak begitu tertarik), hanya menjangkau dunia kepesantrenan, meski dia juga sebagai mahasiswa. Kiranya, sekedar menggelengkan kepala dan mewacanakan untuk umat manusia, khususnya umat Islam agar senantiasa meneladani masa-masa kepemimpinan Rasulullah SAW. Atau jelasnya, wajib diteladani.
Menurut catatan sejarah, Rasulullah SAW juga disebut sebagai pemimpin terbaik di dunia. Bagaimana tidak? Dengan masa hidup beliau yang singkat, ajaran Islam yang dibawanya telah berekspansi di setiap penjuru dunia dan bahkan dikenal di dunia sebagai agama samawi yang sah.
Ditambah lagi, Islam yang didatangkan oleh Rasulullah SAW dikenal sebagai ajaran-agama yang sangat mengutamakan keadilan, persaudaraan dan jauh dari marginalisasi, diskriminasi dan penindasan. Layaknya yang diramaikan saat ini – diwacanakannya Omnibus Law yang mempersempit buruh, justru Islam atau masa kepemimpinan Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kehidupan buruh. Ada satu hadits yang terekam terkait hal ini.
مررنا بأبى ذر بالربذة وعليه برد وعلى غلامه مثله فقلنا يا أبا ذر لو جمعت بينهما كانت حلة. فقال إنه كان بينى وبين رجل من إخوانى كلام وكانت أمه أعجمية فعيرته بأمه فشكانى إلى النبى -صلى الله عليه وسلم- فلقيت النبى -صلى الله عليه وسلم- فقال « يا أبا ذر إنك امرؤ فيك جاهلية ». قلت يا رسول الله من سب الرجال سبوا أباه وأمه. قال « يا أبا ذر إنك امرؤ فيك جاهلية هم إخوانكم جعلهم الله تحت أيديكم فأطعموهم مما تأكلون وألبسوهم مما تلبسون ولا تكلفوهم ما يغلبهم فإن كلفتموهم فأعينوهم
“Saya bertemu dengan Abu Dzarr di Rabdzah, ia memakai burd (kain) dan budaknya pula memakai kain yang sama. Lalu saya bertanya mengenai hal itu. Ia (Abu Dzarr) pun menjawab: pernah suatu saat saya berbincang-bincang dengan seorang laki-laki dan bertepatan ibunya adalah seorang yang ‘ajam (non-Arab), lalu aku mencacinya dengan (membawa-bawa) ibunya. Akhirya, ia mengadukanku kepada Rasulullah SAW. Tatkala saya bertemu dengan Rasulullah, beliau SAW bersabda kepadaku: wahai Abu Dzarr kau adalah seorang masih memiliki (sifat) jahiliyah. Saya berkata: wahai Rasulullah, siapa saja yang mencaci seseorang, (biasanya) seseorang tersebut akan mencaci bapak dan ibunya. Rasulullah bersabda: wahai Abu Dzarr, kau masih memiliki sifat jahiliyah. Mereka yang berada di bawah kekuasaanmu adalah saudara-saudaramu, maka berilah makan mereka dari apa yang kalian makan, berilah sandang dari apa yang kalian pakai dan janganlah membebani mereka dengan apa yang di luar kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka dengan itu, maka bantulah” (HR. Muslim)
Hadits ini juga dinilai memiliki makna yang mengajarkan kepedulian terhadap buruh/pekerja. Dalam kitab hadits imam Muslim, redaksi hadits ini dicantumkannya dalam pembahasan mengenai kepedulian dan pemuliaan hidup (sandang-pangan) seorang pelayan dan budak.
Di lain sisi, ada sekelumit kisah dari Rasulullah SAW yang patut diteladani untuk mereka yang memegang pemerintahan dan kebijakan. Kisah yang dimaksud ialah pertemuan nabi Musa dengan Rasulullah SAW saat peristiwa isra’ mi’raj. Di mana, beliau meneladani instruksi yang diberikan oleh nabi Musa pada saat itu dan seolah-olah mengevaluasinya untuk kepentingan umat.
Dalam peristiwa itu, terjadinya pengurangan shalat yang asalnya 50 raka’at hingga menjadi 5 raka’at. Karena nabi Musa memberikan arahan terhadap Rasulullah SAW sesuai pengalaman dan perasaan yang pernah dirasakannya terhadap kaumnya, Bani Isra’il. Demikian akhirnya digunakan sebagai pertimbangan oleh Rasulullah SAW dan saat ini pun benar saja bahwa yang diwajibkan bagi kita untuk sehari-semalam ialah shalat 5 waktu. Memang, umat nabi Musa rata-rata sangat kuat dan perkasa, berbeda dengan umat Rasulullah SAW.
Bagi dunia tarekat sufiyah, kisah ini pula dapat ditarik dengan melahirkan interpretasi bahwa seorang musallik (mursyid) saat menerapkan sebuah metode pendakian spiritual untuk para muridnya seharusnya sesuai kesanggupan mereka yang menerimanya. Artinya, sesuai kecenderungan dan kesanggupan mereka – atau sesuai kemampuan yang dapat mereka tempuh. Inilah yang biasa disebut dzauq atau perasaan-pengalaman. Pada kisah di atas, nabi Musa dengan berani memberikan instruksi tersebut karena memang dirinya telah berpengalaman lebih dahulu dalam mengahadpi umat manusia daripada Rasulullah SAW.
Lalu apa hubungannya dengan isu penolakan terhadap UU OLCK? Mengenai perihal banyaknya menerima penolakan dari para buruh, sudah sangat jelas dengan bercermin pada prinsip Islam yang dikandung oleh hadits di atas.
***Bersambung_
Mengacu kabar dan sumber: kompas.com (7 dan 8 Oktober), suara.com (12 Oktober) serta beberapa media online lainnya dan al-Muntakhabat juz 3.