UU Omnibus Law Versus Kebijakan Rasulullah #2(Habis)

Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

Dalam kisah isra’ mi’raj di atas, Rasulullah telah menggambarkan sikap partisipasinya terhadap umatnya. Beliau dalam menentukan kebijakan shalat wajib tidak serta-merta mentah dari pengetahuan dan evaluasinya terhadap kesanggupan dan kepuasan umat manusia.

Sampai-sampai, dikisahkan bahwa beliau bolak-balik tanpa lelah untuk menghadap Sang Ilahi saat itu (peristiwa isra’ mi’raj) agar memohon keringanan. Dipangkaslah yang asalnya 50 waktu menjadi 45 waktu, hingga saat ini mejadi shalat 5 waktu. Demikian berkat welas asih Rasulullah dengan tanpa mengeluh melakukan bolak-balik untuk menghadap Sang Ilahi. Tanpa tergesa-gesa dan senantiasa menerima instruksi/arahan dari nabi Musa.

Diberitakan, UU OLCK ini dirancang serta telah disahkan dengan proses cepat, di masa pandemi dan tidak partisipatif, dilansir dari kompas.com. Bahkan (masih menurut kompas.com), RUU itu dibuat di masa reses serta draft UU dan risalah rapat tidak pernah tersmpaikan di telinga publik. Sehingga UU OLCK ini – yang meski telah disahkan, diasumsikan sebagai kebijakan yang diputuskan oleh oligarki dan dinilai tidak banyak melibatkan komunikasi rakyat (publik).

Penilaian ini tidak sepenuhnya mengherankan. Karena pandemi yang telah membatasi setiap sektor dan akses, justru UU OLCK tersebut dibuat secara cepat dan tergesa-gesa. Tentunya, hal ini terasa tidak realistis dan nyatanya direspon dengan ketidakpuasan oleh banyak elemen masyarakat.

Iya, boleh saja kebijakan Rasululah tadi tidak demokratis, sebab tidak ada suara umat yang turut andil memutuskannya. Namun, beliau SAW sangat mempertimbangkan kemampuan umat manusia dan bahkan meneladani pengalaman nabi Musa yang eranya lebih dahulu daripada beliau SAW. Kita yang sebagai manusia biasa dan tidak begitu sempurna, tentunya lebih menyadari akan ketidakmampuan untuk mereka-reka “apakah kebijakan dan keputusan kita yang bersifat publik akan diterima rakyat dengan puas? Tanpa adanya partisipasi dan komunikasi publik.

Bukankah, Rasulullah sangat demokratis dan selalu mengamalkan musyawarah (partisipasi terhadap umat). Di masa hidup beliau, tidak hanya satu momen yang diputuskan melalui jalur musyawarah dan saling komunikasi terhadap kebijakan umat.

Contohnya, di saat hari Badr, Rasulullah meminta pendapat para shahabat (bermusyawarah) sewaktu diketahui mengenai pergerakan kaum Quraisy dari Makkah untuk berperang dan bahkan beliau SAW belum memutuskan apapun, hingga kaum muhajirin dan anshar memutuskan sebuah kesepakatan/kebijakan. Di antaranya pula, saat hari (perang) Uhud, beliau SAW meminta para shahabat bermusyarah, sebagaimana yang kita ketahui sejarahnya.

Dan lagi, kalau kita amati kembali isu penolakan UU OLCK ini, bagi para para politisi terasa mengembalikan Indonesia pada sistem sentralistik atau zaman Orde Baru.

Dikabarkan dari suara.com, padahal Indonesia sudah sejak lama telah menerapkan sistem desentralisasi atau banyak memberikan kekuasaan terhadap pemerintah daerah. Tetapi, adanya UU OLCK ini menggeserkan Indonesia kembali dari desentralisasi menjadi sentralisasi. Demikian yang diberitakan suara.com yang dikutip dari pembacaan jubir FRI (Fraksi Rakyat Indonesia).

Dengan meneladani kebijakan Rasulullah di peristiwa isra’ mi’raj, sangat dipahami akan keputusan beliau SAW yang meski meneladani pengalaman nabi Musa (seperti yang dikisahkan), tidak sepenuhnya dipersiskan layaknya di era nabi Musa. Umat manusia di era Rasulullah sangat berbeda dengan yang di era nabi Musa. Demikian dapat ditiru bagi pemerintah untuk menyadari bahwa telah menetapkan UU OLCK yang dinilai merubah era desentralisasi menjadi sentralisasi. Di mana, kedua sistem ini sangat bersenjangan dan bertentangan.

  Hal ini pun juga dapat meneladani kasus mursyid (dunia tarekat sufiyah) yang dijelaskan oleh kiai Asrori al-Ishaqi dalam al-Muntakhabat-nya. Bahwa tidaklah cukup kita yang hidup di masa sekarang hanya bersandar pada penghayatan ungkapan-ungkapan para sufi masa lampau seperti karya-karya syekh Junaid dan selainnya yang pernah disampaikan kepada para murid mereka di masa itu.

Sebab horizon atau tradisi antara kita dan mereka ialah berbeda jauh masanya dan sangat jelas “tidak simetris” – meminjam gaya hermeneutik Gadamer. Hal tersebut memang disebabkan penyakit (suasana) hati manusia yang senantiasa mengalami pembaruan dan berbeda di setiap waktu. Ringkasnya, suasana hati di satu masa tidaklah sama persis dengan pengalaman orang-orang yang hidup di masa sebelumnya. Sehingga setiap masa dan zamannya, seseorang tetap memerlukan seorang mursyid atau penuntun ruhani dalam menempuh perjalanan spiritual dan penyembuhan penyakit hati.

***Selesai_

Mengacu kabar dan sumber: kompas.com (7 dan 8 Oktober), suara.com (12 Oktober) serta beberapa media online lainnya dan al-Muntakhabat juz 3.

Ainul Yaqin

Founder (1) Komunitas HIKAM, mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *