Penyesalan Habib Ali Al-Jufri: Mager Merawat Gigi
Ditulis Oleh: Dicky Adi Setiawan
Ada sosok habib yang dilahirkan di Arab Saudi, Jum’at 20 Safar 1391 H (16 April 1971). Seorang tokoh yang masih memiliki garis keturunan daripada panutan agung, Rasulullah SAW. Silsilah habib Ali al-Jufri ditarik ke atas sampai sambung pada sayyidina Hussein bin Ali Ra. Beliau (tokoh ini) dikenal sebagai al-da’i ilallah, berdakwah internasional atau berkeliling di segala penjuru dunia. Namanya ialah habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri.
Penulis kitab “al-Insaniyyah Qabla al-Tadayyun”ini akrab sebagai sosok habib dan da’i muda yang dapat menyita setiap perhatian. Beliau adalah salah satu habib yang tampan, berkulit putih dan berjenggot tebal. Pembawaanya ramah dan santun, serta banyak wawasan dan pengetahuan, baik dalam dakwah atau tulisannya yang mengedepankan ajaran Islam Sunni, moderat dan kemanusiaan.
Dikisahkan dari pengakuan habib Ali al-Jufri sendiri, bahwa beliau pernah mengabaikan perawatan gigi, bahkan ditundanya setelah dua tahun. Lalu beliau pergi ke dokter gigi. Saat itu, dokter gigi menunjukan kepada beliau citra gigi geraham di layar. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan dan perawatan ini, gigi grahamnya harus ditambal. Lantaran beliau menunda memasang mahkota giginya itu (tambalan), gigi tersebut membusuk, dan tentunya hal itu bukanlah pemandangan yang menyenangkan.
Perawatan hari itu bagi habib Ali al-Jufri sangatlah menyakitkan dan disesalkan. Dengannya pun, beliau mengingatkan diri bahwa setiap pengabaian selalu berakhir pada merugikan. Benar saja, gigi beliau telah diserang oleh kebusukan. Ungkap beliau “yang dulunya tampak indah, kini telah rusak”.
Dalam renungan habib Ali al-Jufri, gigi ini telah ditempatkan di tempatnya (mulut) untuk senantiasa melayani pemiliknya. Banyak perjuangan nan keras yang telah dikerahkan gigi. “Gigi saya ini telah berjuang siang dan malam selama hampir 40 tahun” dalam bayangan beliau. Namun, habib Ali al-Jufri sangat menyesali satu perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan yang dimaksud ialah telah mengabaikan untuk membersihkan gigi secara memadai sehingga menyebabkan kehancuran. Betul saja, kita saja – yang pernah mengeluh sakit gigi, sangat maklum gigi rusak dan sakit layaknya sumber dari rasa sakit dan ketidak nyamanan bagi kita. Ini-pun bagi beliau sangat disesali.
Ada hal yang menarik lagi dari apa yang direnungkan oleh habib Ali al-Jufri, setelah tragedi demikian. Menurut beliau, kita sering mengabaikan berbagai hal yang telah Allah percayakan kepada kita, sehingga membentuk rasa sakit yang padahal semuanya atas kecerobohan kita sendiri. Lebih dalam itu, fenomena ini ditarik lagi oleh beliau hingga menyentuh pada persoalan jiwa. Berawal dari sakit gigi, sampai pada titik kesadaran terhadap reorientasi untuk jiwa kita masing-masing.
Demikian bagi habib Ali al-Jufri, sama halnya dengan jiwa kita sendiri (jiwa rendah yang selalu mendorong untuk berbuat maksiat, naf ammarah bi al-su’). Layaknya perjuangan gigi, jiwa kita pun senantiasa berjuang selama bertahun-tahun untuk menggapai kesempurnaannya, pula perjuangannya tanpa mengeluh, lelah, ataupun bosan. Tetapi, jika kita mengabaikan kondisi jiwa kita masing-masing (perihal kesuciaanya), jiwa itu juga akan mengalami kehancuran dan pula membusuk – “sebagaimana gigi saya yang busuk” kata beliau.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa gigi dapat menjadi sumber rasa sakit bagi sekujur tubuh pemiliknya, demikian pula dengan keadaan dan kondisi jiwa yang jika diabaikan. Bagi habib Ali al-Jufri, mengabaikan jiwa yang merupakan sentral perilaku dan tindakan manusia – apakah telah disucikan atau dirawat secara rutin melalui mujahadah dan riyadlah, dan apakah tidak? Sungguh, kehancurannya (jiwa) dapat merusak segalanya yang ada dalam diri manusia.
Dalam renungan habib Ali al-Jufri saat menatap citra giginya di latar, beliau dalam hatinya membesit “apakah jiwa ini juga telah mencapai tahap pembusukan layaknya gigi ini?” Hal ini sekalian beliau memberikan pengajaran pada kita semua, terutama pada diri beliau sendiri. Bagi beliau, orang-orang yang menikmati banyak pujian dari banyak orang adalah bagaikan mereka yang rakus menikmati permen dan kue yang manis-manis. Begitu-pun, jiwa yang membusuk ialah lantaran telah gagal menyadari dosa-dosa diri kita sendiri atau mereka yang telah menyebabkan kotoran terakumulasi di dalamnya akibat merasa senang akan ketenaran dan kehebatan.
Oleh habib Ali al-Jufri, keterangan ini sangat beliau renungi dan angan-angan bagi diri beliau sendiri. Sambil merasa sedih penuh perenungan. Mengapa demikian? Karena beliau senantiasa (dalam diri) merasa gagal membersihkan jiwa, namun Allah terus-menerus (dengan rahmat-Nya yang agung) dengan indahnya menyembunyikan kesalahan-kesalahan, bahkan mengabaikan tindakan-tindakan kesalahan (dengan penuh ampunan-Nya).
Kita tidak diperkenankan tergesa-gesa membela diri. Membenarkan tingkah laku. Bahkan mengaku-ngaku diri bahwa kita telah melatih jiwa dengan melakukan kebaikan dan memberi syafaat kepada orang lain atau telah melayani agama, siang dan malam, selama bertahun-tahun. Tidak pula diperkenankan mengaku-ngaku telah mengalami kesusahan, telah memberikan pengorbanan, telah menderita demi Allah, dan telah menunjukan sabar dan ketulusan menghadapi kesengsaraan dalam perjalanan menunjukkan jalan ilahi kepada manusia.
Itu semua tidaklah cukup diakui bahwa diri kita telah menyucikan jiwa yang penuh dosa dan kekejian, serta untuk mengenyahkan darinya semua kotoran. Sehingga membuat diri kita menyatakan “saya layak”.
Kita tidak lebih besar dari perjuangan gigi yang sering diabaikan dan diacuhkan. Perlu diketahui, gigi telah melayani seluruh tubuh sepanjang siang dan malam, di musim dingin dan panas, dan tidak pernah sekalipun mengeluh tentang dingin atau panas yang menerpa dirinya. Gigi ini menghabiskan berpuluh-puluh tahun mengelilingi makanan. Menghncurkannya, dan mempersiapkannya untuk dikirim ke perut.
Gigi yang malang ini hanya melakukan apa yang telah Allah ciptakan untuk ia lakukan – mengunyah makanan. Alih-alih, gigi ini selalu bergegas menunaikan tugas yag diberikan kepadanya, bahkan tanpa disadari, meski tugas tersebut berada di luar kesanggupannya. Bayangkan, jika gigi diminta menghancurkan makanan atau membuka tutup wadah, gigi ini patuh dan rendah hati mematuhinya. Gigi ini mengambil resiko yang besar, tanpa pernah ragu dan mempertimbangkan potensi ancaman yang bisa melukainya. Hanya saja, kita sering mengabaikan perawatannya. Meski demikian, gigi masih tetap perlu dibersihkan dan dipelihara. Agar kotoran tidak terakumulasi di sekelilingnya.
Satu hal yang lebih menajubkan, habib Ali al-Jufri mengherankan tentang gigi beliau yang tidak bisa dijauhkan atau dilindungi dari kebusukan, padahal sudah mendapatkan semua pelayanan tadi (perawatan yang dijalani, setelah ditunda dua tahun). Akhirnya, gigi beliau dibor dan dibersihkan bagian yang busuk tersebut, sambil merenungi fakta “rasa sakit yang jauh melebihi ini telah dikirimkan”. Saat merasakan kenyataan pahit ini, beliau dalam pesan-tulisannya sangat terguncang hatinya dan melahirkan seribu pertanyaan yang menerjang ke dalam pikiran beliau.
“Akankah semua usaha yang dilakukan sia-sia? Apakah hal ini lantaran membangga-banggakan ke orang lain tentang berbagai sukses yang kita raih? Bagaimana jika kematian tiba tepat saat berada dalam kondisi kebangkrutan jiwa? Apakah kita memiliki sesuatu yang bisa dibawa ke hadapan ilahi pada hari harus berhadapan dengan-Nya, sedang sungguh pada saat kita dalam keadaan sendiri dan telanjang (tanpa membawa apapun), layaknya ketika kita dilahirkan dari sosok ibu?
Berapa kali kita telah menyembunyikan diri yang asli (sesungguhnya) dari tatapan orang-orang, bahkan tidak menyadari bahwa pandangan Allah SWT senantiasa mengawasi? Bagamaimana untuk menjawab Tuhan kita yang telah bersumpah dalam kitab-Nya bahwa keberhasilan adalah hasil dari mereka yang telah menyucikan jiwa dan kegagalan adalah hasil dari mereka yang telah mengotorinya?
Disarikan dari salah satu pesan habib Ali al-Jufri dalam karya beliau “al-Insaniyyah Qabla al-Tadayyun”. Bernarasi cerita yang diselipkan dengan renungan-pesan ruhani beliau. Ditulis pada Kamis 6 Desember 2012.