Surga-Neraka dari Sosok Idola
Ditulis Oleh: Fitriata Rohmatun*

Di zaman yang semakin liberal dan hedonis saat ini, banyak dari kalangan muda yang terkikis moral dan spiritualnya. Mereka bertindak bebas semau mereka tanpa landasan agama. Isolasi antara baik dan buruk, dirancukan. Ringkasnya, tidak ada namanya lagi etika dan estetika.
Konteks estetika-pun, bahkan hal-hal yang pornografis disebut seni bagi mereka. Ini adalah kesekian dari sebuah kerancuan pola berpikir. Salah satunya yang lain adalah fenomena mengidolakan seseorang. Membangga-banggakan seseorang. Atau mendambakan sosok yang terkenal. Entah siapapun itu.
Sesuai realita yang ada, mereka menjadikan tokoh idolanya sebagai panutan, sosok teladan dalam ruang hidupnya. Bahkan hingga mengorbankan waktu, uang, tenaga dan jiwanya, hanya demi ingin bersua atau menghadiri penampilan sang idola, misalkan.
Tak jarang kewajiban-kewajiban yang telah dituntunkan oleh agama terabaikan, shalat, puasa dan sebagainya.
Pada umumnya, setiap personal pasti mengidolakan seseorang yang dikagumi dan dicintai dengan alasan-alasan tertentu.
Adakalanya, tanpa tersadari membuatnya bersikap melewati batas (over) atau membabi buta dalam mengidolakannya. Semisal dengan bentuk mencintai atau mengagumi secara berlebihan.
Rasulullah SAW melalui hadits yang telah terinformasikan kepada kita mengajarkan agar mencintai seseorang sewajarnya.
Tidak perlunya untuk berlebihan atau over. Karena mencintai secara berlebihan akan berkonsekuensi pada sikap yang selalu membenarkan yang dicintainya. Baik,
tokoh yang diidolakan entah itu berkepribadian buruk atau baik, yang penting mengidolakannya, tutur seseorang. Rasulullah SAW bersabda:
أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
“Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja (tidak keterlaluan). Siapa tahu suatu saat nanti, dia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah orang-orang yang kau benci sekadarnya saja. Siapa tahu suatu saat nanti, dia akan menjadi orang yang kamu cintai”. (H.R. Thirmidzi).
Kerap kali anak muda millenial (over) mengidolakan seseorang karena fisik, skill, perilaku, dan lain sebagainya.
Mengagumi dan mengidolakan seseorang sah-sah saja. Mencintainya pun boleh-boleh saja. Hanya saja, perlunya mengenal batasan-batasan (bagaimana) mencintai atau mengagumi seseorang yang dibenarkan oleh agama.
Hal ini berkaitan dengan nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jaelani yang terabadikan dalam manaqibnya (dapat ditemukan di kitab al-Faidhu al-Rahmani):
وَكَانَ يَقُوْلُ: إِيَّاكُمْ أَنْ تُحِـبُّوْا أَحَدًا أَوْ تَكْرَهُوْهُ إِلَّا بَعْدَ عَرْضِ أَفْعَالِهِ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، كَيْ لَا تُحِبُّوْهُ بِالْهَوَى وَتَـبْـغَـضُوْهُ بِالْهَوَى
“Beliau berkata: Berhati-hatilah kamu, jangan sampai mencintai atau membenci seseorang, kecuali sudah memperhatikan perbuatan-perbuatannya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Agar kamu ketika mencintai dan membenci tidak sekedar menuruti hawa nafsu”. (Manaqib bab V)
Beliau memberikan nasehat kepada kita agar rasa cinta ataupun benci (kepada seseorang) senantiasa dikembalikan pada (landasan) al-Qur’an dan Hadits.
Karena sikap mencintai secara berlebihan akan berdampak pada keegoisan dan posesif. Begitu-pun membenci akan melahirkan sikap penolakan dan bersikap sentimen. Itu semua (kemungkinan besar) didasarkan atas (keikut-sertaan) terhadap (kelezatan) hawa nafsu.
Dari sana, kita bisa mengukur (ker-taker: Madura) apakah kepribadian dan perilaku seseorang yang kita idolakan (telah) mampu berkontribusi terhadap agama, bangsa dan negara atau bisa memberi pengaruh baik pada yang lain terutama diri kita? Jika sudah mempertimbangkannya (hal tersebut), silahkan mengidolakan seseorang.
Sebab (seringkali) “mengidolakan” juga dicitrakan dengan “meniru” atau “menduplikat” perilaku sosok yang diidolakannya.
Namun, jika mengidolakan kelebihan fisikalnya atau bahkan perilakunya yang bertolak belakang dari ajaran Islam, tentunya ini tidak diperkenankan.
Terutama, hingga dicitrakan dengan “menduplikat”, na’udzubillah. Karena itu, kita harus pandai-pandai memanage rasa kagum dan cinta kita kepada sosok yang kita idolakan agar tidak mudah terbawa oleh arus hawa nafsu.
Lalu, jika sudah diketahui secara keseluruhan tadi (dampak) yang orientasinya berihwal duniawiyah, maka selayaknya pula perlu mengetahui bagaimana dampak yang akan berorientasi pada urusan ukhrowiyah. Kiranya hal ini sangat perlu untuk direnungkan baik-baik. Terdapat hadits yang berbunyi:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبّ
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, bagaimanakah pendapat engkau mengenai seorang yang mencintai suatu kaum, tetapi tidak pernah menemui (nututi) kaum itu?” Rasulullah bersabda: “Seorang itu (kelak di Akhirat) bersama orang yang dicintainya. (H.R. Bukhari).
Berawal dari cinta, bisa berakhir di Surga atau Neraka (?). Hadits tersebut memberikan pedoman agar kita tahu siapakah sosok yang patut kita cintai, idolakan dan kita kagum-kagumkan.
Selayaknya, sosok idola itu yang bisa mengantarkan kita ke Surga dan berkumpul bersama. Bukannya, antara yang mengidolakan dengan yang diidolakan saling memusuhi dan menuntut yang justru akhirnya tersungkur ke dalam Neraka.
Demikian-pun, cinta bukan hanya sebatas ucapan (omdo – katanya), tetapi perlu adanya pembuktian (tindakan).
Dapat dengan “meniru” dan “menduplikat” kepribadian yang kita idolakan. Tapi ingat, siapa yang kita tiru (idolakan), baik-kah atau buruk kepribadiannya? Kita bisa mengupayakan itu semua dengan melatih, mencoba, mengevaluasi cinta kita yang ditujukan kepada sosok yang kita idolakan. Bukan tanpa pikir-panjang, langsung menyortir dengan menghiperbolakan.
Disadur dari: Shahih Bukhari, Sunan Thirmidzi dan Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
*Fitriata Rohmatun, Mahasantri Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya.