Menyelisik Identitas Buyut Gus Dur #3
Ditulis Oleh: Penulis Gabungan*
Tidak jauh dari masa hidup syekh Sirojuddin Ngroto – sajian Ngroto part 2 kemarin, mbah Gareng juga merupakan tokoh yang makamnya berada di desa Ngroto.
Warga lebih mengenalnya dengan sebutan mbah Gareng atau kiai Khoiron. Ditelusuri dari beberapa redaksi, kiranya nama beliau ialah Abdul Wahid bin Halim.
Beliau adalah buyut KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden RI ke-4.
Ceritanya, simbah Gareng ini berasal dari Tingkir Salatiga. Dikenal dengan “Gareng” karena beliau berbadan kurus, pendek atau dalam bahasa Jawa disebut “gering”. Sehingga masyarakat setempat banyak mengenal kiai Khoiron ini dengan sebutan “kiai Gareng” atau “mbah Gareng”.
Seperti yang dilansir di quran.laduni.id dan kluyuranpurwodadi.blogspot.com, mbah Gareng pernah mengaji di salah satu pesantren Ngroto yang diasuh oleh syekh Sirojuddin.
Diceritakan, mbah Gareng ini adalah seorang santri yang tekun dan pandai dalam mengaji, menimba ilmu agama.
Sehingga setelah menamatkan mengaji, beliau disematkan sebagai kiai di Ngroto dan banyak warga yang mengaji ke beliau.
Setelah itu, mbah Gareng menetap di Ngroto karena kala itu beliau menikah dengan gadis desa Ngroto.
Beliau menurunkan dua putra yang bernama Asngari dan Asy’ari. Putra beliau yang bernama Asy’ari ini lah yang menurunkan kiai-kiai di Jawa Timur, termasuk Gus Dur.
Jika diruntut dari bawah (dari Presiden RI ke-4), Gus Dur adalah putra dari KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) bin kiai Asy’ari bin kiai Abdul Wahid bin Abdul Halim. Jadi, kiai Abdul Wahid bin Abdul Halim ini adalah mbah Gareng.
Begitu pun, jika silsilahnya ditarik ke atas lagi, silsilah mbah Gareng ini sampai pada Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir atau Sultan Pajang.
Bahkan juga silsilahnya sambung sampai pada Raden Ainul Yaqin alias Sunan Giri – lihat di keterangan silsilah biografi KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU).
Di versi lain, antara kiai Asy’ari dan kiai Abdul Wahid terdapat nama Abu Sarwan. Artinya, Asy’ari adalah putra Abu Sarwan bukan Abdul Wahid. Jadi, jika diruntut, digambarkan “kiai Asy’ari bin Abu Sarwan bin kiai Abdul Wahid”.
Sehingga menimbulkan kemungkinan bahwa Abu Sarwan adalah nama lain dari mbah Gareng. Di sisi lain, ditemukannya makam buyut Gus Dur pula yang lain di Tingkir Salatiga.
Sekitar tahun 2000-an, makam tersebut ditemukan lalu disematkan oleh masyarakat sebagai makam mbah Abdul Wahid.
Tetapi, sejauh penelusuran, Abu Sarwan juga berasal dari Tingkir Salatiga, sebagaimana asal mbah Gareng yang telah dijelaskan tadi. Dari buku “Jejaring Ulama Diponegoro” yang didapatkan informasinya dari keluarga Pesantren Tebuireng, seperti yang ditulis oleh KH. M. Ishom Hadziq, kiai Asy’ari adalah putra dari kiai Abdul Wahid bin Abdul Halim secara langsung, bukan putranya Abu Sarwan. Di sana, juga dicantumkan bahwa kiai Abdul Wahid berjulukan pangeran Gareng.
Ungkap “Jejaring Ulama Diponegoro” itu, pangeran Gareng adalah yang pernah menjabat sebagai komandan pasukan Diponegoro, di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Keterangannya, masa hidup beliau hanya diketahui melalui acuan tahun kelahiran salah satu putranya, kiai Asy’ari, sekitar tahun 1830. Selain itu, dalam novel “Mengejar Mukti: biar jelek yang penting ningrat”, terdapat pengakuan bahwa mbah Sirojuddin seangkatan hidupnya dengan Sentot Alibasyah.
Hal ini semakin bertepatan kalau mbah Gareng merupakan pangeran Gareng yang dimaksud barusan.
Ditambah lagi, masih menurut “Jejaring Ulama Diponegoro”, diakui bahwa pangeran Gareng atau kiai Abdul Wahid pernah mendirikan pesantren di Ngroto Grobogan.
Di mana, daerah itu sempat termasuk wilayah Demak – seperti yang pernah dijelaskan di cerita Part 1 kemarin (kisah Mbah Ganjur).
Tidak hanya itu, ceramah Gus Muwafiq (video potongan) yang dishare di You Tube (chanel CahNgroto.TV) pernah meruntutkan silsilah keilmuan mbah Gareng atau kiai Khoiron. Bunyinya (intinya), mbah Asy’ari belajar ke mbah Khoiron.
Lalu mbah Gareng/Khoiron belajar ke mbah Abdul Halim. Maka, terlihat seperti yang di atas, dengan kesenambungan bahwa kiai Asy’ari adalah putra Abdul Wahid lalu beliau adalah putra Abdul Halim.
Dari informasi lain pula, memang kakak beradik yang bernama Asy’ari dan Asyngari sejak kecil dididik langsung oleh kiai Khoiron sebagai ayahnya. Dengan harapan, kelak menjadi orang yang ‘alim.
Semacam ini memang masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam, mengenai arkeologis maupun filologis yang perlu dicarikan. Guna, mendapatkan data yang valid untuk memecahkan kesimpang-siuran tersebut.
Mungkin, kesimpang-siuran semacam ini salah satu faktornya ialah seperti ungkap dalam buku “Dinamika Pendidikan Islam”, bahwa Abdul Wahid yang dikenal pangeran Gareng tadi pernah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.
Lalu beliau melarikan diri dari kejaran Belanda dan menyamar dengan berganti-ganti nama. Sehingga sulit diketahui nama asli dan asal-usulnya.
Dulu, Gus Dur pernah dan seringkali mengunjungi desa Ngroto. Untuk berziarah ke makam mbah Gareng, buyut beliau.
Menurut salah satu sumber, sekitar tahun 1998, beliau menginjak desa Ngroto dan berziarah pada makam buyut beliau. Layaknya yang dikabarkan kluyuranpurwodadi.blogspot.com, Gus Dur pernah mencari-cari makam buyutnya di Demak, tetapi tidak ditemukan.
Ternyata, ditemukannya di desa Ngroto yang dulu sempat menjadi wilayah Demak.
Ungkap di sana, tahun 2011 pernah berkunjung dan berziarah di makam buyut beliau bersama Megawati. Namun kata salah satu warga, Gus Dur sebenarnya sering ke Ngroto, hanya saja yang terekspos oleh masyarakat dua kali, mungkin. Juga, demikian seperti yang diungkap di “Mengejar Mukti: biar jelek ….”.
Karena katanya, Gus Dur kadang datang tanpa pengawalan. Memang, beliau adalah sosok sederhana yang sering tak mau dikawal – ungkap buku “Gus Dur, Manusia Multidimensional”.
Baru kemarin-kemarin, sekitar tahun 2019, Yenni Wahid (putri Gus Dur) juga pernah datang ke Ngroto. Berziarah ke makam mbah Gareng. Ceritanya, kunjungan beliau itu setelah menghadiri acara pengajian akbar di Alun-alun Purwodadi yang dihelat PC Muslimat NU Grobogan.
Sampai sekarang ini, kita bisa menjumpai makam mbah Gareng atau kiai Khoiron di desa Ngroto.
Terletak di sebelah selatan dari makam mbah Ganjur Godho Mustoko, dekat sekali kurang-lebih lima meter. Makam beliau (mbah Gareng) sederhana, berada di bawah cungkup kecil seukuran makam beliau (berbentuk kotak atau ono pager-pager e: Jawa).
Bahkan kata satu warga, tidak ada juru kuncinya. Hanya saja, makam tersebut dijaga dan dilestari. Karena dipercaya sebagai makam lama (sepuh) dan keramat. Apalagi, sekarang sudah diakui sebagai makam buyut Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4).
Tulisan ini disusun melalui penelusuran secara ringan atau tidak terlalu mendalam. Bersumber dari beberapa redaksi dan buku serta ungkapan warga.
Kiranya, sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang hendak menelitinya secara mendalam. Mungkin pula, akan terjadi perubahan rumusan atau hasil kesimpulan.
*Ainul Yaqin dan Muhammad Malik