Perempuan Berlidah Al Qur’an
Ditulis Oleh: Muhammad Malik
Banyak sekali kisah-kisah zaman dahulu yang dinukil oleh para ulama’, mulai dari kisah-kisah para shahabat, para tabi’in dan seterusnya – yang mengisahkan perjalanan hidup mereka.
Dari pengalaman yang menakjubkan, bisa dicerna oleh akal fikiran manusia hingga bahkan cerita yang di luar nalar mereka.
Selain itu, tidak jarang kisah tersebut menceritakan orang-orang kafir, musyrik, berandal yang kemudian akhirnya mendapatkan hidayah dari Allah.
Sebaliknya pun, ada kisah yang menceritakan tentang perjalanan hidup orang-orang shalih dan tekun beribadah tetapi akhirnya tersesat dan jatuh pada lubang kekufuran.
Kisah-kisah yang dibawa oleh para ulama tersebut tentunya mengandung banyak sekali hikmah, manfaat, keberkahan dan pelajaran yang dapat dipetik. Sehingga dapat menjadi motivasi, mengokohkan hati dan keyakinan bagi pendengar ataupun pembaca kisah tersebut untuk menambah kiat beribadah kepada Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian (cerita umat yang dibinasakan) itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaff : 37)
Dalam kitab Kifatul Atqiya’ terdapat satu kisah menarik tentang seorang perempuan yang tersesat dari kabilahnya. Dikisahkan, Syaikh Abdullah bin al-Mubarak al-Wasiti, seorang laki-laki sholih, ahli Fiqh dan sufi sedang melakukan perjalanan menunaikan ibadah haji ke baitullah, sembari mengunjungi maqbarah Rasulullah SAW.
Di tengah perjalanannya, syekh Abdullah ini melihat banyak sekali kelompok atau kabilah yang sama-sama melakukan perjalanan, di tengah-tengah kabilah tersebut terlihat seorang perempuan dengan pakaian tertutup yang terbuat dari shuf (pakaian terbuat dari wol), Kemudian syekh Abdullah memberi salam kepada perempuan tersebut: “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…”.
Perempuan tersebut menjawab:
سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ
“Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Yasin: 58)
Syaikh Abdullah kembali bertanya: “semoga Allah merahmatimu, apa yang kamu perbuat di tempat ini?”, Perempuan tersebut menjawab:
مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ
“Barang siapa disesatkan Allah maka tidak ada orang yang dapat memberikannya petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 186).
Sontak Syaikh Abdullah al-Wasiti menyadari bahwa perempuan itu adalah seorang yang tersesat di jalan. Dia pun bertanya: “kemana engkau akan pergi?”. Si perempuan menjawab kembali:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Maha Suci Allah Dzat yang telah meng-Isra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho.” (QS. Al-Isra’: 1)
Dari situ, syaikh Abdullah menyadari bahwa perempuan tersebut hendak memenuhi hajatnya untuk pergi menuju ke Baitul Maqdis, Palestina. Lalu syekh Abdullah kembali bertanya: ”sudah berapa lama engkau berada di tempat ini?”, kemudian si perempuan itu menjawab:
ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
“tiga hari tiga malam”. (QS. Maryam: 10)
Begitu dan seterusnya, hingga syaikh al-Wasithi ini menyadari dari beberapa penjelasan perempuan tersebut. Nyatanya, perempuan tersebut sudah 40 tahun dalam keadaan bernadzar kepada Allah SWT untuk tidak berbicara kecuali dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tambahan:
Cerita perempuan ini banyak dinukil oleh para ulama sufi sebagai bentuk motivasi untuk senantiasa berbicara kebaikan.
Karena setiap sesuatu yang diperbuat oleh seseorang termasuk ucapan akan mendapatkan pertanggungjawaban kelak. Selain dalam kitab Kifayatul Atqiya, riwayat cerita ini juga disebutkan oleh syaikh Ibnu Habban dalam kitab beliau “Raudhah al ‘Uqola’” sedangkan syaikh Abu Nu’aim menyebutkannya dalam kitab “Hilyatul ‘Auliya”,
Cerita tersebut banyak mendapatkan kritikan dari beberapa ulama mengenai keabsahannya. Di antara ulama yang berkomentar adalah imam Ibn Hatim yang menganggap sanad cerita tersebut tidak kuat, dan terdapat substansi tertentu yang dianggap munkar, seperti dalam silsilah periwayatan cerita tersebut yang menyebutkan syaikh Muhammad Ibnu Zakariya Al Ghalaby yang dianggap oleh para ahli hadis sebagai orang yang “munkir”, sedangkan imam al Nasa’i dan imam al Darqatni berpendapat dha’if, imam Ibnu Hibban berpendapat bahwa cerita tersebut tidak dapat dijadikan sebagi hujjah – Tahdzib al-Tahdzib. Masih banyak lagi yang meragukan sanad dan periwayatan cerita perempuan tersebut.
Akan tetapi cerita perempuan tersebut banyak dikutip oleh beberapa ulama sufi dalam kitab-kitabnya.
Seringkali masuk dalam pembahasan tentang adab, seperti yang disebutkan oleh syaikh Bakr bin sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi tadi dan syaikh al-Hasyimi dalam kitabnya Jawahir al-Adab fi Adbiyyati Wa Insya’i Lughatul ‘Arab.